Jumat, 25 Juli 2008

Pengantar
Mempelajari pikiran Max Weber ibarat menyelam dikedalaman lautan luas dalam rangka menangkap “mutiara pemikiran” yang berharga. Begitu luasnya pemikiran Weber menjelajahi beragam tema yang dikajinya, mulai dari narasi Bangsa Yunani Kuno hingga awal masa Hindu, dari rasul-rasul Perjanjian Lama hingga pujangga Konfusius, Ekonomi perdagangan barat abad pertengahan, hingga analisis komparatif hal ikhwal munculnya konsep negara modern.
Munculnya peradaban Barat menurut Weber tidak bisa dilepaskan dari asal mula rasionalisme Barat bersumber pada Agama Jahudi Kuno (Ancient Judaism). Transformasi word-view agama Yahudi tersebut memiliki konsekwensi yang luas, termasuk munculnya “hikmah klasik” (Filsafat Yunani), tradisi humanisme di awal renaissance hingga rasionalisasi jaman pencerahan yang menjadi cikal bakal modernitas.
Kata kunci menyelami pemikiran Weber menafsirkan perubahan peradaban adalah “hegemoni sistem kepercayaan” yaitu bagaimana word-view (kepercayaan dan sistem nilai) diterjemahkan dalam kehidupan sosial yang kemudian diwejawantahkan dalam perubahan sosial. Itulah sebabnya Weber diposisikan sebagai pemikir idealis sekaligus kulturalis, dimana realitas sosial diterima dengan rasional, tetapi ralitas sosial itu dimaknai secara kultural dalam kategori normatif (tipe-tipe ideal).
Ketertarikanya membandingkan perbedaan sistem kepercayaan para wiraswastawan awal revolusi industri tidak diterima given from the beginning tetapi ia mampu menyelami melalui metode verstehen menafsirkan secara kultural sehingga realitas terpahami secara jelas. Dalam kerangka itu pulalah kehadiran karya klasik tesis “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme” diletakkan.
Berbeda dengan Durkheim dan Karl Marx. Durkheim misalnya memandang “sistem kepercayaan” (baca tradisi keagamaan) menjelaskan (erklaeren) realitas sosial bunuh diri (scuide). Marx memandang “sistem kepercayaan” berpihak pada sistem kapitalisme mengeksploitasi kaum proletar hingga ia menyatakan “agama sebagai candu”. Tetapi Weber justru mengaprosiasi “sistem kepercayaan” mempunyai kontribusi yang positif bagi pengembangan perekonomian yang maju.
Tesis etika protestan Weber juga dilihat dalam perspektif perdebatan menganai asal mula masyarakat industri modern, dan dengan tajam membantah tesis Marx tentang transisi linier dari feodalisme ke kapitalis sekaligus mengkritik tesis Durkheim dimana perubahan sosial dijelaskan melalui division labour melalui mekanisme diffrensiasi sosial dan spesialisasi tidak banyak berarti jika tidak dilengkapi dengan pemahaman yang mengakar dari fenomena kapitalisme modern.
Rasionalisme: Hilangnya pesona dunia
Bagi Weber, Etika Protestan adalah bagian “narasi besar” rasionalisme budaya Barat tentang “hilangnya pesona dunia” sebagai proses sentral analisis perubahan sosial. Hemat Weber masyarakat modern adalah masyarakat yang ditandai oleh kuatnya arus rasionalisasi di berbagai bidang. Segala sesuatu dipertanyakan dari sudut pandang rasio, bahkan hal-hal yang bersifat “sakral, misteri” tidak luput dari imperialisme rasio.
Pemisahan tegas dan lengkap akan hubungan sakral-duniawi serta konsistensi internal word-view protestan merupakan pemutusan radikal dengan agama Kristen pertengahan. Proses sekularisasi telah membangun opini bahwa takhayul dan hal-hal yang berbau mistik adalah penghalang kemajuan, sehingga tradisi keagamaan ritualistik dan pratek budaya magis, kekuatan gaib ke arah rasionalisasi. Selanjutnya proses sekularisasi mentransformasikan keyakinan agama ke ranah etika dan bentuk-bentuk ekonomi. Pada tataran ini muncul apa yang disebut Weber tujuan-tujuan rasional (purposive rationality) seperti kalkulasi sarana-tujuan dalam bentuk organisasi metodik menggantikan ekonomi tradisional (subsistensi) yang hadir dalam budaya Barat.
Kerja adalah “beruf”
Lebih khusus ajaran protestanisme tercermin dalam sekte Calvinis merupakan dasar pemikiran Weber tentang Etika Protestan. Ciri Calvinis adalah menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat, berperhitungan serta terbiasa menabung. Berbeda dengan ajaran Katolik memandang kerja sebagai suatu keharusan demi kelangsungan hidup. Calvisis memandang kerja tidak sekedar demi kelangsungan hidup, tetapi lebih jauh memandang kerja sebagai panggilan atau “beruf”. Bekerja tidak sekedar memenuhi kebutuhan, kegunaan, konsumsi atau sekedar mengisi waktu luang, tetapi kerja adalah ibadah tugas suci. Kerja tidak semata-mata memperhitungkan keuntungan material tetapi totalitas tujuan yaitu menunjukkan bahwa seseorang telah terpilih. Jadi semacam penyucian duniawi sebagai kegiatan agama demi keterjaminan akan keselamatan baik di bumi maupun di sorga, atau “asketisme keduniaan yang batiniah” suatu intensifikasi pengabdian agama dijalankan dalam kegairahan kerja sebagai gambaran peryataan dari manusia “terpilih”.
Doktrin teologis yang demikian membawa makna kultural bahwa sukses kehidupan yang dihasilkan oleh kerja metodis, kerja keras, hemat dan penabung berpengaruh pada perkembangan sosial yang menurut Weber hal ikhwal kapitalisme. Penerimaan secara sadar atas pedoman etis-metodik oleh individu, wirausahawan atau pekerja adalah kondisi bagi eksistensi kapitalisme. Kritik Teoritik, Empirik dan Etik
Sedemikian jauh Weber telah mendemontrasikan temuanya tentang bagaimana akar kapitalisme modern sebagai suatu kategori penelitian empiris yang sukar untuk dibantah. Selain dimaknai sebagai “pelengkap” analisis sebab- akibat materialisme Marx eksploitasi majikan-buruh melalui “mode produksi”
dan penjelasan Durkheim tentang “devision labour” melalui diffrensiasi dan spesialisasi, bisa juga dimaknai sebagai analisis komprehensip berdasarkan model-model multidimensional menjelaskan tipe-tipe kapitalisme modern.
Namun demikian tesis Weber bukanlah steril dari berbagai kritik. Buku tersebut tak henti-hentinya dibaca, dikritik dan diperdebatkan sejak dipublikasikan sampai saat ini baik dari perspektif teoritis, empirik dan etik.
Kritik muncul dari kelompok “strukturalis” terutama pradigma positivisme logis “garis keras”. Menurut mereka tesis Weber secara ontologis bermasalah karena menganut “a social-ontological dualist” yaitu realitas dipahami sebagai nilai-nilai atau belief dan kekuatan material sekaligus tanpa menentukan posisi teoritisnya. Bagi kaum strukturalis satu-satunya realitas sosial yang diyakini bersifat material, umum dan ekternal berwujud “fakta sosial” bukan fakta individual serta kongkrit, eksak dan akurat. Epistemologinya adalah “obyektif”, mengeliminasi realitas “subyektif” seperti nilai-nilai dan kepercayaan tidak bisa dijadikan “obyek” karena jauh dari ciri-ciri tersebut di atas. Hal itu pula yang mendasari kritik mereka tentang penggunaan istilah “word-view” dan “sistem kepervcayaan” dalam wacana Weber sering dipertukarkan tanpa memberi rincian atau pembatasan pengertian masing-masing. Weber tidak pernah tuntas membedakan sistem kepercayaan yang dimaksud, sementara dalam kehidupan sosial dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu, magic, religion dan science. Bagi mereka Realitas “obyektif” sebagai basis penyelidikan ilmiah maka mereka memahami apa yang disebut Weber word-view adalah science.
Kaitanya dengan Marxian dan Durkhemian, sangatlah sulit menerima bagaimana ide, sistem kepercayaan apalagi tidak tersirat dirumuskan dapat mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan budaya. mereka lebih condong pada paham materialis yang memberikan makna dinamika sosial yang menentukan ide-ide.
Dari segi empirik, bahwa etika keagamaan tidak selalu berhubungan dengan semangat kapitalisme. Studi yang dilakukan Taufik Abdullah (1986) menganalisis Agama Islam di Indonesia tidak sepenuhnya mendukung apa yang dikatakan Weber, meskipun dalam agama Islam memandang kerja sebagai bagian dari “ibadah”. Dengan demikian tesis Weber tidak mampu mengungkap komparasi yang lebih luas; hanya dalam konteks “kekhususan Barat” yang di dukung oleh budaya individualistik dan tidak dapat mendefenisikan serangkaian perbandingan peradaban dalam konteks dimensi sosial-kultural dan organisasional termasuk agama-agama Timur. Demikian pula dalam konteks “kearifan Timur” dimana kesuksesan dan keberhasilan bukanlah bersifat materialistik, tetapi sosial dan spritual kontra produktif dari sudut pandang “akumulasi kapital” yang menjadi basis kapitalisme. Akhirnya tesis Weber adalah hasil interpretasi budaya dalam konteks kekhususan Barat dalam menafsir “ajaran Kristen” yang pada dasarnya komunal dari pada individualistik-liberal.
Dalam perspektif etik, pendekatan Weber terkesan idealistik, cenderung mengabaikan dinamika konfliktual dalam perubahan sosial budaya. Mungkin saja hal itu berkaitan dengan latar belakang Weber yaitu dari keluarga yang mapan dekat dengan tokoh politik, intelektual masa pemerintahan Bismarck. Pada hal sebagaimana diakui Weber bahwa kelas urban menegahlah yang menjadi tulang punggung perkembangan kapitalisme. Dalam perspektif Marxian, kelas menegah termasuk anggota kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan dalam sistem feodalisme sehingga potensial untuk melakukan perubahan. Berpijak pada tataran pemikiran yang demikian perlu menganalisis struktur, karakter figur atau tokoh dibelakang doktrin dikaitkan dengan motif kekuasaan serta kondisi sosio-psikologis kelompok sosial yang tertarik pada doktrin Calvinis itu. Atau dengan perkataan lain perlu memperhitungkan dinamika ekternal, disamping kondisi psikologis individual yang menjadi tekanan tesis Weber, turut memicu langsung atau tidak langsung mendorong orang tertarik pada doktrin itu dalam memperjuangkan kepentingan mereka.

Kamis, 24 Juli 2008

DAMPAK KEHADIRAN PERKEBUNAN SAWIT BAGI KOMUNITAS MASYARAKAT PERKEBUNAN

Bagi Indonesia pengembangan industri pertanian kelapa sawit perlu mendapat perhatian serius mengingat kehadirannya bisa menjadi “berkat” ataupun sekaligus menjadi “kutuk”. Menjadi berkat bilamana perkebunan kelapa sawit berhasil dikembangkan secara terencana dengan memperhatikan kepentingan masyarakat terkait (stakeholder) perkebunan dan juga sebagai alternatif meningkatkan devisa negara. Dari segi sumbangan terhadap devisa negara terbukti bahwa selama tahun 2007 pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,7% ditopang oleh industri perkebunan kelapa sawit (Budiono,2007). Selain itu, bagi Indonesia masih terbuka peluang untuk dapat menguasai 45 sampai 50% pangsa pasar mengigat ketersediaan pemanfaatan lahan. Prospek yang sangat cerah ini juga didukung oleh kecenderungan meningkatnya permintaan pangsa pasar dunia akan produk minyak ajaib ini sebagai bahan makanan dan aneka produk kecantikan serta menjadi alternatif terbaik terhadap pemecahan masalah energi global (biofuel) yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui (multi-purposes and renewable resources/multi guna dan sumber daya alam terbarukan).
Di sisi lain, ini akan menjadi potensial sebagai kutukan bila kegiatan eksploitasi ini tidak berbasis kelestarian alam dan mampu menciptakan kesejahteraan bersama bagi bangsa umumnya dan masyarakat sekitar khususnya. Perkembangan dengan metoda pendekatan pengembangan yang tidak terencana dengan baik akan rentan pada pengrusakan hutan (deforrestry), sehingga berdampak pada ekologi bukan hanya mengganggu kehidupan manusia (global warmning) juga mahkluk biologis lainnya tumbuhan dan binatang menjadi musnah (totally degradation), apabila disertai lagi dengan praktek pengelolaan yang tidak bertanggung jawab seperti penyalahgunaan izin dan penyimpangan pemanfaatan kawasan hutan demi mendapatkan keuntungan besar dari tebangan kayu (illegal logging), perampasan tanah yang mengancam kehidupan komunitas masyarakat lokal, terjadinya penurunan ketahanan pangan sebagai akibat dari ketidakseimbangan ekosistem serta juga sebagai akibat dari konversi lahan pertanian pangan ke lahan perkebunan kelapa sawit, dimana juga distribusi hasil secara tidak merata, semua ini akan memproduksi ketimpangan sosial antara pihak pengusaha ataupun pemilik (owner)n dengan masyarakat lokal yang sewaktu-waktu akan dapat mengakibatkan kecemburuan sosial yang potensial yang dapat mengancam solidaritas nasional sedikitnya melalui konflik sosial lokal.
Dari segi hasil produksi dan pemasaran, industri pertanian kelapa sawit sangat menguntungkan dan menjanjikan bagi Indonesia. Terbukti dengan kecenderungan peningkatan total produksi dan eksport CPO. Pada tahun 2006, Indonesia mengekspor sekitar 11,95 juta ton dari keseluruhan produksi sebanyak 15,8 juta ton minyak CPO dan produk turunannya, atau sekitar 40% dari jumlah ekspor dunia dengan total nilai $US 5,8 juta. Pada tahun 2007, jumlah tersebut meningkat menjadi 16,4 juta ton. Pada tahun 2008 Indonesia diperkirakan akan melampaui Malaysia sebagai penghasil terbesar CPO: diproyeksikan akan memproduksi 18 juta ton pada saat Malaysia masih akan memproduksi sekitar 17 juta ton. Indonesia mengekport hampir dua pertiga produksi CPO-nya; ke India dan China sebagai konsumen terbesar. Pada tahun 2006 Indonesia mengekspor 2,2 juta ton ke India dan 1,8 juta ton ke China, sedangkan pada tahun 2007, ekspor untuk kedua negara itu meningkat sampai 2,1 juta ton ke Cina dan 2,5 juta ton ke belahan Eropa (Komisi Sawit Indonesia 2007). Peningkatan ini mendorong pada peningkatan sektor pajak (pajak ekspor), namun yang menjadi pertanyaan apa artinya bagi masyarakat perkebunan?, (butuh studi – ref. masyarakat desa sekitar hutan/HPH).
Produksi yang sebesar itu ditopang oleh ektensifikasi lahan perkebunan sawit yang cenderung meningkat rata-rata 14% per tahun terutama dalam 10 tahun terakhir (Susilo 1998). Awalnya perkebunan kelapa sawit didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda antara tahun 1870 dan 1930. Pada tahun 1967, awal pemerintah Orde Baru Suharto, Bank Dunia memberikan bantuan kepada Indonesia berupa investasi langsung untuk pengembangan industri perkebunan kelapa sawit melalui Badan Usaha Milik negara (BUMN). Pada permulaan tahun 1970-an harga kelapa sawit di pasar internasional terus meningkat sehingga mendorong Indonesia untuk membuka lahan luas yang tersedia bagi perkebunan. Pemerintah Indonesia mulai melihat industri perkebunan kelapa sawit sebagai roda pertumbuhan ekonomi dan sosial di wilayah pelosok dan pedesaan termasuk di Sumatera Utara sebagai sentra penting perkebunan kelapa sawit. Disatu sisi pihak BUMN Perkebunan telah melakukan program CSR namun tidak maksimal perlu ditingkatkan dan dimeratakan dan bagaimana dengan pihak perkebunan swasta asing dan nasional ?.
Secara totalitas pengembangan dan pertumbuhan tersebut bukannya tanpa masalah. Salah satu masalah terpenting adalah bahwa struktur kepemilikan perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sangat timpang, mengingat perkebunan tersebut dimiliki oleh perusahaan besar, baik milik negara maupun milik swasta yang mendominasi luas lahan dengan pangsa 66% dari seluruh luas lahan sawit di Indonesia. Laju pertumbuhan luas lahan per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% perkebunan swasta, 2,9% perkebunan negara dan 19,3% perkebunan rakyat (Susilo 1998). Dalam rangka mendapatkan lahan yang dibutuhkan, maka cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun untuk meyakinkan publik dan tanggung jawab sosial perlu diteliti lebih jauh karena diduga banyak perampasan hak-hak ulayat masyarakat disatu sisi dan sekaligus melakukan re-evaluasi sejauh mana adanya tanggungjaawab sosial perkebunan swasta serta sekaligus mendorong mereka agar ikut serta berpartisipasi secara aktip misalnya: melalui program inti-plasma sebagai jalan terbaik untuk pengembalian lahan masyarakat.
Hingga saat ini, maka sub-sektor perkebunan (kelapa sawit, kakao, karet, dll-nya) masih tetap menjadi primadona perekonomian propinsi Sumatera Utara. Kurang lebih 1.500.000 hektar areal perkebunan dikelola dalam bentuk perkebunan rakyat, Negara (BUMN), perusahaan swasta asing dan swasta nasional. Beberapa komoditi perkebunan yang terpenting sebagai andalan Sumatera Utara adalah seperti , kelapa sawit, karet, coklat, teh, kopi, cengkeh, kelapa, kayu manis, dan tembakau.
Berdasarkan Data Statistik Sumut (2005), luas lahan yang sudah digunakan untuk areal perkebunan Sawit sekitar 328.508 ha dengan produksi rata-rata 3,3 juta ton per tahun. Dari luas tersebut, 261.501 ha (79,6%) dikelola oleh Perusahaan Perkebunan besar antara lain Perusahaan Negara (PTPN), Perkebunan Swasta Asing dan Perkebunan Swasta Nasional terdiri dari sekitar 70 perusahaan perkebunan. Sedangkan sisanya 67.002 Ha (20,4%) milik perkebunan rakyat (diperlukan studi yang lebih tajam dan akurat untuk meningkatkan sektor perkebuan rakyat ini berkaitan dengan masyarakat sekitar perkebuan, terutama petani dan buruh diwilayah dataran tinggi dan petani, buruh dan nelayan diwilayah pantai timur dan barat).
Perkebunan terbesar swasta nasional dimiliki oleh Bakrie Group yaitu PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP) memiliki luas areal lebih 10 ribu hektar, terbagi atas 6 estate . Perkebunan besar lainya dikelola oleh PTPN, Perkebunan Swasta Asing seperti Lonsum, Socfindo, UKINDO, dan Asian Agri kurang lebih luas areal sekitar 3.000 s/d 10.000 ha. Selebihnya perusahaan menengah dan kecil milik swasta Nasional, koperasi dan pemda setempat luas areal berkisar antara 500 – 3000 Ha.
Aspek lain adalah bahwa dampak kehadiran industri perkebunan kelapa sawit bagi perkembangan ekonomi regional membutuhkan kajian tersendiri. Bahwa industri perkebunan kelapa sawit seharusnya semakin mempercepat perubahan sosial ekonomi komunitas masyarakat sekitar (pendekatan teori akselerasi). Mampu mendobrak dan mendinamisasi ketertinggalan menjadi kemajuan pembangunan wilayah. Artinya sektor usaha ini “diyakini” punya pengaruh yang signifikan untuk menstimulasi perkembangan wilayah baik dilihat dari infrastuktur daerah, pola pemukiman sub-urban dan dinamika sosial baru seperti membuka peluang ekonomi baru sehingga mendorong akses masyarakat sekitar pada kehidupan yang lebih baik, namun hal ini masih sangat diragukan baik dilihat dari realita kehidupan masyarakat sekitar perkebunan maupun komunitas tertentu didalam perkebunan seperti kelompok buruh tetap dan tidak tetap (praduga keadaan ekploitatip harus dirobah menjadi manusiawi dengan ukuran dan pengukuran yang jelas dan standar/measure and measurement theory).
Namun karena fakta dilapangan tanpak jauh dari harapan tersebut. Maka Perusahaan-perusahaan besar perkebunan sawit masih berbasis eksploitasi dan praktek diskriminatif. Kebijakan negara menyangkut pembangunan pertanian khususnya pertanian perkebunan kelapa sawit masih berfihak pada kepentingan modal. Pengembangan perkelapasawitan di Indonesia umumnya, khususnya di Sumatera Utara masih berbasis pertimbangan ekonomis semata, tanpa mengkaji dampak sosial ekonomi politik terhadap masyarakat sekitar. Karena itu hakekat perkebunan lebih dilihat sebagai suatu “production system” dari pada “social system” dengan mengabaikan pengkajian perkebunan kelapa sawit secara sistemik, baik sebagai organisasi produksi komersial dalam hubungannya dengan pasar internasional maupun dimensi internal di dalam daerah dimana perkebunan itu berada.
Akibatnya gejala yang muncul dipermukaan saat ini adalah : pertama, konflik vertikal kepemilikan lahan. Di Sumatera Utara, hampir semua perusahaan perkebunan besar baik milik negara, swasta asing dan swasta nasional pernah dan masih terus ada bersinggungan konflik lahan dengan masyarakat lokal. Sering muncul kasus-kasus di mana lahan yang di-identifikasi untuk produksi kelapa sawit ternyata adalah milik masyarakat, baik yang dimiliki secara pribadi atau secara komunitas (tanah ulayat). Atau lahan tersebut sebelumnya pernah diolah oleh penduduk setempat untuk menanami aneka tanaman muda dan sayur-sayuran, atau berupa lahan yang berhutan di mana masyarakat setempat lebih mengiginkan tetap dalam kondisi berhutan sebagai sumber mata pencaharian memenuhi kebutuhan subsistensi kehidupan mereka. Tetapi, kebutuhan masyarakat setempat jarang sekali mendapatkan perhatian ketika izin pemanfaatan lahan untuk kepentingan kelapa sawit dikeluarkan. Masalah ini diperumit oleh karena kenyataannya kebanyakan masyarakat sekitar tidak memiliki sertifikat tanah untuk membuktikan kepemilikan tanah tersebut, yang berakibat kemudian masyarakat tidak menerima konpensasi atas tanah yang diambil oleh perkebunan. Selain itu, ada juga kasus-kasus bahwa lahan perkebunan telah diperluas di luar batas izin yang dimiliki (hal ini sangat penting untuk dikaji karena luasan HGU-nya sering tidak sama dengan luas realita dilapangan), dan bahkan ada yang merambah ke dalam taman nasional dan juga ke dalam lahan masyarakat atau komunitas; kedua, kehadiran perkebunan bisa jadi menjadi konflik horizontal (antar masyarakat) karena ada yang pro-pengusaha dan anti pengusaha serta konflik vertikal (kelembagaan/pemerintahan) yang sangat mendukung kehadiran inverstor dengan tidak mengindahkan aturan-aturan yang ada; ketiga, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit sering berlangsung tanpa diketahui banyak pihak, sehingga sering terlambat merespon atau melakukan sanggahan dan memperjuangkan dalam mencegah pemberian izin atau berjuang mendapatkan kompensasi; keempat, keuntungan ekonomis produksi kelapa sawit tidak didistribusikan secara merata. Pengupahan diperkebunan misalnya sangat diskriminatif tercermin dari kesenjangan pengupahan kepada pihak managemen dengan pihak buruh perkebunan, pemberian upah dibawah UMP propinsi, pelonggaran jaminan kerja dan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja buruh akibat perubahan organisasi produksi perkebunan yang lebih mengutamakan outsourcing dan buruh harian lepas dari pada buruh tetap (SKU) sehingga para buruh perkebunan rentan terpelosok ke jurang kemiskinan dan Kelima, pengelolaan yang luas oleh suatu perusahaan perkebunan kelapa sawit, merubah dinamika perekonomian lokal. Banyak petani yang lahanya terbatas terpelosok dalam proses pemiskinan. Petani yang sebelumnya pertani subsistensi dengan bercocok tanam padi terpaksa menkonversikan lahanya dengan menanami kelapa sawit, sementara dari aspek modal dan pemasaran mereka sangat terbatas sehingga kualitas produksi rendah dimana hasil tidak sebanding dengan pengeluaran. Dalam posisi yang demikian banyak petani menjual lahanya ke pihak perkebunan, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan atau buruh. Kehidupan komunitas perkebunan yang berada di sekitar perkebunan sangat tergantung pada ekonomi buruh yang digaji kecil, sementara itu untuk perdagangan dan jasa berkaitan dengan efek berantai kehadiran perkebunan, baik sektor hulu dan hilir lebih dikuasai oleh pemodal besar umumnya dari daerah perkotaan.

Pembonsaian Manusia di Perkebunan

Kekerasan “terselubung” oleh pihak perkebunan dengan cara pembiaran buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan perlengkapan keselamatan dan kesehatankerja kerja (K3). Kisah buruh penyemprotan sawit misalnya adalah kasus representasi bagaimana “pembonsaian buruh” secara sistematis terjadi. Tidak ada antisipasi pencegahan keracunan dan perlindungan kesehatan buruh. Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan pendidikan tentang bahaya, resiko dan dampak zat-zat kimia yang digunakan, melakukan pemerikasaan kesehatan buruh kepada dokter ahli, dan merotasi buruh yang bekerja di bagian yang berhubungan dengan bahan kimia berbahaya. Sementara itu dari sisi ekonomi, buruh tidak mampu membeli makanan bergizi untuk mengganti sel-sel tubuh mereka yang keracunan karena upah yang mereka terima sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum setiap hari.

Sejarah Keselamatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (selanjutnya di singkat K-3) di Indonesia mendapat perhatian serius pasca kerja rodi dan ponale santie. Para pendiri Bangsa kita sadar betul pengalaman perburuhan kolonialis berbasis penghisapan, jam kerja tinggi, sanksi kerja dalam bentuk kriminalisasi dan tiada keamanan kerja . Wacana industrialisasi sebagai jawaban memperbaiki tarap hidup masyrakat waktu itu suatu hal yang tidak terhindarkan, sementara warga negara kebanyakan tidak punya alat produksi selain menjual tenaga guna mendapatkan upah untuk hidup. Inilah mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 45, “pekerjaan”, “penghidupan yang layak”, hak berorganisasi, sebagai tanggung jawab protektif negara terhadap buruh.

Prinsip yang dianut oleh undang-undang dasar adalah proteksi terhadap keamanan kerja bagi buruh (job security). Dengan demikian, selain upah persoalan keselamatan dan kesehatan kerja menjadi hak dasar, hak asasi manusia; setiap buruh memperoleh hak yang sama untuk hidup dan mendapat pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.

Tetapi realitas tidak demikian. Inti pokok dari UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan justru spirit utamanya adalah bagaimana merancang mekanisme pasar bekerja secara sempurna dalam konteks perburuhan yang sering disebut pasar buruh yang fleksibel. Dengan dilegalkanya sistem itu, jelas menghapus nuansa protektif dalam hukum perburuhan, sekaligus memindahkan konflik laten buruh-majikan keluar dari arena perusahaan melalui praktek hubungan kerja seperti outsourcing dan buruh harian lepas (BHL) menjadi trendy di berbagai perusahaan.

Demikian juga turunan undang-undang menyangkut job security terutama berbagai peraturan tentang K3 menjadi tidak relevan, karena hanya sebagi acuan normatif saja rumusannya sempurna; tetapi sangat bias, tidak berbasis praktek dilapangan. Sesempurna apapun undang-undang mengenai K3 seperti UU No 1 tahun 1970 tentang kecelakaan kerja, UU No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan Sistem Managemen K3 (SMK-3) terimplementasi dalam managemen perusahaan tidak punya makna apa-apa bagi buruh, jika pada akhirnya secara massal perusahaan menerapkan praktek outsourcing dan buruh harian lepas.

Selain hukum perburuhan yang lemah, juga tidak ditunjang oleh peraturan-peraturan pelaksanaan, kebijakan dan tugas-tugas operasional yang terdefenisikan secara jelas serta otoritas dan kompetensi pengawas ketenagakerjaan mendukung upaya memperbaiki tingkat keselamatan dan kesehatan kerja. Ditenggarai upaya pengawasan mandul oleh karena tidak didukung oleh profesionalisme dan keterbatasan anggaran instansi terkait mengawasi praktek pengusaha yang tidak mematuhi aturan-aturan dan code etik berkaitan dengan K-3.

Implikasinya, pihak perusahaan berusaha menghindar dari kewajiban seperti sosialisasi peraturan kerja berkaitan dengan K-3, implementasi program yang mengurangi bahaya kerja (resiko kerja) serta implementasi penanggulangan K-3 yang tersistem dalam perusahaan, terkesan simbolis belaka. Sikap perusahaan masih memiliki persepsi yang keliru, semata-mata dilihat dari perspektif biaya membebani perusahaan. Pada hal pengeluaran biaya untuk sosialisasi, pembelian alat kerja, pelindung kerja serta pelatihan yang bermuara pada peningkatan keterampilan kerja dapat menekan angka kecelakaan kerja yang berakibat berkurangnya biaya untuk penanggulangan kecelakaan kerja.


Kasus Kecelakaan Kerja di Perkebunan
Hasil studi KPS menunjukkan bahwa kecelakaan kerja diperkebunan terkait dengan bentuk operasi kerja di perkebunan mulai dari proses replanting, penanaman, pemeliharaan tanaman sampai proses produksi. Temuan penting menunjukkan bidang kerja yang paling rentan terhadap resiko kecelakaan adalah buruh bagian pemanen, bagian penyemprotan hama dan pemupukan.

Fakta dilapangan dari 6 perkebunan besar disumatera utara, ditemukan 47 kasus kecelakaan terindentifikasi selama 4 bulan terakhir (Jan sampai April 2008). 47 kasus tersebut, 32 (68,08%) korban diantaranya dikategorikan kecelakaan ringan seperti tertusuk duri sawit, ketimpa pelepah, gigitan serangga berbisa dan keseleo akibat jalan licin. 11 (23,40%) cacat kebanyakan cacat mata (mengecil, mengalami rabun bahkan buta) kena tatal (getah karet) yang sudah terkontaminasi dengan zat kimiawi, kotoran berondolan sawit dan tertimpa tandan buah segar, tubuh terkena bahan (TBS) kimiawi beracun akibat tingginya interaksi pada saat penyemprotan dan 2 orang buruh (4,25) jiwanya melayang, 1 orang kena sengatan listrik dan 1 orang lagi tertimpa tandan buah segar waktu memanen.

Kerakteristik penyebab umum kecelakaan antara lain tempat kerja (ancak) yang tidak rata (berbukit), pohon sawit/karet yang bengkok, pohon karet/sawit yang relatif tinggi, bersemak lebat, ancak berlobang dapat dikategorikan lingkungan kerja yang tidak aman dalam arti resiko tinggi terhadap kecelakaan. Sedangkan penyebab terperinci, berdasarkan analisis kronologis diakibatkan oleh kelalaian buruh, kekurang terampilan, alat kerja serta pelindung kerja yang tidak cukup dan mandor pengawas tidak punya standart operasi pengawasan, serta tidak ada pengawasan sewaktu buruh bekerja dapat dikategorikan perilaku yang tidak aman. Penyebab pokok adalah perusahaan mengabaikan tanggung jawab K-3;tidak mensosialisasikan keselamatan kerja kepada buruh menyebabkan rendahnya kesadaran buruh atas keselamatan kerja, tidak pernah melatih pekerja terampil manjaga keselamatan kerja, upah yang rendah, pekerja memacu kerja demi premi sehingga mengabaikan aspek keselamatan kerja, serta target kerja (beban kerja) tinggi tidak diimbangi oleh pola makan (gizi) yang cukup.

Pelayanan Keselamatan dan Kesehatan kerja
Dilingkungan perusahaan perkebunan Sumatera Utara, kurang memperhatikan tanggung jawab sosialisasi memberikan informasi yang cukup bagi buruh tentang resiko kecelakaan kerja, mengakibatkan banyak buruh belum mengerti K-3, termasuk hak dan kewajiban pemerintah, perusahaan dan buruh. Persepsi yang justru terbangun adalah persepsi negatif mengidentikkan Kecelakaan apabila korban cacat atau meninggal dan hal tersebut dianggap sebagai resiko atau takdir yang mahakuasa.

Pemberian alat kerja dan pelindung kerja yang tidak cukup memenuhi standart keselamatan kerja seperti kaca mata yang seharusnya diwajibkan dipakai buruh dan kacamata tersebut tidak standart atau tidak menutupi permukaan mata, kalau digunakan mudah terkena embun menyebabkan penglihatan kabur. Akibatnya buruh memilih tidak menggunakan karena mengganggu aktivitas kerja. Demikian juga pemeliharaan alat kerja dan alat pelindung menjadi tanggung jawab buruh. Bila terjadi kerusakan, pihak perusahaan tidak mengganti tetapi dibebani buruh menggantinya melalui mekanisme potong upah setiap bulannya.

Pihak perusahaan juga memaksa buruh bekerja bila cuaca buruk seperti hujan lebat, tanpa menyediakan tempat berteduh dan berlindung di tempat kerja.

Pelayanan yang buruk dalam pemeriksaan kesehatan maupun saat buruh mengalami kecelakaan kerja seperti birokrasi yang berbelit-belit. Tidak mudah buruh mengakses pelayanan yang baik. Selain kendala administratif seperti duluan mendapatkan izin berobat, sementara jarak tempuh dari pondokan atau ancak ke pusat pelayanan kesehatan (biasanya dekat emplasmen) cukup jauh ditempuh dengan jalan kaki, jalan bebatuan dan tanah licin menjadi kendala tersendiri. Rendahnya kualitas pelayanan di klinik, rata-rata melayani penyakit ringan dengan jenis obat sama seperti di toko obat biasa.

Bagi buruh yang mengalami kecelakaan kerja di ancak, pihak perusahaan tidak menyediakan P3K dan pertolongan pertama. Sering buruh harus ke poliklinik yang cukup jauh hanya untuk mendapatkan obat merah dan pembalut luka suatu ironi tersendiri ditengah tumpukan dolar hasil keuntungan perkebunan.

Pada tingkat rehabilitasi pelayanan juga tidak membaik. Seperti hak untuk mengetahui apakah mereka terdaftar atau didaftarkan menjadi peserta jamsostek. Sementara untuk buruh tetap (SKU), pihak perusahaan memotong berbagai iuran termasuk iuran jamsostek.
Adanya praktek “penipuan” biaya iuran/santunan Jamsostek. Sebagai peserta Jamsostek, sesuai dengan praturan perundang-undangan buruh hanya dikenai biaya sebesar 2% dari upah, karena hanya menanggung program Jaminan Hari Tua (JHT), sedangkan Jaminan Kematian (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) ditanggung oleh perusahaan tempat berkerja sebesar 3,7%. Tapi kenyataannya, iuran yang harus dibayar buruh lebih dari 2%.

Aspek lain bahwa tidak semua program wajib yang disediakan oleh Jamsostek dinikmati oleh buruh. Pada hal jumlah iuran yang dibayarkan sudah mencakup seluruh program, sehingga saat digunakan buruh sering mendapat penolakan dari klinik, rumah sakit atau penyedia pelayanan kesehatan maupun perusahaan.

Selain itu, ada kecenderungan walaupun telah menjadi peserta Jamsostek ternyata tidak menjamim buruh langsung mendapatkan pelayanan. Kasus seperti ini sering terjadi ketika buruh mengalami kecelakaan kerja sehingga membutuhkan perawatan.

Proses pengurusan yang berbelit-belit dari pihak perusahaan perkebunan dan Jamsostek sendiri sering terjadi sehingga buruh tidak bisa memanfaatkan layanan tersebut. Dalam banyak kasus, buruh sendiri sering akhirnya membiayai sendiri atau mencari “calo” atau orang dalam agar dapat dilayani secara cepat. Karena memelihara praktek pencaloan klaim santunan mengakibatkan kerugian material dan inmaterial bagi buruh yang mengalami kecelakaan.

Akibat kondisi yang demikian banyak buruh yang mengambil jalan pintas mencari pengobatan dari luar klinik dan rumah sakit seperti ke bidan bahkan ke “dukun” karena biayanya murah dan ditanggung buruh sendiri. Selain itu, akibat tekanan ekonomi (upah rendah) tidak memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan keselamatan kerja seperti kerja tanpa memakai/menggunakan alat-alat pelindung kerja yang memadai, kurang menyadari resiko-resiko lain seperti serangan binatang/serangga berbisa, dan dampak terhadap kesehatan akibat frekwensi berinteraksi dengan bahan-bahan kimia beracun suatu langgam kerja buruh perkebunan saat ini.

“Kyebord Bongkar” :

Realitas sosial budaya kebun unik. Untuk perkara “gaya hidup” boleh dikatakan tidak mau ketinggalan, atau disebut orang udik. Aspek kepemilikan seperti TV lengkap dengan setel VCD, merek-merek hand phone (telpon genggam) terpopuler, hiburan “dangdut mania”. Kegandrungan akan nuansa pesta terutama menyuguhkan hiburan musik kyebord. Pesta telah menjadi tradisi. Ketika suatu acara syukuran yang dianggap pantas untuk dirayakan, bila tidak dirayakan ada perasaan “sreg” dikalangan buruh kebun sehingga selain tradisi juga sekaligus etika sosial komunitas perkebunan.
Pondokan ditengah emplasmen perkebunan, rata-rata telah berumur uzur terlihat dari dinding yang sebagian dimakan rayap, atap bocor dan lantai semen banyak yang rusak, tersusun rapi peralatan rumah tangga, lemari pakaian, kursi, meja tamu dan tidak ketinggalan TV, VCD selalu ada meskipun tidak terkesan mewah. Namun rata-rata buruh kebun menyediakan TV dan VCD, karena memang itulah satu-satunya media yang bisa mereka nikmati setelah pulang kerja.
Barang-barang lain yang cukup vital di komunitas perkebunan adalah alat transportasi seperti sepeda dayung dan sepeda motor. Di tengah hamparan perkebunan jalan bebatuan, berbukit jarak setiap emplasmen cukup jauh dan pada setiap emplasmen tidak selalu ada fasilitas sekolah untuk anak-anak mereka, sementara untuk alat transpotasi selain sepeda motor tidak ada. Maka pilihan sepeda motor merupakan pilihan yang cukup logis, selain beberapa buruh masih setia mempertahankan sepeda dayung.
Dari segi upah yang mereka peroleh adalah mustahil mereka memiliki sepeda motor. Tapi itulah realitasnya. Mereka harus merelakan memotong sebagian upahnya untuk dapat memiliki sepeda motor. Tentu dengan cara mengurangi pola konsumsi keluarga, terutama konsumsi makanan ala kadarnya dan mengurangi/menunda pemberian susu tambahan bagi anak balita mereka.
Selain faktor kondisional, sebagai satu-satunya alat transportasi juga kebanyakan buruh didorong oleh tersedianya fasilitas kredit untuk pembelian sepeda motor. Bahkan tidak jarang menagemen perkebunan juga ikut andil menfasilitasi pemberian kredit seperti “showroom” masuk emplasmen atas kerja sama asisten/kerani dengan pengusaha motor dengan sistem “potong gaji di kantor” terutama buruh SKU. Namun sebagimana di komunitas yang relatif homogen pengaruh “demonstrasi effect” sangat kentara karena mereka relatif saling mengenal dan tidak jarang juga masalah “prestise sosial” memperebutkan pengakuan atas status sosial.
Bagi buruh yang terlanjur membeli sepeda motor dengan sistem kredit, tidak jarang mereka kewalahan mengangsurnya. Dalam banyak kasus ditemui juga mereka mengajukan/mengusahakan pinjaman entah dari koperasi, lintah darat dan staff perkebunan yang lebih mapan tentu dengan bunga yang mencekik hanya untuk memperlancar pembayaran cicilan. Dalam taraf tertentu oleh managemen perusahaan perkebunan instrument ini mereka gunakan “menjerat” buruh untuk tidak mengadakan protes atau perlawanan. Sehingga boleh dikatakan mereka sebenarnya terjerat oleh sistem yang tidak adil atau lebih tepat korban budaya/perilaku konsumerisme massa.
Sejak jaman kolonialisme sudah diciptakan oleh perkebunan suatu situasi menyerat mereka untuk selalu tergantung pada perkebunan. Misalnya, dahulu pada saat gajian bulanan tidak jarang perusahaan menyediakan acara-acara hiburan rakyat “pesta” sebagai media mengekpesikan kebutuhan eksistensial ditengah-tengah rutinitas kerja sehari-hari dengan menyediakan/menyuguhkan minuman (alkohol), judi dan pelacuran. Mekanisme yang demikian sangat meransang animo buruh waktu itu untuk menghabiskan upah yang diperoleh untuk dibelanjakan pada hal-hal seperti itu, bahkan tidak jarang terjerat pada utang, sehingga mau tidak mau tetap harus memperpanjang kontraknya sebagai buruh.
Rupanya warisan bersifat “hedonis” itu masih terwariskan sampai sekarang. Komunitas buruh perkebunan sangat kegandrungan akan pesta dan hiburan, karena memang media itulah satu-satunya kesempatan yang terbuka untuk mengekpresikan diri, menghibur diri ditengah rutinitas kerja setiap hari. Seperti diketahui bahwa rata-rata komunitas perkebunan di Sumatera Utara adalah suku Jawa, tetapi dari segi adat-istiadat dan norma-norma sosial sudah jauh bergeser dan lebih banyak dipengaruhi oleh budaya modern kontemporer. Misalnya, pada waktu upacara pernikahan tidak mutlak lagi harus pakaian Jawa dan prosesi pernikahan hanya pada saat “‘memecahkan telur” setelah itu boleh acara bebas yang berbau modern.
Jenis-jenis pesta juga sudah agak beragam diantaranya pesta pernikahan, usia kehamilan, sunatan, mengayunkan anak (memberi nama), ulang tahun dan peringatan lainya yang dipandang pantas untuk dirayakan.
Pesta-pesta yang paling digandrungi oleh masyarakat komunitas perkebunan adalah pesta yang menyuguhkan acara hiburan keyboard, lengkap dengan biduanita yang mempertontonkan tarian erotik terkenal dengan sebutan “keybord bongkar” tidak peduli jenis pesta apapun itu. “Pesta kurang afdol bila tidak ada suguhan yang demikian” demikian ujar salah satu buruh yang ditemui di tengah berlangsungnya pesta. Biasanya kalau mendengar adanya suguhan keybord maka pesta akan meriah tidak hanya yang diundang datang tetapi juga dari emplasmen lain di perkebunan bahkan dari komunitas desa lain datang dengan jalan kaki di tengah hamparan gelap gulitanya belantara perkebunan. Tidak ketinggalan juga pedangan-pedangan kecil menyajikan aneka makanan,minuman termasuk miniman alkhohol bahkan “tukang dadu” menjalankan bisnisnya sampai selesai.
Awalnya pada saat prosesi adat dilaksanakan, sekitar jam 16.000 Wib petang hari masih dalam busana adat yang sopan lengkap dengan tarian “kasidah”. Kemudian setelah acara pokok, dilanjutkan dengan acara “bebas” hiburan dangdut bagian-bagian busana satu-persatu mulai diganti dengan busana yang lebih bebas, dan kemudian semakin malam, busanaya mulai “dibongkar” hingga pada puncaknya busananya seronok dan “hampir bungil” diiringi dengan tarian antara biduanita dengan khalayak dan sibudian mendapatkan “saweran” yang lebih banyak jika lebih galak dan berani.
Aspek Positif
Meskipun demikian, ditengah semaraknya pesta-pesta di perkebunan masih menyimpang aspek positif, yaitu dibalik bungkus “hedonisme” seperti diuraiakan di atas, masih tersimpan “kearifan lokal” sebagai sarana atau mekanisme keseimbangan psikologis buruh karena disanalah mereka mengekpresikan diri, menyatakan diri tanpa hambatan-hambatan struktural sebagaimana mereka di tempat kerja. Selain itu, pesta juga menjadi salah satu wadah dimana mereka punya kesempatan untuk mempertahankan eksistensinya bahkan tidak jarang sebagai tanda pengakuan akan “prestise sosial” di lingkungan komunitas buruh. Biasanya semakin meriah dan semarak suatu pesta menjadi garansi mengukuhkan status sosial mereka.
Dalam praktiknya, tidak jarang pengakuan dari si punya “hajat” menyatakan bahwa mereka mendapat untung dari pesta tersebut. Biasanya unsur “tolong-menolong” juga ditemui didalamnya. Misalnya bahwa modal untuk menyelenggarakan pesta tersebut seperti konsumsi dan keperluan lain di beli dengan “ngutang” dan setelah acara selesai bisa dilunasi bahkan bisa juga membeli perabot rumah tangga atau DP sepeda motor. Dalam variasi berbeda pola-pola tolong-menolong pembiayaan pesta yang disebut asokan. Bentuk tolong-menolong ini adalah bahwa kawan-kawan dekatnya menyumbang dalam bentuk daging, beras,minyak makan, minyak lampu dsb. Semua kebutuhan ini bisa di “utang” dari warung-warung setempat dan dibayar setelah gajian.
Di sinilah uniknya pesta kebun. Sebelum acara pokok/puncak dimulai, satu minggu atau dua minggu sebelumnya sudah ada undangan dengan cara mengirimkan makanan yang biasa disebut punjungan dan disana diberitahukan hari, jam dan tempat hayatan diadakan. Isinya antara lain nasi, telur, mie goring dan sepotong daging ayam dalam ukuran besar. Maksud pengiriman itu adalah agar tamu (yang diundang) datang dan sumbangan yang akan diberikan (biasanya kesekapatan alamiah) jumlahnya cukup besar Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). Tiba pada hari inti pesta yang ditentukan di sanalah para undangan memberikan sumbanganya dengan menyuguhkan hiburan. Setelah selesai acara, saat si istri hendak pulang yang punya hayat memberikan “oleh-oleh” dalam bentuk nasi kotak (dibungkus daun) sesuai dengan menu saat undangan diberikan.

Menguak Makna Nasionalisme

Hampir tiada gugatan pemaknaan Nasionalisme dalam konteks kekinian. Bagi pemerintah keterpurukan Bangsa ini diletakkan semata-mata persoalan teknis ekonomi-politik belaka tiada kaitannya dengan Nasionalisme. Solusinya pun bermuara pada solusi bersifat teknis pula. Menganggap persoalan Nasionalisme usang, tiada relevansi meredam keterpurukan Bangsa. Lain lagi langgam pola-tindak elite politik kita, terminologi Nasionalisme dipelintir sekedar romantisme belaka dengan cara menggali, merepresentasikan diri sebagai ahli waris Nasionalisme dalam bentuk “show force”.

Pendekatan ideologis memaknai Nasionalisme menguat melalui pendekatan simbol-simbol primordialitas (politik aliran) sebagai alat membius rakyat demi target politik 2009. Identitas, otentitas, dan kemandirian bangsa dicitrakan melalui plattform partai mengabaikan sepak terjang dalam dimensi kesejarahan. Akibatnya Nasionalisme a-historis, kehilangan semangat merumuskan isu musuh bersama. Sebaliknya berkontribusi bagi reduksi nilai Nasionalisme.
Tetapi fakta sejarah menggoreskan lain. Bangsa kita lahir, dibesarkan dalam bingkai sentimen Nasionalisme yang kuat. Kecintaan tanah air menjadi lem perekat persatuan; menghimpun, menggerakkan kekuatan bersama. Hal itu menjadi amunisi penting mengusir penjajah, meretas jalan menuju kemerdekaan. Kecintaan terhadap tanah air tidak bisa ditawar, menggetarkan kalbu, mencairkan berbagai rupa primordialitas etnik, budaya dan politik. Semangat perlawanan terhadap kesewenangan penjajah termanifestasi dalam semboyan “Merdeka atau Mati”.
Era pasca kemerdekaan Nasionalisme tetap terpelihara. Hanya saja berada dalam bingkai pembelajaran dan pendewasaan tradisi berdemokrasi. Kebinekaan primordialitas bukan diingkari, melainkan diakomodir, dikelola dalam bingkai ideologi Negara. Tetapi perlawanan terhadap imperlialisme dalam bidang ekonomi, politik dan budaya tetap menjadi agenda utama. Perlawanan ekonomi ditegaskan dengan penolakan kepemilikan asing atas aset-aset strategis. Dalam konstelasi politik berupaya keluar dari hegemoni bangsa asing, bahkan tampil memimpin bangsa-bangsa Asia-Afrika menolak penjajahan. Di bidang budaya muncul wacana kebudayaan autentik “kebudayaan nasional” menghujat pembodohan dan pemasungan penjajah di segala bidang. Ekspressi budaya dari berbagai suku, agama dan antar golongan diapresiasikan sebagai penegasan “National dan Character Building”. Ketiga unsur perlawanan ini dipropagandakan oleh Sukarno dengan istilah Trisakti. Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam ekonomi dan Berkepribadian dalam kebudayaan.
Destruksi Makna
Era rezim Suharto makna nasionalisme terasa hambar tereduksi sekedar topeng belaka. Pemaknaan Nasionalisme jadi semacam ritual simbolis memanipulasi epos kepahlawanan, kebesaran bangsa masa lalu dan kemuliaan moralitas bangsa menutupi realitas yang carut marut. Tujuannya tidak lain mempertahankan status-quo. Kemerdekaan buah perjuangan rakyat ratusan tahun “tenggelam” di dasar kekuasaan, modal dan bedil. Rakyat kembali ke alam penjajahan, kali ini oleh buah tangan bangsa sendiri. Nasionalisme jadi semacam kesadaran palsu dibawah hegemoni kekuasaan atas nama kebijakan negara dan pembangunan. Rakyat harus tunduk pada arus utama penafsiran Nasionalisme ala rezim berkuasa.
Perlahan-lahan rakyat kehilangan kepercayaan diri. Realitas palsu dicitrakan Orde Baru menuai hasil dalam bentuk “realitas baru” di mana simbol-simbol Nasionalisme mengabdi pada kekuasaan. Otensisitas jati diri sebagai sebuah nation-state memudar, diiringi menguatnya identitas dan solidaritas bersumber pada primordialitas. Gerakan-gerakan separatisme merebak dimana-mana secara terbuka dan tersembunyi sebagai antitesa otoritarianisme kekuasaan. Semuanya berawal dari kekecewaan mendalam atas hilangnya jaring pengaman rasa kebanggaan sebagai sebuah bangsa.
Imbasnya terasa multikompleks, hampir tidak ada prestasi membanggakan dari Bangsa kita. Mulai dari krisis ekonomi, degradasi moral birokrasi korup, KKN menggurita, angka pengangguran membengkak, tingginya cost bagi pencari keadilan, penyiksaan TKI di luar negeri, kerusuhan ada dimana-mana sampai terpuruknya prestasi olahraga nasional menjadi image kelam bangsa. Bangsa kita menjadi inferior dan segala yang berbau asing menjadi superior.
Elite bangsa kita tidak punya sensitivitas atas penderitaan rakyat. Perilaku “anti nasionalis” justru bermunculan, sibuk memperkaya diri, pemberantasan korupsi tersendat. Kekuatan modal turut memiskinkan rakyat dengan menyerobot tanah rakyat, menghalalkan perbudakan modern, penguasaan aset nasional melalui berbagai produk undang-undang SDA dan SDM. Persaudaraan sesama bangsa terasa sesak, menjadi wacana aneh dan menggelikan. Sebab semua sudah saling menyikut dan memikirkan diri sendiri.
Runtuhnya Nasionalisme
Era reformasi saat ini Nasionalisme berada pada titik nadir. Rasa ketidaksalingpercayaan sesama elemen bangsa memuncak dengan makin tidak terbendungnya upaya-upaya separatisme. Sementara krisis ekonomi bukan makin reda tetapi makin menggila. Lihat betapa ibu-ibu rumah tangga mengeluhkan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Sangat ironis ketika Indonesia dikenal sebagai pemilik kebun kelapa sawit terluas dan eksportir tertinggi CPO. Di tengah lumbung sawit masyarakat menderita dengan sistem penjatahan minyak goreng.
Nasionalisme kita tergencet habis oleh kuatnya hegemoni pasar. CPO kita berlimpah ruah ternyata harus memuliakan pasar internasional dari pada kebutuhan rakyat. Pada saat bersamaan pemerintah belum mampu berbuat apa-apa. Tindakannya hanya sekedar kebijakan “tambal sulam” mengabdi pada pasar, menaikkan bea ekspor yang bagi pengusaha bukanlah suatu hambatan berarti. Tidak ada kebijakan yang melindungi kepentingan rakyat banyak.
Ketegasan pemerintah dibutuhkan agar pengusaha tidak semata mementingkan untung mengabaikan kebutuhan rakyat. Tapi tampaknya ketegasan itu begitu mahal. Pemerintah tidak pernah memikirkan regulasi yang melindungi kepentingan rakyat atas ekploitasi berbasis sumber daya alam. Pemerintah tidak pernah serius menegakkan etika bisnis yang sehat dan penegakan hukum atas pengusaha nakal. Kekayaan alam kita ternyata tidak bisa dinikmati rakyat. Kekuasaan pengusaha asing masih lebih kuat. Perlawanan atas neo imperialisme ini juga tidak dibangun.
Bangun Karakter Bangsa
Tidak ada bangsa ditakdirkan hidup miskin. Bangsa Indonesia bukan tidak bisa bangkit dari keterpurukan. Sejarah bangsa Indonesai adalah sejarah besar, pernah menjadi salah satu kekuatan disegani di Asia. Pemimpin bangsa Indonesia adalah pemimpin ulung yang berani menentang intervensi asing.
Ketegasan pemimpin dibutuhkan agar bangsa memiliki kepercayaan pada kemampuan sendiri. Pemerintah harus tampil meyakinkan rakyat untuk mampu berbuat sesuatu membangun bangsa. Pengalaman akan menjadi guru terbaik untuk perlahan-lahan memperbaiki kehancuran di segala bidang. Tidak saatnya lagi dengan gampang menyerah pada kekuatan global yang menghancurkan bangsa.
Bukan rahasia lagi jika korupsi mengjangkiti birokrasi kita termasuk di lingkungan BUMN. Padahal sejarah mengajarkan bahwa penguasaan kita atas aset tersebut adalah demi mensejahterakan rakyat dan menghentikan penghisapan kolonialisme. Tetapi realitasnya pejabat-pejabat BUMN menjadi londo ireng yang memperkaya diri sendiri dengan memperbudak rakyat. Dan sekali lagi pemerintah tidak menggunakan “power”-nya menegakkan hukum. Seharusnya pejabat-pejabat seperti itu dipecat, dihukum dan diganti dengan orang berdedikasi kepada rakyat dan bangsa.
Suprastruktur dan infrastruktur perlu dibenahi di segala bidang agar mengabdi pada kepentingan nasional. Pada saat yang sama bagi anak-anak bangsa yang telah difasilitasi selama ini tetapi membuat kekeliruan harus dikenakan sanksi tegas. Misalnya kasus korupsi, harus dijatuhi hukuman berat bila perlu hukuman mati layaknya di Tiongkok.
Tidak saatnya lagi berpasrah pada hegemoni bangsa lain. Percaya kepada kemampuan bangsa ini adalah kunci untuk memperbaiki carut marut ekonomi, politik dan budaya. Dan hanya dengan cara seperti inilah Nasionalisme akan berwujud. Jika tidak, Nasionalisme akan tetap sekedar bayang-bayang.

Penulis : Manginar Torang, S.
Pemerhati masalah sosial
Kelompok Pelita Sejahtera (KPS)
(Sebuah NGO yang bergerak pada Advokasi dan Pendidikan Buruh)
Jln. Cempaka I/20, Simpang Pemda, Tlp. (061) 8364300 email : kps_por@ yahoo.com
Medan, Sumatera Utara

Realitas Budaya Buruh Kebun

Jika didefenisikan perbudakan sebagai suatu bentuk kesenjangan yang sangat tinggi pola hubungan buruh-majikan, menempatkan buruh pada posisi subordinat sebagai satu-satunya pilihan hidup, dimana seluruh aspek kehidupan buruh dibawah kontrol majikan. Defenisi operasional ini dapat dipakai sebagai pijakan untuk melukiskan bagaimana sebenarnya realitas hidup buruh Kebun.
Derajat Kesenjangan
Terdapat beberapa perbedaan tentang derajat kesenjangan itu, jika dilihat dari aspek kerakteristik wilayah dimana perkebunan berada. Di perkebunan yang relatif dekat dengan daerah urban atau sub urban, akan sangat berbeda dengan daerah pedesaan, terisolir dan jauh dari pusat- pusat ekonomi, kekuasaan dan peradaban.

Perkebunan yang relatif dekat dengan daerah urban, akan tanpak bahwa buruh berbaur dengan komunitas-komunitas sub urban, meskipun sebagian ada yang memilih di emplasmen perkebunan yang disediakan oleh perusahaan.

Dari segi interaksi dan hubungan sosial buruh tentu akan lebih luwes dan terbuka sama perubahan-perubahan yang ada disekitarnya. Dengan demikian akses terhadap informasi, aspirasi dan pilihan-pilihan hidup (pekerjaan) akan lebih terbuka, sehingga buruh relatif mempunyai bergaining posisi dengan pihak perusahaan perkebunan.

Kerakteristik statifikasi masyarakat relatif heterogen dibandingkan dengan daerah perkebunan di pedesaan yang terisolir dimana komunitas masyarakat hidup dalam lingkungan emplasmen yang homogen, mendorong mereka mempunyai kesempatan membanding-bandingkan pola hidup, norma dan pola anutan sosial sebagai acuan dalam rangka kesadaran akan aspirasi hidup yang lebih baik.

Banyak kasus-kasus kesadaran dan kepedulian nasib sesama buruh dalam bentuk tuntutan akan hak-hak normatif mereka sebagai buruh yang sering berakibat praktek mutasi dan pemecatan justru muncul dari perkebunan yang relatif dekat dengan daerah urban dan sub urban. Keadaan yang demikian, tentu membawa kesulitan tersendiri bagi perusahaan perkebunan mengontrol buruhnya.

Sedangkan bagi perkebunan yang bercorak pedesaan, terisolir dan relatif jauh dari daerah urban atau sub-urban, bentuk kesejangan pola hubungan buruh majikan akan semakin terasa.

Dari segi pengaturan ruang, akan tampak bahwa pola pemukiman dan pembangunan pemukiman buruh (emplasmen) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pola pengawasan. Emplasmen terkonsentrasi dan berada di tengah-tengah lokasi perkebunan dan terisolasi dari pemukiman komunitas penduduk sekitar perkebunan.

Pemukiman para tuan kebun berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Pintu masuk perkebunan dikondisikan terpusat yang dijaga oleh aparat satpam sehingga perkebunan tahu benar “orang asing” yang lalu lalang masuk ke daerah perkebunan. Kemudian di dalam emplasmen, Mandor adalah salah satu piranti penting pengawasan buruh.

Mereka ditempatkan sebagai satu-satunya panutan utama bagi komunitas emplasmen dengan menyediakan rumah yang sedikit berbeda dengan rumah buruh dan berbaur bersama buruh. Komunitas buruh mayoritas adalah suku jawa, relatif homogen dari sudut stratifikasi sosial serta ketiadaan norma sosial sebagai piranti penting pengendalian sosial, menyebabkan kerakteristik komunitas buruh yang sedikit massif dalam hubungan sosial dan pola perilaku. Salah satu contoh aspek pola perilaku masyarakat adalah kebiasan “vulgar” berkaitan dengan perilaku seksual. Dalam masyarakat tersebut terkenal istilah “koran” (kontol raun) yang menggambarkan pola perselingkuhan menjadi hal yang sudah biasa.

Dalam taraf tertentu “perselingkuhan” sering bermotif ekonomis, seperti mengkondisikan istri atau suami berselingkuh dan pada suatu saat dijebak untuk tertangkap basah, selanjutnya berdamai dengan kompensasi perdamaian dalam bentuk uang. Dalam masyarakat perkebunan terbentuk karakter dasar buruh yang sangat tertutup, penuh curiga, nrimo/pasrah dan sangat mapan dengan kemiskinan.


Piranti Upah memelihara Kesenjangan
Pihak perusahaan perkebunan tentu mempunyai berbagai cara untuk selalu memelihara kesenjangan pola hubungan itu. Cara yang paling konvensional dan berurat-berakar turun-temurun adalah melalui perbedaan upah antara upah buruh dengan upah managemen. Pertama, Perbedaan kesenjangan upah misalnya upah tertinggi yang mungkin di peroleh buruh kebun yang berstatus buruh tetap (SKU) hanya bisa mencapai Rp. 1.000,000,- per bulan, dimana umumnya gaji pokok dibawah UMP propinsi sekitar Rp 600.000,- s/d 700.000,- plus premi jika melebihi target kerja rata-rata perhari Rp. 300.000,- S/d Rp. 400.000,- per bulan.

Sementara Mandor yang merupakan jejang tertinggi mobilitas vertikal buruh sedikit lebih tinggi dari buruh mendapat upah 1,5 juta s/d 2 juta perbulan.

Untuk tingkat managemen kerani, asisten kebun, kontrolir mendapat upah sekitar kisaran 4 juta sampai 15 juta, dan manager kebun 20 juta sampai 50 juta per bulan lengkap dengan fasilitas perumahan yang cukup mewah, akomodasi dan transportasi dan pelayanan kesehatan yang lebih jika merujuk pada rumah sakit rujukan mereka memelihara kesehatanya. Untuk setingkat asisten diberikan fasilitas transportasi sepeda motor dan manager kebun adalah mobil.

Kedua, menekan upah buruh melalui pembiakan dan penerapan sanksi-sanksi kerja yang ketat . Untuk pemanen misalnya, paling tidak setiap sub jenis kegiatan seperti mulai dari sangsi administratif sampai sanksi proses kerja; memotong TBS, memotong dan mengatur pelepah, memungut berondolan mempunyai mekanisme sanksi yang dikonversikan dalam bentuk uang sehingga terjadi pengurangan upah yang sedikit itu. Kesalahan kerja buruh dijawab dengan hukuman denda bukan dengan mendidik, melatih keterampilan kerja buruh.

Ketiga, Tekanan upah rendah berakibat pada kesenjangan antara sumber pendapatan dengan besar pengeluaran hanya untuk sekedar makan. Dengan sedikit berseloroh; upah kami untuk “dubur” saja tak cukup sementara binatang peliharaan saja seperti “anjing” dikasi makan oleh tuanya berarti kami ini lebih rendah dari pada anjing demikian pengakuan salah seorang buruh secara lugas dan reflektif. Cara mensiasati hal tersebut memaksa buruh mengurangi pola konsumsi keluarga nyaris tampa gizi, “gali lobang tutup lobang” seperti ngutang diwarung dan tidak jarang terjebak dengan tengkulak atau lintah darat menyebabkan sifat keterganungan yang tinggi pada perusahaan.

Cara lain yang juga ampuh menciptakan ketergantungan yang tinggi, telah lama berurat-berakar warisan kolonial. Akibat gaji yang rendah hanya cukup untuk tetap bertahan hidup memaksa buruh mengambil pilihan “pahit” yang harus ditempuh. Misalnya banyak buruh yang telah lama bekerja sekitar 25 – 30 tahun bahkan lebih saat pensiun tidak mempunyai rumah, sementara pihak perusahaan berusaha memindahkanya. Satu-satunya cara untuk tetap tinggal diemplasmen adalah berusaha mewariskan pekerjaan sebagai buruh kepada anaknya inilah yang disebut “rekruitmen warisan” itu pun tidak secara otomatis diangkat sebagai buruh tetap (SKU), tetapi ditangguhkan statusnya atau ditetapkan sebagai Burun Harian Lepas (BHL) dengan membatasi jumlah hari kerja dibawah 20 hari mensiasati undang-undang ketenagakerjaan.

Pada saat bapaknya aktif kerja di kebun, untuk mencapai basis borong dan premi biasanya mengikutkan anaknya magang kerja yang biasa disebut kerja model “sopir-kernet”. Kemudian cara ditempuh perusahaan adalah pengoptimalan penggunaan buruh harian lepas (BHL) dan pembatasan atau tidak lagi memerima buruh tetap, sampai pada pengalihan status buruh tetap dengan cara mengkondisikan buruh melanggar aturan kerja atau malakukan kesalahan yang berbuntut pada pemecatan dan menggangkat kembali sebagai BHL.

Pengoptimalan BHL mempermudah perusahaan mengakumulasi modal tanpa terbebani biaya produksi yang tinggi, tanggung jawab sosial perusahan dan paling terpenting adalah pemindahan perselisihan atau konflik perkebunan keluar arena perusahaan.

Penggunaan simbol-simbol “kekerasan” dalam bentuk aparatur keamanan kebun berupa perekrutan centeng, papan, satpan sampai mata-mata yang rekrut dari masyarakat sekitar mempertinggi derajat pengawasan sampai bentuk-bentuk pengawasan terselubung (hegemoni) seperti pemamfaatan tokoh adat, agama melalui kegiatan-kegiatan sosial sebagai alat “pengendalian sosial” kepada buruh hingga berupa “showroom” sepeda motor masuk perkebunan, pinjaman melalui koperasi dan bentuk-bentuk hiburan malam “warung remang-remang” disekitar jalan besar menuju perkebunan, biasanya bekerjasama dengan preman-preman setempat yang acap kali menjadi bisnis “prostitusi”.

Selain hal yang disebutkan diatas, praktek kerja buruh juga sangat membebani mereka. Misalnya selain pembebanan biaya alat-alat kerja dipotong dari gaji mereka , juga pembiaran buruh bekerja tanpa penggunaan perlengkapan pelindung kerja. Tiada antisipasi pencegahan perlindungan kesehatan kerja.

Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan sosialisasi dan pendidikan tentang bahaya kerja seperti tertimpa buah, tertimpa pelepah dan resiko, dampak berinteraksi dengan zat-zat kimia berbahaya yang digunakan oleh buruh penyemprot, pemerikasaan kesehatan dan rotasi pekerjaan yang bekerja pada bagian yang berhubungan dengan bahan kimia berbahaya.




Tanjung Sari, 25 Juni 2008

Rabu, 23 Juli 2008

Buruh Harian Lepas (BHL) di Perkebunan

Pengantar
Ada 4 (empat) gagasan pokok yang akan saya sampaikan pada kesempatan ini. Pertama, tentang bagaimana pengaturan relasi kerja majikan-buruh yang merupakan substansi masalah dalam konteks perburuhan. Uraian ini sekaligus menegaskan perspektif saya memandang Buruh Harian Lepas (selanjutnya disingkat BHL); Kedua, kuatnya pengaruh modal mengintervensi relasi kerja. Tampaknya ada semacam “ketegangan” antara logika modal dan logika relasi kerja. Logika modal yang impersonal, cenderung mengabaikan dimensi nilai-nilai kemanusiaan didalamnya demi efektivitas dan produktivitas kerja yang bermuara pada maksimalisasi keuntungan. Sementara relasi kerja adalah relasi personal yang sarat dimensi nilai kemanusiaan, bukan sekedar masalah efektivitas dan produktivitas kerja. Ketegangan tersebut tampaknya menjadi sumber masalah polemik yang sampai saat ini belum terakomodir dalam kebijakan perburuhan kita. Sayangnya penselesaian masalah ketegangan tersebut diserahkan diatur oleh pasar, tanpa intervensi dan proteksi negara melindungi yang lemah. Ketiga, uraian garis besar buku, dimana realitas kekinian BHL hanya akan terpahami dalam konteks sejarah perkebunan dan perburuhan. Keempat, temuan lapangan tentang realitas kekinian BHL.
Relasi Kerja Majikan-Buruh
Praktek kerja (BHL) diperkebunan sudah berakar jauh sebelum UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan diberlakukan di Indonesia. Praktek hubungan kerja majikan-buruh eksploitatif ini telah menjadi langgam perburuhan sejak jamam kolonialisme (Mubyarto, 1992; Kartodirjo, 1999). Kebijakan kolonialisme waktu itu terutama di perkebunan lebih berpihak pada modal seperti konsesi tanah murah, pengakuan kepemilikan tanah bagi pengusaha asing (hak erfpacht) dan legitimasi hubungan kerja bebasis “kuli kontrak” melalui kebijakan perburuhan ordonansi koeli dan ponale sanksi lebih ditujukan menjerat buruh menjadi abdi tuan Kebun (perbudakan)(Said, 1977). Hubungan kerja eksploitatif tadi, oleh kuatnya wacana kolonialis kemudian terinternalisasi kedalam struktur hubungan industrial perkebunan. Masyarakat kita sadar atau tidak sadar juga mengaminkan perbudakan sebagai sebuah kewajaran sehingga mengurangi kepekaan kita melihat penindasan yang ada disekeliling kita.
Namun penting diingatkan kembali bahwa setelah Indonesia merdeka, para pejuang pendiri Bangsa ini sadar betul hubungan kerja eksploitatif bercorak liberalisme tadi harus dihapuskan. Itulah yang mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengenai "pekerjaan" dan "penghidupan yang layak" dan terkait amat erat dengan pasal 28 mengenai hak untuk berorganisasi dan berkumpul sebagai dasar konstitusional perburuhan kita (Putusan Mahkamah Konstitusi, 2003).
Beberapa tahun kemudian secara konsisten pemerintah kita waktu itu memperjuangkan hubungan kerja majikan-buruh bersifat kolektif berbasis kesejahteraan. Setidaknya tiga buah undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu undang-undang yang paling progresif dan protektif terhadap buruh/pekerja pada masanya dan jauh lebih bagus dari UU No 13 kita saat ini.
Kurun waktu tahun 1950-an merupakan zaman keemasan buruh perkebunan. Di tingkat managemen perkebunan waktu itu benar-benar suatu tindakan yang protektif kepada buruh. Proses rekruitmen buruh terseleksi dengan baik; kepastian hubungan kerja (buruh SKU), sistem penggajian berbasis kesejahteraan (upah pokok plus catu 11) dan pemenuhan jaminan sosial seperti fasilitas perumahan dan pelayanan kesehatan, hak berserikat dijamin serta tidak mempekerjakan anak.
Intervensi Modal Asing Di perkebunan
Setelah nasionalisasi aset-aset perkebunan ke tangan pemerintah hubungan kerja majikan-buruh mengalami perubahan seiring dengan dinamika pergolakan politik mempengaruhi kebijakan di tingkat pengelolaan perkebunan. Ditenggarai hubungan kerja buruh-majikan yang ideal tadi tidak diimbangi oleh pengelolaan managemen yang profesional. Pengelolaan perkebunan waktu itu lebih didasarkan pada kepentingan politik praktis dari pada keinginan mengembangkan perkebunan. Penunjukkan pejabat-pejabat perkebunan waktu itu bukan atas dasar keahlian tetapi atas dasar kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan sehingga perusahaan terutama di perkebunan mengalami kemunduran hasil produksi baik dari segi kuantitas dan kualitas (Tjondronegoro, 1999). Banyak perusahaan perkebunan waktu itu terancam tutup karena pengelolaan yang tidak benar, sehingga membuka peluang masuknya modal asing dan intervensi kepentingan politik militer (BUMIL) ke perkebunan terutama pada pasca nasionalisasi (Lukman Sutrisno, 1992).
Puncaknya adalah pemerintah Orde baru membuka luas investasi modal asing melalui Undang-undang penanaman modal tahun 1967 turut mereduksi pola hubungan majikan-buruh ke arah liberalisasi pasar tenaga kerja. Kemudian kekuatan modal menggeser hubungan kerja buruh-majikan bersifat kolektif berbasis kesejahteraan tadi kembali ke hubungan kerja eksploitatif. Muncullah pendekatan hubungan kerja yang bersifat hegemonis (Hubungan Industrial Pancasila), “monoterisasi” sistem pengupahan dalam bentuk konversi jaminan sosial seperti fasilitas perumahan menjadi “uang kontrak” rumah dan kontrol negara terhadap organisasi kemasyarakatan termasuk serikat buruh dengan dukungan militer.
Di tingkat organisasi produksi perkebunan mulai mengenalkan skema rekruitmen buruh murah. Secara berlahan-lahan tapi pasti pengurangan buruh yang berstatus SKU, dan mengoptimalkan BHL terutama pada pekerjaan pemeliharaan kebun, dengan cara penangguhan pengangkatan SKU yang direkrut berdasar rekruitmen warisan. Upah sebagi satu-satunya jaminan kelangsungan hidup buruh cenderung menurun bila dikonversikan dengan daya beli. Jika jaman kolonialis (1937) upah diterima buruh setara dengan 4,37 kg beras/hari, maka pada jaman Orde Baru menurun menjadi 3,21 kg/hari (Safry Sairin, 1992). Akses buruh terhadap kesejahteraan dipasung dengan menghambat mobilitas sosial.
Kini jaman yang kita sebut reformasi, kondisi buruh makin sulit akibat kebijakan disahkannya UU Ketenagakerjaan, yang jelas-jelas menghapuskan nuansa protektif dalam hukum perburuhan Indonesia, dan karenanya menjadikan undang-undang tersebut bertentangan dengan amanat UUD 1945. Pasar tenaga kerja terbuka jelas mengurangi standar perlindungan buruh, dan peran negara sebagai pelindung pun semakin dihilangkan. Buruh/pekerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal.
Garis Besar Buku
Dalam konteks yang demikian buku ini hadir melengkapi pustaka perburuhan di perkebunan. Secara garis besarnya buku ini berisi tentang pengertian BHL, pentingnya BHL sebagai isu perburuhan, faktor-faktor mempengaruhi meningkatnya BHL, rumusan focus masalah penelitian, tujuan penulisan, pengorganisasian penelitian dan sistematika pemulisan.
“Sejarah Singkat Perkebunan di Sumatera Utara”. Realitas kekinian BHL hanya akan terpahami dalam konteks sejarah perkebunan dan perburuhan. Diawali cerita tentang peralihan pertanian subsistensi ke perkebunan komersil yang ditandai oleh liberalisasi ekonomi di sektor perkebunan, kemudian dilanjutkan dengan masalah tanah dan tenaga kerja di perkebunan serta penerapan kebijakan perburuhan mulai dari ordonansi kuli dan ponale sanctie kebijakan perburuhan pasca ordonasi, Orde Baru dan era reformasi.
“Gambaran umum Perusahaan Perkebunan’” antara lain: kondisi umum kebijakan perusahaan perkebunan menyangkut sistem kerja, hubungan kerja, pengupahan, pengawasan dan sangsi serta fasilitas buruh di perkebunan, dilanjutkan dengan uraian profil perusahaan perkebunan yang menjadi sampel dari segi modal, luas perkebunan, tenaga kerja SKU dan BHL dan Jumlah Afdeling, kemudian di tutup dengan uraian sekitar profil daerah penyanggah tenaga kerja di 3 lokasi penelitian.
“Analisis hubungan Kerja BHL”. Menceritakan sistem dan pola rekruitmen BHL, kaitan antara pola rekruitmen dengan sistem kerja, penggajian, pengawasan dan pola jaminan sosial BHL. Tentang “Upah” sistem pengupahan BHL dalam konteks dulu dan kini, realitas pengupahan BHL dan kaitanya dengan daya beli, pola konsumsi keluarga dan gaya hidup mereka. Aspek “kesejahteraan” BHL. Dimulai dengan menggambarkan fasilitas yang diberikan perusahaan, THR dan jaminan sosial, pendidikan, pendapatan tambahan di luar BHL, terutama dihubungkan dengan pemenuhan dan perlindungan hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Dan rangkuman keseluruhan penulisan.
Temuan-temuan
Temuan penting dalam studi ini : pertama, sejak tahun 1970 praktek kerja BHL diperkebunan mulai marak seperti jaman kolonial, kedua, ditemui bahwa dalam 100 Ha kebun dipekerjakan 22 orang buruh, 12 diantaranya SKU dan 10 BHL. Dengan asumsi seperti itu, diperkirakan jumlah BHL sekitar 800.000 di sumatera Utara; ketiga, faktor hubungan kerja menjadi faktor yang paling berpengaruh sistem kerja, penggajian, pengawasan, upah dan akses terhadap kesejahteraan. Keempat, ada 3 jenis perikatan kerja BHL diperkebunan yaitu : 1 Perikatan permanen (kontrak tahunan, sistem dan beban kerja sama dengan SKU hanya saja hari kerja dibatasi dibawah 20 hari), sistem kerja berdasarkan 1 hk ( 7 jam kerja) dan target kerja secara bersamaan ditentukan sepihak oleh perusahan, upah antara Rp 29.000,- s/d Rp 31.500 tanpa jaminan sosial. 2. Perikatan semi permanen (kontrak borongan, model kerja sopir-kernet yang kita sebut “paket hemat”, kepastian kerja tergantung pada fruktuasi panen, jam kerja ada yang ½ hk, ada yang 1 hk tergantung pada fruktuasi panen tanpa jaminan sosial. dan 3. outsourcing baik resmi dan tidak resmi, kepastian kerja ukuranya ½ hk (4 jam kerja), kompensasi upah sekitar Rp 8.000 s/d 15.000,- tanpa jaminan sosial; kelima, seluruh aspek kerja BHL berbasis penghisapan mulai dari proses rekruitmen, proses kerja, polanya hampir sama dengan jaman ordonasi kuli tempo dulu kerja hanya untuk sekedar makan.
Itulah realitas buruh perkebunan kita di tengah rendeman minyak sawit terbaik dan ditengah tumpukan “dollar” hasil bumi dan keringa buruh tidak berdampak bagi kesejahteraan.
Tanjung Sari, 23 April 2008
Manginar Torang, S


Daftar Pustaka
Hutabarat, Tua Hasiholan, 2006 Realitas Upah Buruh Industri, Medan : KPS & n(o)vib oxpam Netherlands.
Kartodirjo, Sartono, 1999 Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta : Aditya Media.
Mubiarto, 1992, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta : Aditya Media.
Nadapdap, Gindo,dkk, 2007, Panduan Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama Pada Tingkat Perusahaan, Medan : KPS & Union, European.
Said, Mohammad, H, 1977, Suatu Zaman Gelap di Deli, Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Dengan Derita dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada.
Tjondronegoro, Sediono M.P., 1999, Sosiologi Agraria; Kumpulan Tulisan Terpilih, Bandung Penerbit Akatiga.

BURUH MENDERITA DI LUMBUNG SAWIT

Pendahuluan
Kasus eksploitasi Buruh perkebunan belum banyak terekspose ke permukaan, meskipun realitasnya mereka rentan akan perlakuan buruk para pemilik modal (kapital) dan apparatus organiknya. Kasus-kasus seperti ini terjadi di beberapa perkebunan, termasuk di perkebunan PT Socfindo Negeri Lama Labuhan Batu Sumatera Utara. Perkebunan Sawit ini dibuka sejak Tahun 1920 telah mengalami perkembangan pesat, ditandai oleh perkembangan investasi, perluasan areal perkebunan baru bahkan menjadi contoh “keberhasilan” bagi perkebunan lainya di Sumatera Utara.
Saat ini perkebunan memiliki 600 orang Buruh yang dipekerjakan mengolah sekitar 2.170,72 Ha lahan produktif seluruhnya adalah tanaman Kelapa Sawit, 49, 9 Ha diantaranya sedang memasuki tahap replanting.
Kondisi Buruh diperkebunan cukup memprihatinkan. Penindasan dan eksploitasi sangat sistematik menyebabkan pemiskinan struktural dibawah titik nadir kemanusiaan. Kemiskinan terwariskan dari generasi ke kegenerasi berikutnya, melahirkan resistensi Buruh menghadapi penindasan dan eksploitasi.
Penindasan dan eksploitasi Buruh bukanlah kasus baru. Hal itu telah menyejarah, bahkan boleh dikatakan telah menjadi langgam hidup keseharian mereka. Setelah lepas dari buaian politik etik kolonialisme, kini terperangkap dalam cengkraman kapitalis dalam perspektif kebudayaan melegalkan perbudakan dibalik retorika perlingdungan hukum dan hak asasi manusia. Landreform diperjuangkan kesatria pendiri Bangsa kita, tenggelam karena pertimbangan-pertimbangan politik praktis terutama setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, sehingga UUPA 1960 dibekukan[1]. Penguasa Orde Baru selama 3 dasawarsa telah memeluk depelopmentalisme sebagai blue print pembangunan meletakkan jargon pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan teknologisasi bercirikan depelopmentalistik-kapitalistik meskipun waktu itu telah banyak kritik bahkan gugatan karena ketidaksterilan dari bias ideologi didalamnya[2].
Pilihan tersebut tidak menguntungkan bagi Buruh karena kebijakan ini berkaitan dengan mobilisasi eksploitasi produksi, distribusi ekonomi didasarkan pada mekanisme pasar dan hubungan-hubungan kekuasaan dimana Negara sebagai aktor utama didalamnya (sentralisme). Di tingkat strategi kebijakan-kebijakan bertumpu pada prinsip “trilogi pembangunan” yakni : stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Pada tingkat praktis, stabilitas nasional diterjemahkan pada pembentukan iklim politik yang kondusif bagi pembangunan ekonomi melalui otoritas pengontrolan masyarakat oleh Negara (depolitisasi), penyederhanaan partai politik dan penerapan kebijakan politik massa mengambang (floating mass).
Implikasinya kebijakan ini lebih diprioritaskan melindungi investasi padat modal demi terjaminya pertumbuhan ekonomi. Sementara peran serta masyarakat terutama petani dan buruh tani/perkebunan yang paling berkepentingan dalam hal ketersediaan dan penggarapan tanah tidak dapat ditumbuhkan, karena tidak memadainya kebijakan dan perhatian pemerintah menyangkut; status hukum pemilikan tanah, pencatatan, perubahan pemilikan tanah, konflik-konflik horizontal menyangkut tanah, dan perlindungan hukum bagi buruh yang rentan terhadap eksploitasi oleh pemilik modal serta penyaluran aspirasi dan keinginan petani dan buruh tani/perkebunan tersumbat, tidak dapat menemukan jalannya keperwakilan rakyat atau pemerintah.
Di sisi lain masih bercokolnya tradisi kepemimpinan feodalistik warisan kolonialisme. Sejak penerapan cultuurstelsel sangat merangsang tumbuhnya pamong desa. Pamong desa di Indonesia sebagai organisasi pra-birokrasi telah dikondisikan oleh pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaanya. Sejak itu kepemimpinan desa yang tradisional dan demokratis mulai luntur. Orientasi kepala desa kepada atasannya menjadi lebih kuat dalam pengerahan tenaga kerja, pemungutan pajak hasil bumi dan mengawasi tanam paksa dari pada mengayomi kepentingan rakyat. Sementara dalam benak pemerintah masih membayangkan desa-desa masih masyarakat-masyarakat demokratis. Kekeliruan persepsi demikian memperparah kondisi petani dan buruh tani di dalam memperjuangkan aspirasi dan keinginan ditengah penindasan dan ekploitasi oleh pihak perkebunan[3].
Kehidupan, sejarah kehidupan kelompok Buruh perkebunan hampir tidak tersentuh oleh siapapun juga, meskipun mereka tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Negara dan kelompok-kelompok dominan yang menaunginya. Kelompok-kelompok ini adalah kelompok-kelompok yang kalah, terpinggirkan dari arena kekuasaan. Mereka adalah kelompok inferior, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas elite yang erkuasa. Sejarah kehidupan kelompok ini tenggelam oleh sejarah kelas dominan yang diakui sebagai sejarah resmi. Kelompok ini tak punya akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural[4].
Kelompok-kelompok buruh dalam perkembanganya mengalami transformasi dalam wilayah produksi ekonomi, difusi kuantitatif dan asal-usul mereka dari kelompok sosial pra-ada, jelas mempunyai perbedaan cara hidup, kebiasaan, mentalitas, ideologi dan tujuan yang mereka kekalkan untuk suatu waktu, dengan kelompok-kelompok lainya dalam suatu negara[5].
Kelompok buruh perkebunan di Indonesia umumnya adalah mereka yang tidak mempunyai tanah ditempat kelahiranya dan banyak didatangkan dari Jawa. Di Sumatra Utara dikenal istilah “Jakon” (Jawa Kontrak) dengan sistem kontrak. Awalnya dikontrak untuk 3-5 tahun kerja. Namun telah banyak buruh memilih tinggal di tempat perkebunan, karena tidak mempunyai apa-apa lagi di Jawa dan tidak punya modal usaha bila kembali ke kampung halamanya.
Dapat dibayangkan tantangan mereka pada awalnya adalah bagaimana mengatasi keterasingan ekologis, sedikit banyak berpengaruh pada keterpecahan identitas dan solidaritas genealogisnya. Pola hidup, kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma genealogis telah tereduksi bahkan terdistorsi menyesuaikan diri dengan ekologis baru. Mereka harus menyesuaikan diri dengan “sangkar besi” standard rutinitas pola kerja, mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan diawasi secara sepihak oleh perusahaan perkebunan. Kebiasaan-kebiasaan mengikutsertakan istri dan anak dibawah umur bekerja membantu suami demi mengejar target kerja dan bonus terpaksa mereka lakukan karena upah yang diterima tidak sebanding dengan kebutuhan hidup normal sehari-hari. Pola makanan “seadanya’’ tidak sebanding dengan energi yang dikeluarkan pada saat bekerja, telah melahirkan profil buruh perkebunan yang kerdil memprihatinkan. Kebiasan-kebiasaan hidup buruh tersebut terwariskan dari generasi-kegenerasi berikutnya sehingga membentuk budaya buruh perkebunan yaitu sekelompok masyarakat yang sangat tertutup, penuh curiga, penakut, nrimo/pasrah sangat mapan dengan kemiskinannya.
Perspektif Cultural studies dan teori

Dari ulasan singkat di atas, barangkali sudah dirasakan pembaca bahwa masalah buruh perkebunan merupakan masalah kompleks. Oleh karena itu diperlukan sekian banyak segi pandang baik dari tinjauan sosiologis, psikologi sosial, politik, ekonomi, hukum. Masalah kesejahteraan rakyat umumnya, khususnya Buruh perkebunan begitu erat kaitanya dengan penguasaan atas tanah, modal, dan asset oleh lapisan masyarakat tertentu dan faktor kekuasaan biasanya terdiri dari kombinasi faktor-faktor politik, hukum, pendidikan, ekonomi dan sosial.
Untuk menjembatani berbagai sudut pandang tersebut, penulis menggunakan perspektif cultural studies. Sebagai suatu kecenderungan cara berpikir, model analisis atau model pemahaman. mengkombinasikan berbagai teori dan metode cultural studies memiliki ciri-ciri menonjol antara lain; pertama, cenderung menganalisis obyek kajian tertentu melibatkan disiplin yang berlainan (multi disiplin) dan berkaitan dengan praktek operasi kekuasan di berbagai institusi; kedua, mendefenisikan kebudayaan sebagai aktifitas yang tampak kepermukaan dan dialami oleh sekelompok orang tertentu dalam praksis kehidupan sehari-hari; ketiga, budaya bukan hanya sebagai warisan tetapi socially constructed maka budaya disamping membentuk partisipanya juga orang-orang yang hidup didalamnya aktif membentuk kebudayaanya serta proses pembentukanya tidak terlepas dari usaha berbagai kelompok memperebutkan sumber daya dan selalu mengandung persaingan kekuasaan melalui mekanisme bahasa dan ideologi; keempat, perspektif cultural studies sangat menfokuskan perhatianya pada budaya-budaya minoritas, termajinalisasi, budaya pinggiran termasuk budaya kaum buruh nyaris ditolak oleh masyarakat dengan tujuan memberikan kuasa bagi orang-orang pada umumnya (cultural of common people) untuk melawan hegemoni budaya dominan [6].
Tugas cultural studies melalui kekhususan perspektifnya adalah melakukan kritik ideologis dan kritik kebudayaan, artinya munculnya kebudayaan kelompok minoritas (Buruh perkebunan) merupakan kontruksi sosial dari berbagai kelompok sosial dalam memperebutkan sumber daya, dalam hal ini tanah, hasil perkebunan dan Buruh. Wilayah kajianya meliputi, ide, sikap, bahasa,institusi dan stuktur kekuasaan (hasil budaya) sebagai layaknya sebuah teks yang diinterpretasikan secara holistik.
Dengan demikian dalam mengkaji budaya Buruh perkebunan menggunakan; pertama, teori pembacaan (reading) tentang bagimana Buruh perkebunan dalam memahami dirinya yaitu bagaimana mereka mengaitkan sebuah fenomena kehidupan dengan situasi sosial mereka. Dalam hal ini memperlihatkan penghargaan yang tinggi dan serius terhadap “sang lain” (the other) diberi ruang berbicara; Kedua, teks (kumpulan tanda) tidak berada dalam ruang hampa. Dengan demikian budaya (perkebunan) dilihat sebagai sebuah bangunan, yang dibangun oleh kombinasi tanda-tanda (teks) berdasarkan aturan tertentu (code) menghasilkan makna (meaning) beroperasi dalam berbagai macam bentuk-bentuk relasi-relasi institusional; Ketiga, memerlukan metode analisis, cara berpikir yang berkaitan dengan “pembongkaran” terhadap berbagai (bahasa, kekuasaan, institusi, obyek sosial) yang ada relasinya dengan Buruh dalam rangka mengatasi berbagai bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang ada didalamnya; Keempat, berupaya menyikapkan relasi yang melekat antara praktik sosial, pengetahuan yang melandasinya (knowledge) dan relasi kekuasaan (power relation) membentuk berbagai wacana atau discourse.[7]
Profil PT Perkebunan Socfindo
Aktivitas managerial dan administratif berkantor pusat di Medan. Aktivitas di lapangan perkebunan dikoordinir oleh Administrateur (ADM) dibantu oleh Asisten Perkebunan dan Mandor. Asisten perkebunan membawahi suatu wilayah disebut Afdeling dan Mandor membawahi suatu wilayah disebut Blok dan beberapa Buruh sesuai dengan aktivitas dan kebutuhan perkebunan.
Salah satu fenomena yang menonjol di perkebunan ini eksploitasi buruh telah mengakar berlangsung secara sistematik. Eksploitasi dilakukan mulai dari proses rekruitmen, prosedur dan mekanisme kerja, pengendalian dan pengawasan kerja.
Dalam proses rekruitmen pekerja, pihak perkebunan tidak mengalami kendala karena kelimpahan tenaga kerja terampil dan murah[8]. Sebagaimana strategi perusahaan, kelicinanya menyesuaikan diri dengan budaya setempat seperti merekrut Mandor atau Asisten kebun dari orang yang “berpengaruh” di lingkungan sekitar sekaligus merekrut pekerja yang dekat denganya atau lewat kesukuan sehingga sangat efektif sebagai alat kontrol[9].
K etentuan tentang pembagian kerja, peraturan kerja sangat tergantung Kepada Asisten kerja dan Mandor, tidak ada sistem kenaikan golongan, kenaikan gaji berkala dan spesialisasi pekerjaan.[10] Buruh dibedakan lagi menurut statusnya. Ada yang dinamakan buruh tetap dikenal dengan buruh Sistem Kerja Upah (SKU),dan buruh Harian Lepas biasa disebut Annemer[11].
Di Perkebunan ini menerapkan sistem kerja berdasarkan jam kerja/hari dan pencapaian target tertentu secara bersamaan, ditentukan sepihak oleh perkebunan. Bila seorang Buruh telah bekerja 7 jam/hari tetapi belum mencapai target kerja borongan yang telah ditentukan, maka Buruh kebun tidak diperkenankan pulang sebelum target kerja tercapai. Sebaliknya bila target telah tercapai namun belum mencapai 7 jam kerja, Buruh kebun belum dibenarkan pulang, dan dipaksa sampai 7 jam kerja terpenuhi. Kelebihan target kerja yang dicapai oleh Buruh akan dihitung sebagai Over Basis dengan dasar perhitungan premi. Harga premi dari Over Basis ditentukan sepihak oleh perkebunan.
ampak sistem kerja demikian mengakibatkan Buruh kebun sangat sulit memenuhi atau mencapai target kerja karena tidak mengenal situasi.[12] Jika target kerja tidak terpenuhi Buruh mendapatkan sanksi atau hukuman berpengaruh pada upah yang mereka terima.[13] Pilihan melibatkan anggota keluarga suami,istri atau anak terpaksa mereka lakukan untuk mencapai target yang ditentukan sepihak oleh perkebunan.
Hampir keseluruhan pekerjaan buruh rentan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Anehnya Buruh bekerja tanpa dilengkapi perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja secara memadai. Pekerjaan memanen rentan resiko-resiko yang mungkin timbul adalah seperti tertimpa buah, mata terkena kotoran berondolan atau tertimpa pelepah. Seperti halnya pemupukan dan penyemprotan, setiap hari Buruh berinteraksi dengan bahan-bahan kimia beracun[14].
Tabel 1
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)
Bidang kerja
Resiko
Peralatan dan Perlengkapan Kerja
Disediakan Perusahaan
Keterangan
Memanen
1. Tertimpa buah
2. Mata kena
kotoran dan
atau brondolan
3. Tertimpah
Pelepah daun
4.Terkena duri
5.Tergigit binatang
berbisa.
- Helm
- Pelindung mata
- Sarung tangan
- Sepatu


Tidak ada perlengkapan diberikan perkebunan

Menyemprot
1. Keracunan
2. Kulit melepuh
3. Mata pedih
4. Kepala pening
5. Perut mual-mual
6. Batuk-batuk
- Masker
- Sarung Tangan
- Pakaian Khusus
- Topi
- Sepatu
- Pelindung Mata
Baju Lengan Panjang dan Celana Panjang
Pernah diberikan Masker tetapi tidak digunakan karena sesak nafas waktu menggunakan
Memupuk
1. Tangan panas
2. Kulit melepuh
3. Perut mual
4. Kepala pening
- Sarung tangan
- Topi
- Sepatu
- Masker
- Baju Lengan
Panjang
- Celana panjang
Perusahaan hanya menyediakan sarung tangan, jika selesai memupuk harus dikembalikan
Buruh lebih sering bekerja tanpa menggunakan sarung tangan karena sarung tangan yang diberikan perusahaan bocor-bocor














Tabel 2
Penggunaan Bahan-Bahan Kimia


Bidang Kerja
Bahan yang
digunakan
Formulasi Kimiawi
Keluhan yang dialami Buruh
Menyemprot
1. Gromoxone
2. Ally
3. Rhodiamine
4. Roundup
- Parakuat diclorida 276/ltr
setara dengan ion 200/ltr
- Metsulforon 20%
- 2,4-Ddimetil amina setara
dengan asam 2,4 D 720gr/
ltr.
- Sesak nafas, radang tenggorokan, batuk batuk
-gatal-gatal dikulit dan melepuh
-Muntah darah
-Kulit badan melepuh
-Kepala pening
-Perut mual, nafsu makan berkurang
-Uap racun tidak hilang sampai beberapa hari
Memupuk
1. Urea
2. TSP
3. Fospat
4. NPK
5. Kurater
6. Borate
1.P2, O5
2.Natrium, Fospat, Kalsium
3. Natrium, fospat
4. Corfuran 3%
5. Sodium Tetraborate
Pentahidrate
6. Na2, B4, 07, SH20
-Telapak tangan melepuh
-Kulit panas bila bersentuhan dengan bahan
-Kepala pening
-Perut mual
-Selera Makan berkurang




Sumber : Observasi dan Pengamatan Lapangan Pada Bulan Juni 2004

Sistem pengawasan di perkebunan ini tidak hanya pengawasan internal, tetapi dilengkapi dengan pengawasan ekternal secara berlapis. Pengawasan internal kental sekali arogansi perkebunan tampak dalam wujud tekanan-tekanan Asisten Perkebunan maupun Mandor. Kebijakan akan target-target kerja, sanksi-sanksi kerja sama sekali tidak pernah disosialisasikan ataupun didialogkan.[15] Pengawasan eksternal melibatkan penggunaan perangkat-perangkat keamanan sebagai bagian sistem pengawasan, diantaranya Satpam, Hansip, Centeng, mata-mata (spionase) sampai pada “oknum” anggota POLRI dari Polsek setempat.
Penataan pemukiman dan pembangunan pemukiman Buruh merupakan bagian sistem pengawasan. Pola pemukiman Buruh terkonsentrasi dan berada ditengah-tengah lokasi perkebunan relatif terisolasi jauh dari pemukiman penduduk. Pemukiman Para Tuan kebun berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Kemudian pada bagian depan kompleks pemukiman Buruh dikenal dengan Emplasmen/Pondok ditempatkan dan disediakan rumah bagi para Mandor kebun berbaur dengan Buruh.
Fasilitas perumahan disediakan bagi Buruh yang berstatus Buruh SKU walaupun fasilitas lainya seperti air dan listrik sangat buruk dan terbatas.[16] Namun tidak semua Buruh SKU tertampung karena keterbatasan jumlah perumahan yang disediakan. Ada beberapa Buruh yang tinggal di luar perkebunan dan pihak perkebunan memberikan pengganti sewa rumah sebesar Rp.25.000,- per bulan.
Penerangan di rumah-rumah Buruh diperoleh dari listrik yang disalurkan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Pembayaran tegangan listrik setiap bulan di tanggungkan perusahaan kepada Buruh dengan memotong langsung gaji setiap bulan sebesar jumlah yang tertera dalam rekening listrik ditambah Rp. 500.
Fasilitas pendidikan untuk anak Buruh di perkebunan ini sangat minim dimana hanya terdapat dua unit Sekolah Dasar (SD). Satu unit terletak di afdeling II dan satu unit lagi terdapat di desa dekat dengan emplasmen. Jika ada anak Buruh yang berkeinginan melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi misalnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah menengah Umum (SMU) terpaksa buruh harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Sementara itu Buruh tidak mendapat tunjangan untuk anak sekolah dari perkebunan, baik biaya sekolah maupun transport.[17]
Untuk pelayanan kesehatan, pihak perkebunan mendirikan satu buah Poliklinik melayani lebih kurang 600 orang buruh. Tidak mudah bagi buruh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak karena harus berurusan dengan birokrasi perkebunan, dan “kebaikan hati” Mantri, Perawat maupun Kerani kebun.[18] Di kalangan Buruh ada istilah yang menggambarkan buruknya pelayanan kesehatan di Poliklinik tersebut yaitu “Ruang Tunggu” atau “Ruang Tunggu Mati”. Artinya setiap buruh kebun yang berobat ke poliklinik itu tinggal hanya menghitung hari atau menunggu mati saja.[19]
Bentuk dan Pola Exploitasi Buruh
Umumnya bentuk dan pola ekploitasi Buruh diproduksi oleh pola relasi kekuasaan yang timpang antar golongan atau lapisan masyarakat yang menguasai tanah, dan asset atau modal-modal lain yang kuat ada pula yang lemah atau sama sekali tidak mempunyai kuasa apapun sehingga sangat tergantung.
Dasar kekuasan biasanya suatu kombinasi faktor-faktor politik, ekonomi, hukum dan sosial, dimana faktor-faktor itu sukar dipisahkan secara sempurna. Keterjalinan faktor-faktor tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus diungkapkan secara berani dan obyektif, tanpa menimbulkan praduga bahwa ungkapan seperti ini akan mengadu domba atau memecah belah lapisan masyarakat.
Pola relasi kekuasan yang timpang cenderung memproduksi berbagai bentuk eksploitasi melalui apa yang dinamakan dominasi hegemonik dan dominasi represif. dominasi hegemonik ditandai oleh bekerjanya operasi kekuasaan yang timpang melestarikan diri dalam bentuk operasi struktur “pengetahuan”, ditransmisikan melalui wacana tanda atau simbol dan praktek sosial menempatkan posisi yang didominasi pada posisi yang subordinat menyerap begitu saja tanpa hambatan kesadaran kritis. Dominasi repressif ditandai oleh bekerjanya operasi struktur kekuasaan yang timpang menciptakan pola ketergantungan yang tidak terelakkan. Suatu saling relasi, membentuk hubungan yang tidak mungkin terlepaskan. Kondisi tersebut menjadi lahan subur bagi kelompok yang mendominasi memproduksi dan membiakkan berbagai bentuk kekerasan untuk menata, mengontrol dan mengendalikan kelompok yang didominasi, melalui mekanisme sistem hubungan kerja, prosedur kerja dan pengendaian/pengawasan.
Akumulasi pola dominasi hegemonik dan dominasi represif memproduksi profil buruh yang kerdil tapi penurut ibarat sebuah “bonsai”. Sebentuk “bonsai” adalah tumbuhan yang dijauhkan dari ruang habitusnya, diisolasi dalam ruang terbatas diberi makan-minum secukupnya sesuai selera dan keinginan si pembonsai, dinikmati sebagai “mainan” yang menyenangkan bagi pemiliknya.
Dominasi Hegemonis
Buruh perkebunan sangat hormat kepada Mandor, Asisten Kebun dan ADM baik dalam lingkungan pekerjaan, maupun keseharaian diberbagai dihajatan (pesta) Buruh diluar perkebunan. Rasa hormat Buruh terhadap atasanya tercermin dalam ungkapan sapaan “Ndor” (singkatan Mandor). Sapaan tersebut bukan hanya sapaan yang merefleksikan tingkat kesopanan (politeness) antara Buruh dengan Mandor, tetapi disana tersimpan dan terlembagakan suatu pola relasi yang tidak simetris.
Secara historis sapaan itu memiliki fitur makna feodal, kolonial. Pemerintah Kolonial melembagakan pengaruhnya lewat Mandor (biasanya direkrut dari kasta/golongan aristokrat) yang memberikan wewenang penuh di dalam mengontrol dan mengawasi Buruh secara mutlak. Sang Mandor memiliki “kuasa penuh” atas Buruh, dan dengan pemilik perkebunan Mandor menerapkan pola bertindak “asal tuan senang” sehingga oleh Mandor, Buruh “dipaksa ” mengabdikan diri pada pemilik perkebunan.
Penggunaan simbol-simbol, pakaian kerja ; celana pendek, kemeja, sepatu oleh raga dengan kaus kaki panjang hingga lutut selalu digunakan lengkap dengan “Mobil Kuning” mirip seperti zaman penjajahan ketika Tuan Kebun berkeliling mengontrol Buruh bekerja.[20] Dalam benak Sang anak “mobil kuning” identik dengan Sang kuasa atas Bapak dan keluarganya. “Tragedi psikologik” ini rupanya terwariskan dari generasi ke generasi. Pengalaman-pengalaman Buruh ketika berhadapan dengan petinggi-petinggi perkebunan tersosialisasikan dan terinternalisasi dalam kepribadian sang anak. Hal ini dapat dimaklumi ketika sistem rekruitmen buruh perkebunan sebagian besar rekruitmen warisan, sehingga buruh tersebut sulit untuk melakukan kritik atau perlawanan bila diperlakukan secara tidak adil. Dalam alam ketaksadaran mereka, tunduk kepada petinggi-petingi perkebunan adalah “takdir”.
Namun demikian bukan berarti tiadanya resistensi Buruh terhadap petinggi-petinggi perkebunan. Sikap sebahagian kalangan Buruh sedapat mungkin berusaha menghindari “mobil kuning” karena perjumpaan dengannya dirasakan merupakan “sumber masalah” bagi ketentraman hidup mereka.[21]
Pola reproduksi dan distribusi pelembagaan “kekuasaan” secara menonjol dalam wacana praktek kerja Buruh. Akibat dominasi struktural, pihak perkebunan kepada Buruh memungkinkan penerapan sangsi-sangsi dilakukan semata-mata hanya didasarkan lewat penetapan Mandor ataupun Asisten Kebun di lapangan seperti hukuman kepada salah seorang buruh panen yang “terlanjur” memotong buah sawit mentah, untuk mengejar target kerja ditetapkan sepihak oleh perkebunan. Si Buruh menanggung “malu” karena harus mengelilingi perumahan perkebunan sambil mengalungkan karton yang bertuliskan “Atan Tukang Potong Buah Mentah” telah diberlakukan ibarat seorang penjahat atau tindakan kriminal.[22] “Tukang Potong” bermakna suatu pekerjaan memotong dilakukan secara berulang-ulang atau phrase itu menunjuk pada suatu kebiasaan kerja yang merupakan suatu “profesi”. Hukuman “berkeliling perumahan buruh” menggambarkan “kesalahan” adalah “kejahatan” suatu tindakan kriminal. Pada hal menurut Atan buah yang dipotongnya bukan lagi buah mentah, Atan memotong buah berondol 2 untuk memenuhi basis borong yang ditentukan perusahaan karena buah berondol 5 sulit ditemui sehubungan pada saat itu sedang musim trek buah (jumlah buah sedikit).
Kekerasan simbolik tersebut kemudian didistribusikan. “Atan Tukang Potong Buah Mentah” adalah sebuah proses pengkodean menuju suatu konvensi alamiah bahwa siapa saja yang memotong buah mentah mereka dihukum seperti Alan, menghasilkan makna pelembagaan dan pewarisan kekuasaan melalui wacana simbol.
Pelembagaan kekuasaan juga bisa dalam bentuk “pengaturan ruang”. Sebisa mungkin buruh dijauhkan dari ruang sosial yang memungkinkan mereka membagun identitas kelompok tertidas, mengartikulasikan simbol-simbol budaya sebagai akumulasi konsep yang bersifat ideologis melindungi kepentingan mereka. Penataan pemukiman dibangun sedemikian rupa terkonsentrasi ditengah-tengah perkebunan serta berada dalam pengawasan dan kekuasaan Mandor, menyebabkan buruh terisolir dari segala macam perkembangan-perkembangan di luar perkebunan baik perkembangan sosial, ekonomi maupun budaya.
Itulah sebabnya di kalangan Buruh tidak terjadi penguatan identitas. Secara teoritis rasa “tertekan” dan “penderitaan” yang mereka alami salah satu faktor penyebab terjadinya penguatan identitas.[23] Identitas-identitas para Buruh dalam perkembanganya sangat terfragmentasi dalam struktur yang bersifat subyektif sehingga menyulitkan bagi mereka untuk mengubah menjadi struktur obyektif menyatukan kepentingan mereka. Situasi yang demikian terjadi akibat realitas sosial Buruh dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman situasional mereka, seperti terbatasnya “ruang sosial” mewacanakan tatanan-tatanan sosial mereka, keterbatasan “modal sosial” seperti ; keterbatasan pendidikan, ekonomi serta faktor ekternal seperti hukum kurang melindungi kepentingan mereka.[24]
Dominasi Repressif
Pada masyarakat agraris, akses penguasaan, pemilikan tanah merupakan salah satu sumber kekuasaan bagi petani dan buruh tani. Lapisan-lapisan masyarakat maupun status sosial ditentukan oleh pemilikan dan penguasaan tanah. Semakin luas akses kepemilikan dan penguasaan tanah maka semakin tinggi status sosialnya dan semakin besar kepemilikan “kekuasaanya”. Umumnya struktur Buruh perkebunan di Sumatera Utara adalah buruh yang tidak mempunyai akses pemilikan dan penguasaan tanah. Perkembangan perkebunan besar dahulu menarik banyak tenaga dari Jawa.
Sementara Buruh makin bertambah banyak, mereka juga membutuhkan tanah untuk pertanian pangan. Walaupun ada usaha mereka membuka lahan baru agar mempunyai tanah untuk ditanami padi dan sayur-sayuran menambah penghasilan sebagai buruh, dengan berbagai cara para pemilik perkebunan berusaha merampasnya. Cara-cara seperti membujuk dengan janji akan dinaikkan statusnya menjadi Mandor, pemberian ganti rugi yang tidak sepadan ataupun dengan cara memaksa, mengamcam akan di PHK bila tak mau memerima ganti rugi, atau dengan tuduhan terlibat G.30S. Anehnya perampasan tanah selalu menggunakan/melibatkan elite lokal, melakukan penangkapan dan penahanan bagi mereka yang tidak mau menyerahkan tanahnya.[25]
Pola penguasaan tanah dan pemilikan tanah oleh sekelompok elite yang sangat kuat dan akibatnya adalah memeras tenaga buruh yang tidak mandiri, bahkan tergantung pada penguasa tanah sehingga nasibnya merana. Berbagai macam pola dan cara terus diproduksi dan dibiakkan oleh pihak perkebunan memeras buruh baik berupa kekerasan fisik, kekerasan struktural lewat mekanisme sistem hubungan kerja, sistem kerja, pengupahan dan pengawasan.
Kekerasan fisik dapat berupa “bentakan”, “siksaan” bila mana pekerjaan Buruh tidak sesuai dengan standart kerja, jam kerja serta target kerja yang ditentukan sepihak oleh Perkebunan. Berbagai macam cara “dihalalkan” seperti misalnya hukuman yang diberikan “mengelilingi perumahan sambil memikul jenjang sawit” yang sebetulnya tidak ada dalam peraturan kerja. Pendekatan kekerasan oleh perkebunan terhadap buruh sangat akrab dalam langgam hidup keseharian mereka.
Bentuk kekerasan struktural yang menonjol adalah akibat pola hubungan kerja yang sangat tergantung kepada Asisten kebun dan Mandor. Penentuan hukuman ditentukan sepihak oleh Mandor atau Asisten kebun, bahkan tidak jarang Administrateur (ADM) turut melakukan pengawasan langsung dilapangan dan memberlakukan hukuman secara semena-mena. Besarnya wewenang dan kekuasaan Asisten kebun dan Mandor membuka peluang bagi “kesewenan-wenangan” perlakukan terhadap Buruh dalam bentuk “ancaman” pemindahan buruh permanent menjadi buruh harian, memelihara ketidakjelasan status Buruh karena tidak ada surat (bukti) pengangkatan Buruh. Keluguan dan kepolosan Buruh dipelihara dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kepentingan perkebunan.
Kekerasan “terselubung” oleh pihak perkebunan dengan cara “pembiaran” Buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Kisah Buruh pemupukan dan penyemprotan Sawit misalnya adalah kasus representasi bagaimana “pembonsaian buruh” secara sistematis terjadi.[26] Tidak ada antisipasi pencegahan keracunan dan perlindungan kesehatan Buruh. Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan pendidikan tentang bahaya, resiko dan dampak zat-zat kimia yang digunakan, melakukan pemerikasaan kesehatan Buruh kepada dokter ahli, dan merotasi Buruh yang bekerja di bagian yang berhubungan dengan bahan kimia yang berbahaya.[27] Sementara itu dari sisi ekonomi, Buruh tidak mampu membeli makanan bergizi untuk mengganti sel-sel tubuh mereka yang keracunan karena upah yang mereka terima sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum setiap hari.[28] Dengan melihat perbandingan antara pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari ditambah dengan berbagai potongan lainya dengan besar upah yang diberikan managemen perusahaan sangatlah tidak mencukupi. Oleh karena itu, Buruh kebun akan bekerja sebanyak mungkin dengan melibatkan seluruh anggota keluarga hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan makan dengan kualitas yang memprihatinkan, sementara beban kerja memerlukan energi yang tinggi tidak sebanding dengan kualitas makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Lemahnya posisi Buruh justru dimanfaatkan oleh perkebunan untuk “memeras” seperti terdapat beberapa item potongan upah. Iuran SPSI, potongan IMPS, potongan denda (sangsi/hukuman), potongan PPH psl 21, sama sekali Buruh tidak mengerti mengapa dan untuk apa potongan itu. PPH psl 21 Undang-undang Pajak Penghasilan. Pada hal Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.27 Tahun 2001, dinyatakan bahwa pajak untuk Buruh hingga sebesar UMP yang berlaku ditanggung oleh Negara. Upah Buruh perkebunan sebesar Rp 546.500,- sama dengan UMP Sumatera Utara tahun 2004, namun demikian managemen perkebunan tetap saja melakukan pemotongan upah PPH psl 21.
Jejaring Kekuasaan Penindas
Secara sederhana dari sudut pandang sosiologis, perkebunan dapat didefenisikan sebagai keseluruhan fenomena dan hubungan-hubungan institusional yang timbul akibat proses produksi dan distribusi hasil tanaman kebun. Ada paling tidak 3 pilar utama kelompok yang berkepentingan disana. Pilar pertama adalah para pemilik modal (pengusaha) berkepentingan bagaimana memaksimalkan keuntungan (kapital) yang diinvestasikan. Dalam realitasnya para pemilik modal “lebih suka” menanamkan modalnya bila ada jaminan iklim kondusif menjalankan usahanya berupa “proteksi” ataupun kemudahan-kemudahan tertentu seperti konsesi-konsesi pemilikan- penguasaan tanah, jaminan tersedianya “tenaga kerja murah” serta jaminan politik dari rongrongan kekuatan-kekuatan kepentingan (interest group). Dalam menjamin ketersediaan fasilitas itu, maka pengusaha (pemilik modal) akan selalu berusaha menggandeng kekuasaan Negara (pemerintah) sebagai mitra strategisnya. Pilar kedua, adalah pemerintah sebagai pemegang otoritas politik atas regulasi mengatur, mengontrol dan mengevaluasi para pihak pelibat. Tentu saja pemerintah punya kepentingan tersendiri seperti pajak perusahaan, pajak penghasilan dan penyerapan tenaga-kerja mengatasi pengangguran dalam Negara. Secara normatif posisi pemerintah strategis samping sebagai regulator, dapat memainkan peranan sebagai “wasit” menyelesaikan persoalan yang timbul antara pengusaha dengan masyarakat. Tapi dalam realitas pemerintah sering memerankan peran ganda baik sebagai “pemain” sekaligus “wasit” sehingga sering muncul “konflik kepentingan” ketika berhadapan dengan pemilik modal. Pilar ketiga, adalah masyarakat sipil (Civil Society) yang berkepentingan bahwa dengan aktivitas perkebunan berdampak pada meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan mereka.
Pola interaksi dan interrelasi ketiga pilar tersebut tidak selalu berjalan secara harmonis. Bagaimanapun pola interaksi dan interelasi mereka berjalan secara dinamik, dimana merupakan arena pertarungan kekuasaan sepanjang masa. Konflik kepentingan dan kontelasi ketiga pilar tersebut terjadi antara kekuatan yang dominan dan yang didominasi. Dialektika dominasi dan resistensi seperti ini berlangsung terus menerus dalam konteks sejarah, sosial dan politik yang berubah-ubah. Namun pertarungan tersebut tidak selalu nampak kasat mata, tetapi senantiasa relasi kekuasaan itu terbungkus secara apik dalam struktur wacana dan kebudayaan. Kenyataanya sehari-hari kita bisa melihat bagaimana kelompok tertentu menjadikan “kebudayaan” sebagai alat untuk menumpuk kekuasaan atau sebaliknya menggunakan “kekuasaan” untuk mengontrol kebudayaan.[29]
Buruh perkebunan adalah salah satu bagian organik dari kelompok masyarakat sipil (Civil Society). Meskipun secara struktural mereka adalah bagian tak terpisahkan dari perusahaan, tetapi kesatuan fundamental historis, secara kongkrit tidak tergabung dan tidak dapat bersatu. Karenanya mereka adalah sekelompok golongan masyarakat sipil yang menjadi subordinat atau golongan subyek dominan bagi kelompok-kelompok dominan. Kelompok-kelompok dominan itu adalah suatu kekuatan yang senantiasa eksis dalam sejarah masyarakat post-kolonial meskipun bukan dalam bentuk aslinya. Secara ideologis, menurut Said (1978) proyek kolonisasi adalah sebuah proyek kekuasaan tentang bagaiman kontruksi “Barat” terhadap “Timur”. Proyek kolonisasi inilah yang membentuk dan meninggalkan jejak-jejak warisan kolonial di negeri terjajah. Karena itulah Negara-negara bekas kolonisasi menyimpan struktur dan hirarkhi kekuasaan yang merupakan warisan dari regim kolonial, hingga kini masih dipraktekkan oleh masyarakat pasca-kolonial.
Namun demikian Perhatian kita pada penindasan selama ini hanya berpusat pada “aktor-aktor luar”, kini meski ditambah dengan perhatian kepada “aktor-aktor dalam”. Dalam perspektif Guha (1982) struktur dikotomi masyarakat post kolonial adalah “‘elite dan subaltern”. Yang dimaksud elite adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing bisa pemilik industri, pemilik perkebunan Yang pribumi dibagi menjadi dua yang beroperasi di tingkat nasional (pegawai pribumi dibirokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal (pegawai pribumi di birokrasi lokal, birokrasi perkebunan). Meminjam terminologi Gramsci, kelompok ini adalah kelompok intelektual organik ideologi kapitalis. Cara bekerjanya sangat mujarab mengiring individu menjadi subyek yang dengan penuh kerelaan dan atas kehendaknya menjadi mahkluk-mahkluk bentukan melanggengkan proses reproduksi produksi kapitalis. Sedang kelompok subaltern adalah mereka yang bukan elite adalah kelompok-kelompok pekerja, lapisan menegah kota dan desa, yaitu rakyat di daerah setempat. Kelompok-kelompok menengah perkotaan dan pedesaan yang terdidik dan berlatar belakang aristokrat, kelompok kepentingan (interest group) adalah mereka memainkan peranan sebagai apparatus organik bekerja di lapangan demi kepentingan pemilik modal. Mereka yang menamakan dirinya antikolonial bisa jadi lebih bersifat kolonial dari pada yang menyatakan dirinya kolonial. [30]
Pola kekuasaan tersebut bukan lagi terpusat (centering) dikotomi penguasa-yang dikuasai, tetapi menyebar saling ketergantungan membentuk jejaring kekuasaan melalui mekanisme pembagian wewenang.regulasi-regulasi mengatur, mengendalikan kelompok Buruh dan masyarakat biasa yang didominasi.
Pola relasi kekuasaan yang paling harmonis membentuk “relasi simbiolisme mutualisme” bentuk relasi antara penguasa-pengusaha. Penguasa memberikan jaminan “kenyamanan berusaha” termasuk jaminan keamana sosial dari berbagai bentuk kekuatan lokal, sementara pengusaha memberika “upeti”, bahkan tidak jarang menjadi suplayer dana-daya bagi kepentingan politik praktis penguasa dan kelompok-kelompok kepentingan (interest group) baik elite sipil maupun militer. Bukan rahasia lagi bilamana perusahaan perkebunan selalu memberikan “upeti” kepada Preman, Organisasi Kepemudaan (OKP) kepada pemerintah termasuk Polisi dan Pemerintah Daerah setempat dimana Perusahaan Perkebunan itu berada.
Salah satu kasus menggambarkan bagaimana pola jejaring kekuasaan tersebut bekerja yaitu kasus perambahan hutan bahkan perampasan tanah milik Buruh perkebunan PT Socfindo seluas 150 Ha. Kasus ini bermula pada sekitar Tahun 1963, beberapa Buruh perkebunan membuka hutan/lahan untuk dijadikan lahan pertanian. Menurut Partiem salah satu Buruh kontrak dari Jawa Tengah menuturkan dia dan suaminya bersama dengan kawan-kawan sesame Buruh membuka lahan yang saat itu masih berupa hutan lebat dan tanah rawa yang ditanami padi dan sayuran, untuk menambah penghasilan yang diterima, karena upah dari perkebunan tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Pada Tahun 1996, melalui Kerani dan Mandor perkebunan memerintahkan agar Buruh menyerahkan tanah yang ada disekitar perkebunan. Kontan saja para buruh tidak mau menyerahkan tanahnya, kemudian Mandor perkebunan “bergerillia” mendatangi rumah Buruh satu per satu dan memaksa Buruh menandatangani “sebuah surat” dengan ancaman apabila tidak mau menandatangani surat itu akan dikeluarkan dari perkebunan. Mayoritas Buruh tidak mau menandatangani termasuk Partiem dan suaminya. Kemudian pihak perkebunan memanggil Buruh satu per satu ke kantor Afdeling. Di Kantor Afdeling, perkebunan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan tanah, mulai dari membujuk akan diberikan ganti rugi sebesar Rp. 450.000,- hingga mengancam akan dimasukkan ke kantor Polisi. Sebahagian orang terpaksa menyerahkan tanah, tetapi sebahagian yang lainnya mempertahankan/tidak menyerahkan, dan sampai sekarang tetapmenguasai tanahnya.
Mereka yang telah menyerahkan tanahnya, menuntut kembali tanahnya karena penguasaan lahan oleh perkebunan dilakukan secara paksa. Perjuangan mereka menjadi lebih kuat karena mereka tidak lagi bekerja/telah pensiun dan saksi hidup peristiwa perampasan tanah itu masih banyak yang hidup. Akan tetapi pihak perkebunan tidak hanya menggunakan kekuasaan mereka. Perusahaan perkebunan juga menggunakan Alat Negara seperti Polisi dan Koramil. Buruh yang menggugat kembali tanahnya dipanggilke kantor Polisi dan Koramil. Ada juga yang diangkut langsung dari rumahnya dibawa paksa ke kantor Polisi. Di kantor Polisi mereka dijemur dipanas terik matahari dan dipaksa kembali agar menyerahkan tanahnya. Hingga saat ini Buruh masih tetap berjuang untuk memperoleh tanahnya kembali. Berbagai upaya dilakukan Buruh secara bersama-sama, mulai dari mengadukan kasus kepada Camat Bilah Hilir, Bupati hingga ke Menteri Agraria namun hingga saat ini masih belum ada penyelesaian secara tuntas.
Sisi lain bentuk jejaring kekuasaan adalah penggunaan pengawasan ekternal berlapis untuk mengontrol Buruh yang sebetulnya sudah dalam posisi yang lemah karena pengawasan internal telah membatasi ruang gerak mereka melakukan penyelewengan. Namun demikian penggunaan pengawasan ekternal sebagai bagian strategi perkebunan mendominasi kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok interest (interest group) sebagai apparatus organik perkebunan. Rekruitmen Mandor dari Serikat Pekerja seluruh Indonesia (SPSI), rekruitmen apparatus seperti Centeng, Papam dan Mata-mata (spionase) yang direkrut secara rahasia dari unsur-unsur kekuatan sosial kemasyarakatan daerah setempat adalah suatu gambaran yang paling komprehensif bagaimana operasi jejaring kekuasaan itu bekerja menindas Buruh.
Implikasi Bagi Buruh
Pola jejaring kekuasaan yang demikian menyebabkan posisi Buruh perkebunan semakin terpinggirkan dari arena kekuasaan. Mereka adalah kelompok masyarakat yang bungkam, tidak bersuara tenggelam hampir 4 generasi dan masih membekas hingga kini. Cerita-cerita mereka, keluh kesah, penderitaan mereka tenggelam dan terbungkus rapi oleh cerita keberhasilan perkebunan, perluasan areal perkebunan serta kualitas rendeman prima sawit yang diproduksi.
Namun bukanya tidak menyisakan kepedihan. Keberhasilan perkebunan juga menghadirkan narasi-narasi buruh perkebunan yang tersisih terhempas karena alasan “produktivitas kerja”, disiplin kerja, target kerja. Tidak ada Buruh Perkebunan yang berani menolaknya. Berbagai aturan-aturan kerja, hukuman dan sangsi-sangsi kerja diproduksi dan dibiakkan. Kalau ada Buruh yang mengkritik dan melawan ia akan menerima hukuman dipertujuh , pencabutan hak sebagai Buruh tetap (SKU), potongan upah dan tunjangan, dimusuhi, dikucilkan dari lingkungan pergaulan warga.
Persoalan akan lebih kompleks, ketika pemaknaan aturan-aturan kerja dan sangsi-sangsi kerja terdapat interpretasi yang beragam, prural, fleksibel, dan sekaligus ambiguitas. Betapa tidak, interpretasi aturan kerja sangat ditentukan oleh selera dan kemauan ADM, Asisten kebon maupun Mandor. Masing-masing “oknum” itu tidak ada yang seragam penafsiran dan penerapan aturan kerja bagi Buruh.
Berbagai fenomena “kekerasan fisik, aturan kerja yang tak pernah jelas” terjadi sepanjang waktu diperkebunan. Sistem kerja, mekanisme kerja menjadi semacam pendisplinan “regim ketertiban dan keteraturan” bagi penguasa kebun. Ketika regim ini berusaha untuk digugat, dilanggar oleh pengikutnya akan terdapat hukuman kepadanya. Namun tidak pernah sekalipun dibuat aturan atau hukuman untuk sang kuasa; Mandor yang sewenang-wenang, Asisten Kebun dan ADM yang ceroboh membiarkan Buruh bekerja tanpa peralatan kesehatan dan keselamatan kerja, Mantri perkebunan yang lalai menolong pasien kecelakaan kerja ataupun yang sakit hingga menemui ajalnya.
Masih kuatnya persepsi atas wacana bahwa perusahaan perkebunan adalah “dewa penjelamat” bagi Buruh, pemerintah setempat dan masyarakat umumnya. Cerita-cerita “kebaikan perkebunan” menyerap tenaga kerja, memberikan fasilitas perumahan, pendidikan dan kesehatan, membentuk agency-agency manusia yang rela mengabdi menjaga dan melestarikan kekuasaan perkebunan. Subyek-subyek manusia elite sipil maupun militer terbukti beroperasi sangat produktif untuk menebarkan perspektif kekuasaan perkebunan.
Refleksi dan Rekomendasi
Sedemikian jauh telah terurai dengan gamblang bagaimana “cengkraman” jejaring kekuasaan memosisikan Buruh perkebunan keluar dari akses kekuasaan. Tetapi apakah kita mesti memosisikan Buruh perkebunan sebagai korban-korban yang tidak mampu membalas? Ataukah hanya sekedar menggali dengan mencari keterpisahanya dengan budaya dominan sekaligus menggali proses-proses bekerjanya kekuasaan yang menindas mereka? Dengan serangkaian pertanyaan yang rumit itu, terlihat jelas sangat sedikit pilihan-pilihan strategis “menolong” mereka.
Bila pertanyaan pertama yang menjadi pilihan, maka hambatan yang paling nyata adalah bahwa suara-suara Buruh kebun tidaklah homogen tetapi terfragmentasi dan berlapis-lapis tersebar dalam subyektivitas-subyektivitas manusia dengan penggalan pengalaman sejarahnya. Hal ini terkait dengan identitas yang terpecah dan tidak stabil, tidak memungkinkan kita mengkonseptualisasikan keagenan, atau mendefenisikan subyek-subyek yang merupakan pembuat sejarah mereka sendiri.
Sementara bila pertanyaan kedua yang menjadi pilihan, maka yang dapat di lakukan menolong mereka keluar dari cengkraman jejaring kekuasaan penindas, adalah dalam bentuk deskripsi formasi subyek tentang kemungkinan give and take, negosiasi-negosiasi dan dinamika kekuasaan dan perlawanan dalam hubungan-hubungan institusional. Maka langkah strateginya adalah mengintensifkan perjuangan-perjuangan akan hak-hak normatif Buruh, dalam rangka menekan klaim-klaim mereka sendiri, mendekatkan pada representasi mereka kepada institusi-intitusi sosial dan kultural, sembari perlu ada usaha dari kaum intelektual dalam karya-karya mereka untuk menonjolkan penindasan dan mengemukakan perspektif rakyat tertindas.















Daftar Pustaka
Althusser, Louis
1984 Essay on Ideology, London : Verso
Arif, Saiful
2000 Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baker, Cris
2004 Cultural Studies : Teori dan Praktik (terjemahan), Yogyakarta
Kreasi Wacana.
Gandhi Leela
2001 Teori Poskolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat
Yogyakarta: Qalam.
Fakih, Mansour
1996 Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi di Dunia LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hettne, Bjorn
2001 Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, Jakarta : Gramedia
Kleden, Ignas
2002 “Konflik Etnis atau konflik politik?”, Tempo, 6 Januari
(Edisi Khusus).
Ratna, Nyoman Kutha
2005 Sastra dan Cultural Studies, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Said, Edward
1996 Orientalisme (Terjemahan Asep Hikmat) Bandung :
Pustaka Salma.
Santosa, Thomas (ed)
2002 Teori-Teori Kekerasan, Jakarta : Ghalia Indonesia
Storey, John
1993 An Introduction Guide to Cultural Theory and Popular Culture
London : Harvester Wheatshesf.
Tjondronegoro, Sediono M.P.
1999 Sosiologi Agraria; Kumpulan Tulisan Terpilih, Bandung
Penerbit Akatiga



Biodata Penulis.
Drs. Manginar Torang Situmorang M.Si adalah Peneliti Lepas di Yayasan Lentera Rakyat Rantau-Parapat-Sumatra Utara. Setelah menyelesaikan Studi (S1) di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial (STISIPOL) “Kartika Bangsa” Yogyakarta (1994) bergelut di dunia “Pekerja Sosial”. Tahun 2004 melanjutkan studi Program Magister Kajian Budaya (Cultural Studies) Fakultas Sastra Universitas Udayana tamat Tahun 2006.



















































































[1]. Uraian lebih lanjut Analisis Landreform, lihat Sediono Tjondronegoro, “Sosiologi Agraria” ( Bandung : Akatiga Tahun 1999) .
[2] Saiful, Arif, “Menolak Pembangunanisme” (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000). Para ilmuwan Sosial maupun kalangan aktivis di Negara-negara Afrika, Amerika Latin Jepang dan cina berikhtiar keras menemukan konsep alternatif. Untuk memperjelas lihat uraian lebih lanjut dalam, Bjorn Hettne, “Teori Pembangunan dan Tiga Dunia”, Jakarta, Gramedi 2001.
[3] Sediono, Tjondronegoro, op.cit hal 60
[4] Dikutip dari I Ngurah Suryawan, “Membicarakan Can the Subaltern Speak?” Gayatri Chakravorti Spivak dan Praksis Kajian Budaya, Dalam Jurnal Kajian Budaya No 6 Volume 3 Denpasar Juli 2006 hal 103
[5] ibid, hal 102
[6] Diadaptasi dari berbagai tulisan, Yasraf Amir Piliang, “Cultural Studies” dan Posmodernisme : Isyu, Teori dan Metode ; Ignas Kleden dalam I Gede Mudana, “Dari Kajian tentang Budaya ke Kajian Budaya” dan Nyoman Kutha Ratna, “Metodologi Penelitian Kajian Budaya” dalam Jurnal Kajian Budaya No 6 Vol 3 Denpasar, Juli 2006. Uraian lebih Lengkap tentang Cultural Studies lihat Cris Baker, Cultural Studies, Teori & Practices. London : Sage Publication, 2002.
[7] Yasraf Amir Piliang, Op.Cit hal 30-34
[8] Proses rekruitmen dilakukan secara tertutup, hanya menerima pekerja-pekerja dari lingkungan perkebunan dan pekerja dari lingkungan sekitar. Biasanya dikondisikan melalui rekruitman warisan dimana karena terbatasnya upah yang diterima buruh, sementara beban kerja harus tercapai sesuai target kerja ditentukan sepihak oleh perkebuan, maka cara yang ditempuh Buruh adalah mengikutsertakan istri/suami dan anak-anak bekerja “magang” digaji oleh Bapaknya dan setelah mencapai umur kerja akan menggantikan bapaknya.
[9] Seperti terjadi di Afdeling I mayoritas buruh suku Batak Mandailing (salah satu sub Suku Batak). Mandor Afdeling I suku Batak Mandailing. Suatu saat ada buruh yang ikut “aksi buruh” kontan saja Sang Mandor mendatangi buruh yang direkrutnya, dengan menyatakan tidak sopan, karena tidakan ikut aksi sama saja dengan mempermalukannya sebagai Tulang, Bapauda atau sebagai Hula-hula kemudian menasehatinya menggunakan nilai-nilai adat.
[10] Buruh telah lama bekerja menerima upah yang sama dengan buruh yang baru masuk atau baru diterima bekerja. Penetapan spesialisasi pekerjaan terutama buruh Annemer ditentukan sepihak sesuai dengan selera Mandor atau asisten kebun.
[11] Kebijakan Buruh Murah dari masa orde Baru berlanjut hingga masa Reformasi. Sisahkanya Undang-undang No.13 Tahun 2003 yang meng-Amin-kan sistem outsorsing. Diperkebunan ini bentuk sederhana sistem outsoursing sudah lama berlangsung misalnya dengan adanya Buruh Harian Lepas. Sepertinya pemerintah melegalkan pemberlakuan Buruh Harian lepas atau sejenisnya di Perkebunan.
[12] Misalnya sewaktu hujan atau banjir. Buruh tidak diperbolehkan pulang sebelum target kerja terpenuhi, atau boleh pulang tetapi harus mengganti dengan hari lain biasanya hari libur dan hari Minggu.
[13] Jika buruh kebun telah bekerja lebih dari 7 jam kerja/hari namun belum mencapai target, buruh dikenai sangsi di kenal dengan istilah “dipertujuh”. Artinya buruh dianggap tidak bekerja penuh atau gagal mencapai satu hari kerja. Contoh : Target kerja panen 50 jenjang Sawit, ternyata buruh sanggup 40 jenjang Sawit. Maka buruh hanya dihitung 5 jam kerja saja. Konsekwensinya upah dan tunjangan 2 jam kerja dipotong.
[14] Pestisida ; Roundup yang berbahan aktif isopropilamina gliposat 480g/liter setara dengan 3569/liter. Ally mengandung metsulfuron metal 20%. Gromoxone berbahan aktif parakuat diklorida 276/liter setara dengan ion prakuat 200/liter. Rhodiamine berbahan aktif 2,4-D dimetil amina :886 g/liter setara dengan asam 2,4 D : 720 g/liter. Pupuk yang sering digunakan jenis Urea dan TSP mengandung P2 05 46%,NPK mengandung Natrium, Pospat, Kalsium dan Borate (Sodium Tetraborate Pentahydrate) dengan komposisi Na2 B4 O7 SH2O dan kurater mengandung Karbofarun
[15] Sangsi-sangsi kerja bukan hanya “dipertujuh” , hukuman kesalahan kerja berupa hukuman denda mengharuskan buruh membayar kesalahan dengan uang. Umumnya hukuman denda lebih besar dari upah buruh per hari langsung dipotong dari upah buruh.
[16] Perusahaan mengambil langsung air dari Sungai Bilah persis di perbatasan perkebunan, air warna kuning, keruh. Lalu di proses di tempat Pabrik Kelapa Sawit, disalurkan ke perumahan buruh. Air itu tampaknya tidak layak dikonsumsi kaarena keruh, endapan lumpur tebal dan ber-rasa. Menurut buruh lebih memilih menampung air hujan untuk dikonsumsi dari pada air dari perkebunan.
[17] Buruh harus menanggung semua biaya sekolah mulai dari SD sampai SMU. Karena besarnya biaya sekolah yang harus ditanggung Buruh, sementara upah buruh hanya cukup untuk makan keluarga, banyak anak Buruh yang bersekolah hanya setingkat Sekolah Dasar. “Asal tau baca tulis saja” demikian kata salah seorang Buruh. Rata-rata anak Buruh perkebunan ini hanya tamat SMP ada juga yang telah masuk SMP tetapi sebelum tamat sudah tidak sekolah lagi karena orang tuanya tidak sanggup lagi menanggung biaya sekolah sampai tamat SMP. Setelah tamat SMP anak Buruh yang laki-laki biasanya disuruh membantu orangtuanya bekerja di perkebunan dan setelah cukup umur nantinya akan bekerja di perkebunan. perempuan kerja di rumah atau pergi merantau ke daerah lain.
[18] Dilayani oleh 1 orang Mantri dan 3 orang bidan. Fasilitas sederhana 1 tempat tidur tanpa tilam, ruang periksa, ruang tunggu dan satu lemari obat (tidak ada obat). Medis dan Paramedis 7 jam kerja setiap hari , dan tidak melayani pengobatan bila lewat jam kerja. Tidak melayani pengobatan bila tidak ada surat izin dari Kepala Kerani kebun, sementara untuk mengurus surat izin tersebut buruh harus menempuh waktu perjalanan jauh karena jarak dari kebun ke kantor Kerani cukup jauh. Jika sakit tapi tidak ada surat dari Poliklinik dikenai sangsi dikenal dengan istilah “ngablon” alias mangkir kerja.
[19] Istilah ini berawal dari suatu kisah. Parjo, salah seorang pensiunan buruh bekerja diperkebunan sejak Tahun 1975. Parjo mengisahkan kasus kematian rekan kerjanya Rimun tahun 1976. Pagi hari Rimun minta mangkir (minta izin tidak bekerja karena sakit) mencret-mencret (diare). Surat dari Asisten dan Kerani sudah keluar, hanya saja setelah diperiksa dan diberi obat oleh Mantri, langsung disuruhnya bekerja. Sekitar jam 11 Siang, Rimun diketemukan sudah meninggal dalam posisi buang air besar diperkebunan.
[20] Kisah yang menggambarkan situasi mereka menghadapi petinggi-petinggi perkebunan seperti dalam cerita berikut ini : Seorang anak buruh berusia 5 tahun berlari kedalam rumah ketika melihat mobil warna kuning (Mobil dinas ADM berwarna kuning) melintas di jalan di depan perumahan, spontan sambil berlari berteriak “ketakutan”, Pak, pak motor kuning, motor kuning teriak anak kepada Bapaknya. Kemudian Buruh menanyakan ada apa kepada anaknya dan dijawab oleh Sang anak, “Kan Bapak tidak bekerja”. Rupanya Sang anak takut ADM akan memarahi Bapaknya. (kebetulan hari itu hari libur)
[21] Suatu ketika Pratomo (nama Buruh) dan kawan-kawan satu mandoran pulang setelah basis borongan mereka terpenuhi. Di tengah jalan, mereka melihat mobil kuning dari kejauhan. Serta merta para Buruh kucar-kacir. Buruh berusaha menghindar dan bersembunyi agar tidak berpapasan dengan mobil kuning
[22]Tahun 2003 Tahun 2003 lalu, Atan (Buruh) dihukum oleh ADM karena memotong “buah mentah”. Hukumannya adalah berjalan kaki keliling perumahan buruh mulai dari afdeling I sampai afdeling II (kira-kira 4 kam), sambil memikul 1 jajang sawit dan menggalungkan karton bertuliskan “Atan Tukang Potong Buah Mentah” dileher. Setelah berkeliling perumahan Atan kembali ke PKS dan harus menjalankan hukuman hingga semua buah yang diyakan ADM mentah dibawah keliling satu persatu.


[23] Dalam perspektif teori konflik, ada 3 kondisi internal menyebabkan terjadinya penguatan identitas, tingkat penderitaan, perbedaan kultural dan intensitas konflik. Dalam kadar tertentu ketiga hal itu terjadi dalam praktek kerja dan kehidupan Buruh. Thomas, Santoso (ed) “Teori-Teori Kekerasan” Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002.
[24] Pieere Bourdieu, “Outline of a Theory of Practice” Cambridge, England : Cambridge University Press, 1977. hal 83.
[25] Akumulasi kekurang-perhatian pemerintah menyangkut masalah pertanahan adalah merebaknya sejumlah konflik-konflik sosial di sejumlah perkebunan terutama di pulau Sumatra yang pada dasarnya adalah persoalan tanah tidak terpantau dengan baik. Di Sumatra Barat daerah Setandus Silungkang, di Sumatera Utara, meletusnya peristiwa Tanjung morawa (1964) dan di Banda Aceh, tepatnya Kuala Banda Acah Barat antara penduduk setempat dengan Salah satu Perkebunan Sawit BUMN patungan beberapa Negara sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik. Uraian selanjutnya lihat Sediono Tjondronegoro, Op.Cit hal 50
[26] Propil buruh penyemprotan rata-rata berbadan kurus, pucat, menderita sesak nafas, keluhan kepala pening, muntah-muntah, batuk darah bahkan ada yang meninggal. kasus kematian Watini (buruh penyemprotan) tahun 2002 bekerja menyemprot hama setiap hari. Kasus tersebut tidak pernah terangkat dan diusut dianggap sebagai kasus kematian biasa.

[27] Tahun 2004 lalu, sepulang kerja seluruh tubuhnya gatal-gatal. “awalnya gatal-gatal hanya dibagian tangan. Lama-kelamaan menjalar ke seluruh tubuh. Rasa gatal, sakit, panas-adem, badanku bendol-bendol seperti seperti “biduaran” demikian Parsi menggambarkan keadaan awal sakitnya. Atas saran tetangga dan keluarga Parsia berobat ke dukun Kampung. Keadaan Parsia tidak membaik sehingga ia berobat ke Bidan yang ada dikampungnya namun tidak mengalami perubahan. Besoknya berobat ke poliklinik perkebunan dan rawat inap selama beberapa hari. Menurut Nadapdap mantri yang bekerja di poliklinik Parsia dinyatakan Alergi Racun.
[28] Sukardi (Salah seorang Buruh Perkebunan) mempunyai tanggungan 3 Anak dan Istrinya ikut bekerja membantu suaminya. Berdasarkan observasi penulis dilapangan selama 1 bulan penuh, diperoleh cacatan belanja buruh sebatas pengeluaran rutin belum termasuk pengeluaran seperti pakaian dan peralatan rumah tangga dan bahwa menu makanan buruh paling sering adalah telor dan Indomie (mie instant) total pengeluaran sebesar 1.296.700,- (Satu juta dua ratus sembila puluh enam ribu tujuh ratus rupiah) perbulan.

[29] Telah banyak tulisan yang menguraikan pola relasi kekuasaan dalam wacana kebudayaan. Edward Said, Orientalisme (1978) mengurai secara mengesankan bagaimana sejarah orang tertindas dalam Negara-negara post-kolonial. Said, mengetegahkan kritik-kritik tajam terhadap liberalisme dan sistem kapitalisme dengan menunjukkan bagaimana kekuasaan dan pengetahuan menyatu tanpa bisa dielakkan; Michael Foucault (1980) melalui strategi genealoginya menyikapkan relasi yang melekat antara praktek sosial, pengetahuan yang melandasinya (knowledge) dan relasi kekuasaan (power relation) yang beroperasi didalamnya membentuk berbagai wacana atau discource, Lihat Piliang (2006) Op.Cit 33.
[30] Guha (1982) menyatakan bahwa pada masyarakat pasca-kolonial realitas struktur dan hirarkhi kekuasaan bukan lagi seperti dikotomi-dikotomi penindasan konvensional seperti “kolonial-antikolonial”, “buruh-majikan”, “sipil-militer”, dan sebagainya, tetapi menjadi kelompok atau golongan “elite-subalterm” dalam bingkai suatu Negara.