Kamis, 02 April 2009

Pengupahan di Perkebunan dalam Perspektif Sejarah

Pendahuluan
Bagi buruh upah merupakan sumber penghasilan utama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Besar kecilnya upah akan sangat menentukan kelangsungan hidup sekaligus ukuran kepuasan dan kesejahteraan mereka. Pencapaian kepuasan dan kesejahteraan mereka tercermin dari kemampuan (daya beli) upah yang mereka terima memenuhi berbagai kebutuhan mereka.
Sepanjang sejarah perkebunan di Sumatera Utara yang telah ”menyulap” hutan belantara menjadi ”lautan” gemerlap dollar belum ada perubahan struktural perbaikan nasib buruhnya. Hanya saja perlu dicatat bahwa secara konseptual masa ”orde Lama” telah meletakkan dasar pengupahan berbasis kesejahteraan, namun kurang mendapat dukungan dari pengambil keputusan kebijakan dan pengelolaan managemen perkebunan waktu itu sehingga kandas di tengah jalan.
Yang muncul adalah wajah perkebunan yaitu dualisme ekonomi sesuai dengan sinyalemen Gertz, di satu sisi tersedianya tanah dan tenaga kerja yang murah dan di sisi lain adanya penanaman modal asing yang sangat besar serta pemasaran berorientasi pada kebutuhan pasar internasional tentu dengan keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan upah yang mereka berikan pada buruh.

Pengupahan dalam Lintas Sejarah
Dahulu pada masa ordonansi koeli menurut salah satu sumber literer (Said Mohammad; 1977) praktek “koeli kontrak” mempunyai pola yang hampir sama dengan praktek Buruh Harian Lepas sekarang. Pola pengupahan berbasis perikatan kerja kontrak, awalnya secara lisan kemudian diperbaharui secara formal melalui ordinansi kuli.
Perbedaanya lebih terletak pada lamanya kontrak, jam kerja (hk) dan besar upah yang diterima dari hasil jerih payahnya. Koeli kontrak di ikat dalam kontrak selama 3,5 tahun serta dijamin oleh undang-undang, meskipun diakui bahwa ordonansi kuli waktu itu lebih ditujukan panahnya pada koeli, terutama aturan pidana yakni poenale sanctie yang di dalamnya tercantum ancaman atas penolakan untuk melakukan pekerjaan atau hukuman jika melarikan diri (Mubyarto,1992).
Pada sisi jam kerja, kuli kontrak dahulu 1 hk sekitar 10-12 jam kerja sehari ditambah kerja lembur. Dari segi penggajian besaran upah dalam ordonansi kuli, kuli kontrak manerima upah 6 dollar sebulan, dimana harus dipotong 3 dollar untuk uang makan, 1,5 dollar untuk potongan panjar yang telah diberikan perusahaan kepada buruh pada saat mengikat kontrak dan 1,5 lagi mereka cukupkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jika dibandingkan lagi pada jaman akhir ordonansi kuli sekitar tahun 1937, hasil penelitian Safry Sairin (Mubyarto, 1992) di Sumatera utara, dasar upah tetap yaitu jam kerja 10-12 jam sehari ditambah kerja lembur dan besaran upah yang diterima buruh kontrak setara dengan 4,37 kg beras per hari.




Sistem pengupahan Buruh
di Perusahaan Perkebunan
Sistem pengupahan



Masa periode


Dasar Pengupahan


Komponen Upah
Besar Upah
di konversi dengan beras per kg/hari
Ordonansi kuli
Jam kerja 10-12 jam dan kerja lembur
Upah pokok harian
6 Dollar/bulan hitungan konversi dengan beras tidak ditemukan
Akhir ordonansi (1937)
Jam kerja 10-12 jam dan kerja lembur
Upah pokok harian

4,37
Orde Lama (1963)
7 jam kerja dan target kerja.
Upah pokok harian ditambah Catu 11
2,6
Orde Baru (1984)
7 jam kerja dan target kerja
Upah pokok harian
3,21
Orde Reformasi (2007)
7 jam kerja dan target kerja
Upah pokok harian
3,7
Sumber : Olahan data Sekunder

Konon data ini penulis konfirmasikan melalui observasi lapangan di daerah Langkat. Di daerah Kabupaten Langkat masih banyak mantan buruh perkebunan yang masih segar igatanya tentang masa-masa buruh perkebunan jaman kolonial.
Dari hasil investigasi dengan seorang informan, sebut saja namanya Paimin (nama samaran) umur 88 tahun, generasi kedua koeli kontrak dimana ayahnya adalah buruh generasi pertama di Langkat. Ia mengaku sudah bekerja sejak umur 18 tahun tepatnya sejak tahun 1938, di perkebunan milik pemerintah Belanda yang akhirnya diserahkan pada pemerintah daerah sejak nasionalisasi menjadi perusahaan perkebunan daerah Cinta Raja Kabupaten Langkat.
Paimin mengaku menerima upah sebesar 2,5 Benggol per bulan, kalau uang Indonesia waktu itu setara dengan 6,2 rupiah. “Uang benggol waktu itu masih jarang, kalau kita memiliki 2 benggol sudah bisa belikan 1 sepeda demikian tuturnya. Jika dikonversikan dengan sen sebanyak 620 sen, ukuran beli beras adalah 1 tin = 0,6 kg seharga 5 sen. Kalau dikonversikan dengan beras 620 sen dapat membeli 124 kg beras dibagi 30 hari maka dapat rata-rata 4,1 kg upah per hari. Tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh oleh Safry Sairin di atas.
Lebih lanjut ia bercerita pada jaman orde lama, buruh yang telah bekerja selama 48 tahun itu, mengatakan buruh waktu itu lumayan sejahtera. “Lumayan enaklah dibanding sebelumnya” demikian tuturnya. Buruh kontrak statusnya diganti menjadi buruh tetap atau di kenal dengan buruh SKU (Syarat kerja Utama). Buruh yang telah memenuhi secara kualitas dan teknis menjadi buruh perkebunan modern, serta sistem pengupahan berbasis kesejateraan.
Cerita Paimin diperkuat oleh salah seorang informan lain kemino (78 tahun) di Langkat menceritakan pengertian SKU serta komponen pengupahan waktu itu, antara lain : karyawan/buruh pukul 06.00 sudah berada 30 meter dari rumah, harus tunduk pada perintah atasan, tidak boleh mengurangi jatah sembako walau hanya 1 ons, rumah/podokan harus layak, kesehatan ditanggung, sembako yaitu “catu 11” ditanggung dan alat kerja harus diberikan perusahaan perkebunan.
Meskipun upah tetap sebesar Rp 4,- sebulan pada tahun 1960-an setara dengan 2,6 kg beras per hari, tapi komponen upah lainya ada yaitu “Catu 11” terdiri dari beras, tepung, minyak goreng, minyak lampu, kacang ijo, garam ikan asin, gula, daging, susu, dan kain.
Namun demikian, fruktuasi upah buruh waktu itu dipengaruhi oleh fruktuasi harga komoditi perkebunan ditingkat internasional dan kondisi sosial politik dalam negeri. Penerimaan upah terendah diterima buruh adalah pada tahun-tahun 1946-1948, setelah perkebunan di tinggal oleh Nippon, sehingga terbelangkai dimana upah buruh setara dengan 0,38 Kg beras per hari dan pada masa peralihan orde lama ke orde baru upah buruh yaitu tahun 1968 upah buruh 0,36 kg per hari (Mubyarto, 1992).
Penerimaan upah buruh pada masa Orde Baru juga tidak membaik dibandingkan dengan masa sebelumnya, malah justru menurun dibandingkan dengan masa ordonansi kuli. Data tahun 1985, pada saat itu boleh dikatakan situasi perekonomian Indonesia tergolong stabil, malah mendapatkan penghargaan atas prestasi pembangunan pertanian yang ditandai oleh “swasembada beras”. Walaupun secara nominal upah harian waktu itu dari tahun ke tahun lebih tinggi, namun ironisnya secara riel upah buruh perkebunan waktu itu setara dengan 3,21 kg per hari.
Sistem pengupahan buruh di perusahaan perkebunan pada intinya didasarkan atas “kontrak kerja”. Kontrak kerja tersebut bisa atas dasar borongan dan harian. Dalam kontrak tersebut secara melekat sudah termuat dasar upah apakah berdasar jam kerja (hk), dasar basis/borongan dan harian, komponen upah; upah itu memuat apa saja dan besaran upah yang diterima oleh buruh.
Dasar upah bisa atas 1 hk (7 jam kerja); kerja/basis borong, dan premi overbasis (premi yang mereka dapatkan apabila melebihi target kerja) yang besarnya ditentukan sepihak oleh perkebunan. Besar upah Buruh sekarang hanya mencapai Rp. 1.200,000,- per bulan. Upah pokok dibawah UMP[1] propinsi sekitar Rp 757.000,- s/d 800.000,- plus premi[2] jika melebihi target kerja (beban kerja ditentukan oleh perusahaan) rata-rata Rp. 300.000,- S/d Rp. 400.000,- per bulan.
Jika dasar penilaian berdasarkan UMP sekitar Rp. 31.500,-/per hari maka upah riel yang diterima oleh buruh sangat jauh darijumlah kebutuhan minimal 1 orang pekerja lajang dasar perhitungasn UMP. Apabila Buruh tersebut sudah keluarga maka tampak jelas jumlah yang sebesar itu sangat tidak masuk akal baik dari segi rasional-empirik dan secara etik kemanusiaan. Atau dengan bahasa lain bahwa upah buruh yang diterima pada ordonansi kuli dari sisi pemenuhan kebutuhan pokok jauh memadai lebih baik dari pada yang diterima saat ini.

Mensiasati Upah Murah
Variabel pokok yang mempengaruhi daya beli mereka adalah pengaruh kenaikan harga BBM. Pada kenyataanya upah yang mereka peroleh relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup cenderung bertambah terutama harga sembako, listrik, transportasi terutama sepeda motor karena memang itu satu-satunya alat transportasi yang ada di perkebunan untuk keperluan belanja kebutuhan sehari-hari atau mengantar anak ke sekolah dan minyak tanah.
Pengaruh kenaikan harga BBM terutama sejak era reformasi benar-benar merupakan tekanan yang berdampak pada kesulitan kehidupan sehari-hari. Idiom yang mereka sebutkan menggambarkan kesulitan tersebut dengan istilah “sak iki opo-opo larang”. Kenaikan harga BBM menyebabkan rata-rata harga sembako terutama beras, minyak goreng dan lauk pauk meningkat, karena memang hal itu tidak tersedia di perkebunan. Dan untuk mendapatkan itu buruh harus juga membayar biaya tambahan karena harus dibebani oleh “biaya transportasi” mengingat daerah perkebunan relatif jauh dari daerah perkotaan.
Dulu para buruh perkebunan menggantungkan sumber energi untuk memasak keperluan sehari-hari dari kayu bakar, tetapi karena kayu bakar semakin hari semakin susah mencarinya seiring dengan konversi hutan ke perkebunan maka mereka saat ini harus terbebani oleh sumber alternatif seperti minyak tanah.
Untuk mensiasati tekanan upah rendah tersebut, maka buruh melakukan strategi utama untuk “bertahan hidup” dengan cara mengurangi konsumsi makan sehari-hari. Buruh biasanya membawa makanan yang biasa di sebut “bontot” yang menu sehari-hari antara lain nasi, telor ¼ bagian (1 butir dibagi empat), atau ikan asin/teri yang murah ditambah tahu/tempe goreng disambal dan sayuran. Kalau baru “gajian” paling banter nasi, ikan basah ditambah tahu/tempe goreng sama sayuran. Pada saat bulan tua menjelang gajian biasanya sudah kehabisan persediaan makanan, paling menunya nasi ditambah tahu/tempe goreng.
Dikangan buruh sangat akrab gobrol menu dengan nanya ‘nyayur apa”. Jadi yang ditanya bukannya jenis lauk-pauk yang mereka bawa dari rumah, karena memang sudah tahu sama lain, tetapi jenis sayur yang dibawa. Bagi buruh nyayur kacang panjang, kangkung adalah sayur yang “bergensi” karena untuk mendapatkanya harus dengan cara membeli. Sedangkan sayur-sayuran jenis genjer, pakis, jamur dan daun ubi adalah sayuran “biasa” karena tersedia atau ditanami sekitar rumah.
Di lingkungan perkebunan lazim juga ditemui jenis lauk pauk yang sering disebut “ikan Monja”. Ikan ini adalah jenis ikan kakap dan gurame yang sudah diambil dagingnya oleh perusahaan pengalengan ikan “Aqua Farm” untuk diekport. Kepala dan tulang-tulang yang tersisa dijual ke buruh perkebunan. Ikan tersebut kemudian dibuat sup dicampur aneka bumbu dan sayur-mayur yang merupakan menu “spesial” buruh perkebunan yang dikategorikan mewah.
[1] UMP Propinsi Tahun 2007 Rp. 757.000,-; Tahun 2008, Rp 820.000,-
[2] Premi dihitung berdasarkan kelebihan jumlah basis borong per hari . Jumlah rata-rata kg komedil TBS x harga premi yang ditetapkan perusahaan. Misalnya jumlah basis borong ditetapkan 50 TBS per hari. Sementara buruh berhasil memanen 55 TBS. Maka premi yang didapatkan adalah 5 x jumlah rata-rata berat komedil 20 kg x premi per kg.

Pengupahan dan Potret Hidup Buruh Kebun

Perbudakan adalah bentuk ketimpangan (kesenjangan) yang tinggi pola hubungan majikan-buruh, menempatkan buruh pada posisi lemah (subordinasi) sebagai satu-satunya pilihan hidup. Seluruh aspek kehidupan buruh dibawah kontrol majikan. Pemahaman demikian dapat dipakai sebagai pijakan untuk melukiskan bagaimana sebenarnya potret hidup buruh kebun.

Terdapat beberapa perbedaan tentang derajat kesenjangan itu, bila di lihat dari aspek kerakteristik wilayah dimana perkebunan berada dan dari segi sistem pengupahan buruh kebun.

Di perkebunan yang dekat dengan daerah perkotaan (urban) atau relatif dekat dengan kota (sub urban), akan sangat berbeda dengan daerah pedesaan, terisolir dan jauh dari pusat- pusat ekonomi, kekuasaan dan peradaban.

Perkebunan yang dekat dengan daerah urban, akan tanpak bahwa buruh berbaur dengan komunitas-komunitas di sekitar perkebunan, meskipun sebagian ada memilih di emplasmen perkebunan yang disediakan oleh perusahaan.

Dari segi interaksi dan hubungan sosial tentu akan lebih luwes dan terbuka pada perubahan-perubahan yang ada disekitarnya. Akses terhadap informasi, aspirasi dan pilihan-pilihan hidup (pekerjaan) akan lebih terbuka, sehingga buruh relatif mempunyai posisi tawar dengan pihak perusahaan perkebunan.

Kerakteristik pelapisan masyarakat relatif beragam mendorong mereka mempunyai kesempatan membanding-bandingkan pola hidup, norma dan pola anutan sosial sebagai pedoman dan kesadaran akan hidup yang lebih baik.

Banyak kasus-kasus kesadaran dan kepedulian nasib sesama buruh dalam bentuk tuntutan akan hak-hak normatif muncul dari perkebunan yang relatif dekat dengan daerah dan sub urban. Keadaan yang demikian, tentu membawa kesulitan tersendiri bagi perusahaan perkebunan.

Sedangkan bagi perkebunan yang bercorak pedesaan, terisolir dan relatif jauh dari daerah perkotaan bentuk kesejangan pola hubungan buruh-majikan akan semakin terasa.
Dari segi pengaturan ruang, akan tampak bahwa pola pemukiman dan pembangunan pemukiman buruh (emplasmen) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pola pengawasan. Emplasmen terkonsentrasi dan berada di tengah-tengah lokasi perkebunan dan terasing dari pemukiman komunitas penduduk sekitar perkebunan.

Pemukiman para tuan kebun berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Pintu masuk perkebunan dikondisikan terpusat yang dijaga oleh aparat satpam sehingga perkebunan tahu benar “orang asing” yang lalu lalang masuk ke daerah perkebunan.

Kemudian di dalam emplasmen, mandor adalah salah satu unsur penting pengawasan buruh. Mereka ditempatkan sebagai satu-satunya panutan utama bagi komunitas emplasmen dengan menyediakan rumah yang sedikit berbeda dengan rumah buruh dan berbaur bersama buruh.

Komunitas buruh mayoritas adalah suku jawa, relatif homogen dari sudut pelapisan sosial serta kelonggaran norma sosial sebagai unsur penting pengendalian sosial. Hal ini menyebabkan kerakteristik komunitas buruh perkebunan di daerah pedesaan sedikit longgar dalam hubungan sosial dan pola perilaku.

Upah Rendah dan Pengendalian Buruh
Pihak perusahaan perkebunan mempunyai berbagai cara untuk selalu memelihara kesenjangan pola hubungan itu. Cara yang paling biasa (konvensional) dan turun-temurun adalah diskriminasi sistem pengupahan. Adanya perbedaan sistem pengupahan buruh dengan sistem pengupahan pada buruh/pekerja tingkat managemen.

Pertama, perbedaan kesenjangan upah. Upah tertinggi yang mungkin di peroleh buruh kebun yang berstatus buruh tetap (SKU) hanya mencapai Rp. 1.200,000,- per bulan. Upah pokok dibawah UMP[1] propinsi sekitar Rp 757.000,- s/d 800.000,- plus premi[2] jika melebihi target kerja (beban kerja ditentukan oleh perusahaan) rata-rata Rp. 300.000,- S/d Rp. 400.000,- per bulan.

Sementara Mandor yang merupakan jejang tertinggi karir buruh sedikit lebih tinggi dari buruh biasa mendapat upah 1,5 juta s/d 2 juta perbulan.

Untuk tingkat managemen kerani, asisten kebun, kontrolir mendapat upah sekitar kisaran 4 juta sampai 15 juta, dan manager kebun 20 juta sampai 50 juta per bulan lengkap dengan fasilitas perumahan yang cukup mewah, akomodasi dan transportasi dan pelayanan kesehatan yang lebih jika merujuk pada rumah sakit rujukan mereka memelihara kesehatanya. Untuk setingkat asisten diberikan fasilitas transportasi sepeda motor dan manager kebun adalah mobil.

Kedua, menekan upah buruh melalui pembiakan dan penerapan sanksi-sanksi kerja yang ketat. Sistem pengupahan, dimana penentuan besar upah didasarkan atas 7 jam kerja dan borongan (terget kerja) secara bersamaan. Bila buruh bekerja selama 7 jam tetapi tidak mencapai target yang ditentukan sepihak oleh perkebunan maka akan dikenakan sanksi di kenal dengan istilah ”dipertujuh”. Contoh target kerja 50 janjang sawit ternyata buruh sanggup 40 jajang. Maka 40 jajang/50 jajang x 7 jam kerja = 5,6 jam kerja. Konsekwensinya 1,4 jam kerja di potong. Jika buruh digaji Rp 30.500,- per hari maka besar potongan adalah Rp 30.500,- dibagi 7 dikali 1,4 jam kerja = Rp 6.100,-

Selain itu masih ada bentuk lain pemotongan upah. Buruh pemanen misalnya, paling tidak setiap sub jenis kegiatan (pekerjaan) mulai dari sangsi administratif sampai sanksi proses kerja; memotong TBS, memotong dan mengatur pelepah, memanem buah mentah, tidak memungut berondolan mempunyai sanksi yang dikonversikan dalam bentuk uang sehingga terjadi pengurangan upah yang sedikit itu. Kesalahan kerja dijawab dengan hukuman denda bukan dengan mendidik, melatih keterampilan kerja buruh.

Kesesatan pikiran juga muncul ketika pengusaha melihat pekerjaan buruh tidak mengenal keterampilan dan masa kerja. Pada hal realitasnya pekerjaan buruh panen adalah pekerjaan yang sulit dan betapapun sederhananya pekerjaan itu ternyata membutuhkan keterampilan yang tinggi. Buruh tidak mengenal konpensasi atas dasar masa kerja. Semakin lama seseorang bekerja sudah barang tentu lebih terampil. Aspek ketidakadilan ini mereka alami dimana buruh yang baru masuk bekerja sama upahnya dengan buruh yang telah lama bekerja (terampil).

Ketiga, Tekanan upah rendah berakibat pada kesenjangan antara sumber pendapatan dengan besar pengeluaran. Pendapatan buruh hanya untuk sekedar makan juga kurang. Dengan sedikit berseloroh; upah kami untuk “dubur” saja tak cukup sementara binatang peliharaan saja seperti “anjing” dikasi makan oleh tuanya berarti kami ini lebih rendah dari pada anjing demikian pengakuan salah seorang buruh secara lugas dan reflektif. Cara mensiasati hal tersebut memaksa buruh mengurangi pola konsumsi keluarga nyaris tampa gizi, “gali lobang tutup lobang” seperti ngutang diwarung dan tidak jarang terjebak sama tengkulak atau lintah darat menyebabkan sifat ketergantungan yang tinggi pada perusahaan.

Keempat, cara lain yang juga ampuh menciptakan ketergantungan itu, telah lama berurat-berakar warisan kolonial. Akibat gaji yang rendah hanya cukup untuk tetap bertahan hidup memaksa buruh mengambil pilihan “pahit”. Misalnya buruh yang masa kerjanya sekitar 25 s/d 30 tahun, saat pensiun tidak mempunyai rumah, sementara pihak perusahaan berusaha memindahkanya. Satu-satunya cara yang mereka pilih untuk tetap tinggal diemplasmen adalah mewariskan pekerjaan sebagai buruh kepada anaknya. Inilah yang disebut “rekruitmen warisan”. Mereka tidak secara otomatis diangkat sebagai buruh tetap (SKU), tetapi ditangguhkan statusnya atau ditetapkan sebagai Burun Harian Lepas (BHL) dengan pembatasan jumlah hari kerja dibawah 20 hari mensiasati undang-undang ketenagakerjaan.

Pada saat bapaknya aktif kerja di kebun, untuk mencapai basis borong dan premi biasanya mengikutkan anaknya magang kerja yang lazim disebut kerja model “sopir-kernet”. Bapak sebagai sopir bertugas mengendalikan proses memanen tandan buah segar sementara anak, istri atau ponakan sebagai kernet bertugas merapikan pelepah dan memungut berondolan. Konsekwensi dari pola demikian maka pihak perusahaan diuntungkan karena ketersediaan buruh yang terampil dan dihargai murah, tampa terbebani biaya pelatihan kerja buruh.

Kemudian cara ditempuh perusahaan adalah pengoptimalan penggunaan buruh harian lepas (BHL) dan pembatasan atau tidak lagi memerima buruh tetap, pengalihan status buruh tetap dengan cara mengkondisikan buruh melanggar aturan kerja atau malakukan kesalahan yang berbuntut pada pemecatan dan menggangkat kembali sebagai BHL.

Pengoptimalan BHL mempermudah perusahaan mengakumulasi modal tanpa terbebani biaya produksi yang tinggi, tanggung jawab sosial perusahan dan paling terpenting adalah pemindahan perselisihan atau konflik perkebunan keluar arena perusahaan.
Selain hal yang disebutkan diatas, praktek kerja buruh juga sangat membebani mereka. Misalnya selain pembebanan biaya alat-alat kerja dipotong dari gaji mereka, juga pembiaran buruh bekerja tanpa penggunaan perlengkapan pelindung kerja. Tiada antisipasi pencegahan perlindungan kesehatan kerja.

Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan sosialisasi dan pendidikan tentang bahaya kerja seperti tertimpa buah, tertimpa pelepah dan resiko, dampak berinteraksi dengan zat-zat kimia berbahaya yang digunakan oleh buruh penyemprot, pemerikasaan kesehatan dan rotasi pekerjaan yang bekerja pada bagian yang berhubungan dengan bahan kimia berbahaya.

Penggunaan simbol-simbol “kekerasan” dalam bentuk petugas keamanan kebun seperti centeng, papan, satpan sampai mata-mata yang rekrut dari masyarakat sekitar mempertinggi derajat pengawasan. Bentuk-bentuk pengawasan terselubung seperti pemamfaatan tokoh adat, agama melalui kegiatan-kegiatan sosial sebagai alat “pengendalian” kepada buruh. “Showroom” sepeda motor masuk perkebunan, pinjaman melalui koperasi dan bentuk-bentuk hiburan malam “warung remang-remang” disekitar jalan besar menuju perkebunan, biasanya bekerjasama dengan preman-preman setempat yang acap kali menjadi bisnis “prostitusi” sampai kepada suguhan ”kyeboard” Bongkar yang bernuansa ”seronok” lengkap dengan arena perjudian sangat akrab di komunitas perkebunan kita.


Tanjung Sari, 27 Maret 2009










[1] UMP Propinsi Tahun 2007 Rp. 757.000,-; Tahun 2008, Rp 820.000,-
[2] Premi dihitung berdasarkan kelebihan jumlah basis borong per hari . Jumlah rata-rata kg komedil TBS x harga premi yang ditetapkan perusahaan. Misalnya jumlah basis borong ditetapkan 50 TBS per hari. Sementara buruh berhasil memanen 55 TBS. Maka premi yang didapatkan adalah 5 x jumlah rata-rata berat komedil 20 kg x premi per kg.

Serikat Buruh sebagai Sekolah Politik

Pentingnya Buruh Berpolitik
Substansi politik adalah kekuasaan. Politik disebut juga sebagai jantung kehidupan sosial. Politik adalah mesin kekuasaan yang memproduksi kebijakan publik dan menyalurkan keseseluruh jaringan/saluran komponen ”tubuh” kehidupan sosial terdiri atas organisasi politik formal, organisasi massa, birokrasi, media dan kehidupan keluarga.

Semua unsur kehidupan sosial itu langsung maupun tidak langsung terpengaruh dan dipengaruhi oleh kebijakan politik. Tak satu unsur kehidupan sosial pun yang steril dari padanya termasuk nasib buruh ditentukan nasibnya oleh keputusan politik di bidang perburuhan (ketenagakerjaan).

Jadi tidak ada alasan bagi buruh dan serikat untuk menghindari politik, apalagi takut berbicara politik. Ketakutan berbicara dan memahami politik adalah kondisi yang sangat disenangi regim penguasa otoriter. Misalnya Regim Orde Baru yang mendiskriminasi hak berpolitik rakyat. 32 tahun lamanya pembodohan itu berlangsung melalui penggunaan kekerasan. Rakyat dibiarkan bodoh terus dan dibutakan dari pemahaman-pemahaman politik sehingga dengan mudah dikendalikan melanggengkan kekuasaanya.

Dalam kaitan dengan itu maka semakin jauh buruh dan serikat buruh dari arena pertarungan politik (kekuasaan) maka semakin semakin jauh pula kepentingan buruh terwakili dalam kebijakan politik. Demikian sebaliknya semakin berpatisipasi buruh serikat buruh melalui partai politik yang seaspirasi denganya dalam arena percaturan politik maka semakin terbuka kesempatan memperjuangkan aspirasi, menghadirkan kepentingan buruh, dan kebijakan publik yang berpihak pada rakyat.

Berpolitik berarti aktivitas bagaimana membangun kekuatan untuk memperoleh, memelihara dan mendistribusikan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang untuk mengatur/mengendalikan atau memimpin pihak lain sesuai dengan kehendak bersama.

Berpolitik dengan baik bila seseorang terdorong oleh nilai-hilai kemanusiaan seperti anti penghisapan, penindasan dan perbudakan dan mencintai kebenaran, keadilan serta sikap keberpihakan terhadap yang lemah, tidak semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Maka berpolitik harus dibekali oleh pemahaman yang benar, keyakinan yang kuat serta kedisplinan untuk menjalankan cita-cita (ideologi).

Tidak seperti banyak politisi saat ini yang berjuang demi kepentingan kekuasaan semata, politik sebagai komoditas, politik sebagai tempat mencari uang sehingga politik menjadi segalanya dengan menghalalkan berbagai ragam cara yang kurang baik. Tampil kepermukaan wajah politik yang kejam, begis, penipuan, rekayasa, kepalsuan, janji-janji manis. Ini menandakan bahwa realitas politik kita memang sudah demikian “rusak” dan tidak lagi ditujukan untuk perbaikan hidup berbangsa dan ber-Negara melalui cara-cara yang demokratis yang menghormati kedaulatan rakyat.



Pengalamam Sejarah adalah Guru Terbaik
Pengalaman sejarah adalah ”guru terbaik” bagi buruh dan serikat buruh. Awal kebangkitan Nasional ketika itu buruh mampu membangun kekuatan melalui serikat buruh maka ia diperhitungkan sebagai pelaku yang mempengaruhi kebijakan dibidang perburuhan. SB saat itu selain berfungsi sebagai sarana memperjuangkan nasibnya dihadapan pengusaha, tetapi juga sebagai ”sekolah politik” mendidik buruh sebagai kader pejuang bangsa bersama sama dengan kaum terdidik yang berpikiran maju atau orang yang diluar buruh tetapi jiwa dan semangatnya adalah memajukan buruh.

Strategi utama SB adalah perlawanan, mengembangkan kesadaran kritis (maju) mengbongkar kondisi obyektif lingkungan terdekatnya terutama relasi kerja buruh-majikan. Lebih jauh dibentuk kembali menjadi gerakan politis melalui serangkaian kegiatan pengorganisasian, pendidikan, advokasi terutama lewat media massa dan pemogokan baik dalam lingkup perusahaan maupun antar solidaritas SB yang berpengaruh

Berlanjut pada ke pasca kemerdekaan, SB menjadi aktor penting mempengaruhi pemerintahan di bidang perburuhan termasuk melahirkan kebijakan perburuhan yang berpihak pada nasib buruh. Setidaknya tiga buah undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu undang-undang yang paling jitu dalam perlindungan terhadap buruh/pekerja pada masanya dan jauh lebih bagus dari UU Ketenagakerjaan saat ini.

Waktu itu pula merupakan zaman keemasan buruh. Di tingkat managemen perusahaan benar-benar suatu tindakan perlindungan kepada buruh. Proses penerimaan buruh terseleksi dengan baik; adanya kepastian hubungan kerja (tidak ada outsourcing) sistem penggajian berbasis kebutuhan pokok (upah pokok plus catu 11) dan pemenuhan jaminan sosial seperti fasilitas perumahan dan pelayanan kesehatan, hak berserikat dijamin serta tidak mempekerjakan anak.

Titik Balik Gerakan Buruh dan SB Sebagai Sekolah Politik
Peristiwa kelam di tahun 1965 membalikkan keadaan secara drastis. Pembungkaman gerakan buruh terjadi. Pasca 65 penghancurkan struktur dan sendi-sendi kekuatan gerakan buruh. Regim Orde Baru yang dimotori oleh ABRI dan Golkar memberangus gerakan buruh dan partai politik aliran lewat proyek depolitisasi dan massa mengambang.
Serikat buruh memang sengaja dilepaskan dari kekuatan politik manapun dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI diambil dari kader-kader Golkar. Sejak awal, jelas bahwa FBSI ditujukan untuk memberangus buruh dan menutup dunia politik bagi buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha harus ada ketenangan, tidak boleh ada konflik.
Biar bagaimanapun rejim Orde Baru berusaha dengan segala represi, siksaan dan terornya gelombang perlawanan buruh tetap tidak dapat diredam. Bahkan SPSI, yang dirancang sebagai satu alat yang secara sistematik akan menghabisi aspirasi politik buruh, ternyata kemudian dipakai oleh banyak buruh sebagai alat perlawanan. Kita tahu, Marsinah gugur di tahun 1993 ketika memperjuangkan pembentukan SPSI di pabriknya, di Sidoarjo. Gugurnya Marsinah sebagai pahlawan buruh turut mengilhami kebangkitan kembali gerakan buruh.
Kegagalan SPSI untuk berfungsi sebagai serikat buruh yang memperjuangkan nasib buruh ketika berhadapan dengan kerakusan pengusaha ini menyebabkan mulai bertumbuhnya serikat-serikat buruh alternatif. Beberapa yang patut disebut adalah SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), SBMSK (Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan) dan PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia).
Perjuangan panjang gerakan buruh Indonesia akhirnya mendapatkan titik-terangnya ketika Soeharto dipaksa turun dari singgasananya. Sekalipun reformasi, yang menyusul lengsernya penguasa Orde Baru itu, tidaklah memberi buah seperti yang diimpikan sebelumnya, reformasi ini tetaplah memberi ruang bagi bertumbuhnya gerakan buruh baru yang lebih segar dan bersemangat. Banyak serikat-serikat independen (baca: berdiri di luar serikat buruh yang bersangkutan dengan SPSI) berdiri di mana-mana. Serikat-serikat yang tadinya dipaksa bergabung dengan SPSI-pun satu-persatu mulai melepaskan diri dari tubuh induknya. Aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi buruh besar-besaran mulai menjadi bagian dari berita sehari-hari di media massa.
Tetapi persoalanya masalah perburuhan tidak terpecahkan lewat aksi pemogokan dan demonstrasi. Butuh amunisi baru lewat perjuangan politik parlementer. Maka penting membangun SB sebagai sarana dalam mendidik buruh terampil berpolitik. SB dapat berfungsi sebagai ”sekolah politik” bagi buruh. Pilihanya adalah gerakan kader, gerakan pejuang. Selain gerakan berbasis kesejahteraan juga berbasis gerakan politik yang memperjuangkan cita-cita, agregasi kepentingan dan keterwakilan politik buruh ke depan

Tantanganya adalah bahwa SB saat ini belum ada yang benar-benar memiliki ideologi perjuangan melawan ketidakadilan sosial. Yang justru muncul adalah SB ”bumper” status quo elite kekuasaan yang ditopang oleh kepentingan neo-liberal. Gagalnya perjuangan SB menolak UU No 13 Tahun 2003 suatu bukti tiadanya perlawanan yang signifikan. Selain itu, euporia perlawanan era reformasi justru menghasilkan fragmentasi di tubuh serikat buruh, rawan perpecahan karena pembentukan SB diluar kepentingan buruh. SB yang ada saat ini yang terepresentasi dalam lembaga-lembaga politik masih “semu”. Dengan kata lain, perkembangan partisipasi politik SB hanya menghasilkan buruh sebagai subyek “kedalam” SB, tetapi ketika berinteraksi dengan kekuatan lain masih menjadi objek semata.

Dampaknya adalah legalitas outsourcing dan praktek kerja Buruh Harian Lepas/borongan semakin marak mengakibatkan hak atas jaminan kerja (job sekurity) bagi buruh berkurang. Demikian juga proses marginalisasi Negara dalam proteksi terhadap warganya terabaikan bertentangan dengan semangat dan amanah UUD 45.

SB tersebut ibarat boneka, dimainkan oleh penguasa-pengusaha bertindak sebagai dalang pada drama akrobatik. Nafsu kekuasaan adalah menjinakkan kesadaran buruh. Disanalah bentuk-bentuk mobilisasi, eksploitasi dan domestikasi terus berlangsung. Gagalnya kaderisasi SB mengikis warisan feodalisme, oligarki elitis menyebabkan SB tidak memiliki kemandirian berbasis kepentingan anggota dan berbasis politik buruh serta kegagalan mengelola SB secara profesional. Kalangan buruh masih jauh untuk terlibat dalam menggalang anggota membagun serikat buruh yang kuat.

Kondisi obyektif seperti yang digambarkan di atas sangat menentukan efektivitas dan profesionalisme SB. Suatu SB tergantung pada tingkat kemampuan mereka memobilisasi SDA/SDM; kemampuan mengorganisasikan dan merekrut anggota, tingkat pemahaman mereka atas peran mereka, fungsi dan peraturan yang ada, maupun seberapa bagus mereka dapat mengkomunikasikan kebutuhan para buruh, kemampuan bernegosiasi menyelesaikan perselisihan, sampai menggunakan intrumen refressif jika dibutuhkan dalam rangka klaim atas hak mereka atas kehadiran dan keterwakilan politik buruh.