Kamis, 02 April 2009

Pengupahan dan Potret Hidup Buruh Kebun

Perbudakan adalah bentuk ketimpangan (kesenjangan) yang tinggi pola hubungan majikan-buruh, menempatkan buruh pada posisi lemah (subordinasi) sebagai satu-satunya pilihan hidup. Seluruh aspek kehidupan buruh dibawah kontrol majikan. Pemahaman demikian dapat dipakai sebagai pijakan untuk melukiskan bagaimana sebenarnya potret hidup buruh kebun.

Terdapat beberapa perbedaan tentang derajat kesenjangan itu, bila di lihat dari aspek kerakteristik wilayah dimana perkebunan berada dan dari segi sistem pengupahan buruh kebun.

Di perkebunan yang dekat dengan daerah perkotaan (urban) atau relatif dekat dengan kota (sub urban), akan sangat berbeda dengan daerah pedesaan, terisolir dan jauh dari pusat- pusat ekonomi, kekuasaan dan peradaban.

Perkebunan yang dekat dengan daerah urban, akan tanpak bahwa buruh berbaur dengan komunitas-komunitas di sekitar perkebunan, meskipun sebagian ada memilih di emplasmen perkebunan yang disediakan oleh perusahaan.

Dari segi interaksi dan hubungan sosial tentu akan lebih luwes dan terbuka pada perubahan-perubahan yang ada disekitarnya. Akses terhadap informasi, aspirasi dan pilihan-pilihan hidup (pekerjaan) akan lebih terbuka, sehingga buruh relatif mempunyai posisi tawar dengan pihak perusahaan perkebunan.

Kerakteristik pelapisan masyarakat relatif beragam mendorong mereka mempunyai kesempatan membanding-bandingkan pola hidup, norma dan pola anutan sosial sebagai pedoman dan kesadaran akan hidup yang lebih baik.

Banyak kasus-kasus kesadaran dan kepedulian nasib sesama buruh dalam bentuk tuntutan akan hak-hak normatif muncul dari perkebunan yang relatif dekat dengan daerah dan sub urban. Keadaan yang demikian, tentu membawa kesulitan tersendiri bagi perusahaan perkebunan.

Sedangkan bagi perkebunan yang bercorak pedesaan, terisolir dan relatif jauh dari daerah perkotaan bentuk kesejangan pola hubungan buruh-majikan akan semakin terasa.
Dari segi pengaturan ruang, akan tampak bahwa pola pemukiman dan pembangunan pemukiman buruh (emplasmen) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pola pengawasan. Emplasmen terkonsentrasi dan berada di tengah-tengah lokasi perkebunan dan terasing dari pemukiman komunitas penduduk sekitar perkebunan.

Pemukiman para tuan kebun berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Pintu masuk perkebunan dikondisikan terpusat yang dijaga oleh aparat satpam sehingga perkebunan tahu benar “orang asing” yang lalu lalang masuk ke daerah perkebunan.

Kemudian di dalam emplasmen, mandor adalah salah satu unsur penting pengawasan buruh. Mereka ditempatkan sebagai satu-satunya panutan utama bagi komunitas emplasmen dengan menyediakan rumah yang sedikit berbeda dengan rumah buruh dan berbaur bersama buruh.

Komunitas buruh mayoritas adalah suku jawa, relatif homogen dari sudut pelapisan sosial serta kelonggaran norma sosial sebagai unsur penting pengendalian sosial. Hal ini menyebabkan kerakteristik komunitas buruh perkebunan di daerah pedesaan sedikit longgar dalam hubungan sosial dan pola perilaku.

Upah Rendah dan Pengendalian Buruh
Pihak perusahaan perkebunan mempunyai berbagai cara untuk selalu memelihara kesenjangan pola hubungan itu. Cara yang paling biasa (konvensional) dan turun-temurun adalah diskriminasi sistem pengupahan. Adanya perbedaan sistem pengupahan buruh dengan sistem pengupahan pada buruh/pekerja tingkat managemen.

Pertama, perbedaan kesenjangan upah. Upah tertinggi yang mungkin di peroleh buruh kebun yang berstatus buruh tetap (SKU) hanya mencapai Rp. 1.200,000,- per bulan. Upah pokok dibawah UMP[1] propinsi sekitar Rp 757.000,- s/d 800.000,- plus premi[2] jika melebihi target kerja (beban kerja ditentukan oleh perusahaan) rata-rata Rp. 300.000,- S/d Rp. 400.000,- per bulan.

Sementara Mandor yang merupakan jejang tertinggi karir buruh sedikit lebih tinggi dari buruh biasa mendapat upah 1,5 juta s/d 2 juta perbulan.

Untuk tingkat managemen kerani, asisten kebun, kontrolir mendapat upah sekitar kisaran 4 juta sampai 15 juta, dan manager kebun 20 juta sampai 50 juta per bulan lengkap dengan fasilitas perumahan yang cukup mewah, akomodasi dan transportasi dan pelayanan kesehatan yang lebih jika merujuk pada rumah sakit rujukan mereka memelihara kesehatanya. Untuk setingkat asisten diberikan fasilitas transportasi sepeda motor dan manager kebun adalah mobil.

Kedua, menekan upah buruh melalui pembiakan dan penerapan sanksi-sanksi kerja yang ketat. Sistem pengupahan, dimana penentuan besar upah didasarkan atas 7 jam kerja dan borongan (terget kerja) secara bersamaan. Bila buruh bekerja selama 7 jam tetapi tidak mencapai target yang ditentukan sepihak oleh perkebunan maka akan dikenakan sanksi di kenal dengan istilah ”dipertujuh”. Contoh target kerja 50 janjang sawit ternyata buruh sanggup 40 jajang. Maka 40 jajang/50 jajang x 7 jam kerja = 5,6 jam kerja. Konsekwensinya 1,4 jam kerja di potong. Jika buruh digaji Rp 30.500,- per hari maka besar potongan adalah Rp 30.500,- dibagi 7 dikali 1,4 jam kerja = Rp 6.100,-

Selain itu masih ada bentuk lain pemotongan upah. Buruh pemanen misalnya, paling tidak setiap sub jenis kegiatan (pekerjaan) mulai dari sangsi administratif sampai sanksi proses kerja; memotong TBS, memotong dan mengatur pelepah, memanem buah mentah, tidak memungut berondolan mempunyai sanksi yang dikonversikan dalam bentuk uang sehingga terjadi pengurangan upah yang sedikit itu. Kesalahan kerja dijawab dengan hukuman denda bukan dengan mendidik, melatih keterampilan kerja buruh.

Kesesatan pikiran juga muncul ketika pengusaha melihat pekerjaan buruh tidak mengenal keterampilan dan masa kerja. Pada hal realitasnya pekerjaan buruh panen adalah pekerjaan yang sulit dan betapapun sederhananya pekerjaan itu ternyata membutuhkan keterampilan yang tinggi. Buruh tidak mengenal konpensasi atas dasar masa kerja. Semakin lama seseorang bekerja sudah barang tentu lebih terampil. Aspek ketidakadilan ini mereka alami dimana buruh yang baru masuk bekerja sama upahnya dengan buruh yang telah lama bekerja (terampil).

Ketiga, Tekanan upah rendah berakibat pada kesenjangan antara sumber pendapatan dengan besar pengeluaran. Pendapatan buruh hanya untuk sekedar makan juga kurang. Dengan sedikit berseloroh; upah kami untuk “dubur” saja tak cukup sementara binatang peliharaan saja seperti “anjing” dikasi makan oleh tuanya berarti kami ini lebih rendah dari pada anjing demikian pengakuan salah seorang buruh secara lugas dan reflektif. Cara mensiasati hal tersebut memaksa buruh mengurangi pola konsumsi keluarga nyaris tampa gizi, “gali lobang tutup lobang” seperti ngutang diwarung dan tidak jarang terjebak sama tengkulak atau lintah darat menyebabkan sifat ketergantungan yang tinggi pada perusahaan.

Keempat, cara lain yang juga ampuh menciptakan ketergantungan itu, telah lama berurat-berakar warisan kolonial. Akibat gaji yang rendah hanya cukup untuk tetap bertahan hidup memaksa buruh mengambil pilihan “pahit”. Misalnya buruh yang masa kerjanya sekitar 25 s/d 30 tahun, saat pensiun tidak mempunyai rumah, sementara pihak perusahaan berusaha memindahkanya. Satu-satunya cara yang mereka pilih untuk tetap tinggal diemplasmen adalah mewariskan pekerjaan sebagai buruh kepada anaknya. Inilah yang disebut “rekruitmen warisan”. Mereka tidak secara otomatis diangkat sebagai buruh tetap (SKU), tetapi ditangguhkan statusnya atau ditetapkan sebagai Burun Harian Lepas (BHL) dengan pembatasan jumlah hari kerja dibawah 20 hari mensiasati undang-undang ketenagakerjaan.

Pada saat bapaknya aktif kerja di kebun, untuk mencapai basis borong dan premi biasanya mengikutkan anaknya magang kerja yang lazim disebut kerja model “sopir-kernet”. Bapak sebagai sopir bertugas mengendalikan proses memanen tandan buah segar sementara anak, istri atau ponakan sebagai kernet bertugas merapikan pelepah dan memungut berondolan. Konsekwensi dari pola demikian maka pihak perusahaan diuntungkan karena ketersediaan buruh yang terampil dan dihargai murah, tampa terbebani biaya pelatihan kerja buruh.

Kemudian cara ditempuh perusahaan adalah pengoptimalan penggunaan buruh harian lepas (BHL) dan pembatasan atau tidak lagi memerima buruh tetap, pengalihan status buruh tetap dengan cara mengkondisikan buruh melanggar aturan kerja atau malakukan kesalahan yang berbuntut pada pemecatan dan menggangkat kembali sebagai BHL.

Pengoptimalan BHL mempermudah perusahaan mengakumulasi modal tanpa terbebani biaya produksi yang tinggi, tanggung jawab sosial perusahan dan paling terpenting adalah pemindahan perselisihan atau konflik perkebunan keluar arena perusahaan.
Selain hal yang disebutkan diatas, praktek kerja buruh juga sangat membebani mereka. Misalnya selain pembebanan biaya alat-alat kerja dipotong dari gaji mereka, juga pembiaran buruh bekerja tanpa penggunaan perlengkapan pelindung kerja. Tiada antisipasi pencegahan perlindungan kesehatan kerja.

Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan sosialisasi dan pendidikan tentang bahaya kerja seperti tertimpa buah, tertimpa pelepah dan resiko, dampak berinteraksi dengan zat-zat kimia berbahaya yang digunakan oleh buruh penyemprot, pemerikasaan kesehatan dan rotasi pekerjaan yang bekerja pada bagian yang berhubungan dengan bahan kimia berbahaya.

Penggunaan simbol-simbol “kekerasan” dalam bentuk petugas keamanan kebun seperti centeng, papan, satpan sampai mata-mata yang rekrut dari masyarakat sekitar mempertinggi derajat pengawasan. Bentuk-bentuk pengawasan terselubung seperti pemamfaatan tokoh adat, agama melalui kegiatan-kegiatan sosial sebagai alat “pengendalian” kepada buruh. “Showroom” sepeda motor masuk perkebunan, pinjaman melalui koperasi dan bentuk-bentuk hiburan malam “warung remang-remang” disekitar jalan besar menuju perkebunan, biasanya bekerjasama dengan preman-preman setempat yang acap kali menjadi bisnis “prostitusi” sampai kepada suguhan ”kyeboard” Bongkar yang bernuansa ”seronok” lengkap dengan arena perjudian sangat akrab di komunitas perkebunan kita.


Tanjung Sari, 27 Maret 2009










[1] UMP Propinsi Tahun 2007 Rp. 757.000,-; Tahun 2008, Rp 820.000,-
[2] Premi dihitung berdasarkan kelebihan jumlah basis borong per hari . Jumlah rata-rata kg komedil TBS x harga premi yang ditetapkan perusahaan. Misalnya jumlah basis borong ditetapkan 50 TBS per hari. Sementara buruh berhasil memanen 55 TBS. Maka premi yang didapatkan adalah 5 x jumlah rata-rata berat komedil 20 kg x premi per kg.

Tidak ada komentar: