Kamis, 02 April 2009

Serikat Buruh sebagai Sekolah Politik

Pentingnya Buruh Berpolitik
Substansi politik adalah kekuasaan. Politik disebut juga sebagai jantung kehidupan sosial. Politik adalah mesin kekuasaan yang memproduksi kebijakan publik dan menyalurkan keseseluruh jaringan/saluran komponen ”tubuh” kehidupan sosial terdiri atas organisasi politik formal, organisasi massa, birokrasi, media dan kehidupan keluarga.

Semua unsur kehidupan sosial itu langsung maupun tidak langsung terpengaruh dan dipengaruhi oleh kebijakan politik. Tak satu unsur kehidupan sosial pun yang steril dari padanya termasuk nasib buruh ditentukan nasibnya oleh keputusan politik di bidang perburuhan (ketenagakerjaan).

Jadi tidak ada alasan bagi buruh dan serikat untuk menghindari politik, apalagi takut berbicara politik. Ketakutan berbicara dan memahami politik adalah kondisi yang sangat disenangi regim penguasa otoriter. Misalnya Regim Orde Baru yang mendiskriminasi hak berpolitik rakyat. 32 tahun lamanya pembodohan itu berlangsung melalui penggunaan kekerasan. Rakyat dibiarkan bodoh terus dan dibutakan dari pemahaman-pemahaman politik sehingga dengan mudah dikendalikan melanggengkan kekuasaanya.

Dalam kaitan dengan itu maka semakin jauh buruh dan serikat buruh dari arena pertarungan politik (kekuasaan) maka semakin semakin jauh pula kepentingan buruh terwakili dalam kebijakan politik. Demikian sebaliknya semakin berpatisipasi buruh serikat buruh melalui partai politik yang seaspirasi denganya dalam arena percaturan politik maka semakin terbuka kesempatan memperjuangkan aspirasi, menghadirkan kepentingan buruh, dan kebijakan publik yang berpihak pada rakyat.

Berpolitik berarti aktivitas bagaimana membangun kekuatan untuk memperoleh, memelihara dan mendistribusikan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang untuk mengatur/mengendalikan atau memimpin pihak lain sesuai dengan kehendak bersama.

Berpolitik dengan baik bila seseorang terdorong oleh nilai-hilai kemanusiaan seperti anti penghisapan, penindasan dan perbudakan dan mencintai kebenaran, keadilan serta sikap keberpihakan terhadap yang lemah, tidak semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Maka berpolitik harus dibekali oleh pemahaman yang benar, keyakinan yang kuat serta kedisplinan untuk menjalankan cita-cita (ideologi).

Tidak seperti banyak politisi saat ini yang berjuang demi kepentingan kekuasaan semata, politik sebagai komoditas, politik sebagai tempat mencari uang sehingga politik menjadi segalanya dengan menghalalkan berbagai ragam cara yang kurang baik. Tampil kepermukaan wajah politik yang kejam, begis, penipuan, rekayasa, kepalsuan, janji-janji manis. Ini menandakan bahwa realitas politik kita memang sudah demikian “rusak” dan tidak lagi ditujukan untuk perbaikan hidup berbangsa dan ber-Negara melalui cara-cara yang demokratis yang menghormati kedaulatan rakyat.



Pengalamam Sejarah adalah Guru Terbaik
Pengalaman sejarah adalah ”guru terbaik” bagi buruh dan serikat buruh. Awal kebangkitan Nasional ketika itu buruh mampu membangun kekuatan melalui serikat buruh maka ia diperhitungkan sebagai pelaku yang mempengaruhi kebijakan dibidang perburuhan. SB saat itu selain berfungsi sebagai sarana memperjuangkan nasibnya dihadapan pengusaha, tetapi juga sebagai ”sekolah politik” mendidik buruh sebagai kader pejuang bangsa bersama sama dengan kaum terdidik yang berpikiran maju atau orang yang diluar buruh tetapi jiwa dan semangatnya adalah memajukan buruh.

Strategi utama SB adalah perlawanan, mengembangkan kesadaran kritis (maju) mengbongkar kondisi obyektif lingkungan terdekatnya terutama relasi kerja buruh-majikan. Lebih jauh dibentuk kembali menjadi gerakan politis melalui serangkaian kegiatan pengorganisasian, pendidikan, advokasi terutama lewat media massa dan pemogokan baik dalam lingkup perusahaan maupun antar solidaritas SB yang berpengaruh

Berlanjut pada ke pasca kemerdekaan, SB menjadi aktor penting mempengaruhi pemerintahan di bidang perburuhan termasuk melahirkan kebijakan perburuhan yang berpihak pada nasib buruh. Setidaknya tiga buah undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu undang-undang yang paling jitu dalam perlindungan terhadap buruh/pekerja pada masanya dan jauh lebih bagus dari UU Ketenagakerjaan saat ini.

Waktu itu pula merupakan zaman keemasan buruh. Di tingkat managemen perusahaan benar-benar suatu tindakan perlindungan kepada buruh. Proses penerimaan buruh terseleksi dengan baik; adanya kepastian hubungan kerja (tidak ada outsourcing) sistem penggajian berbasis kebutuhan pokok (upah pokok plus catu 11) dan pemenuhan jaminan sosial seperti fasilitas perumahan dan pelayanan kesehatan, hak berserikat dijamin serta tidak mempekerjakan anak.

Titik Balik Gerakan Buruh dan SB Sebagai Sekolah Politik
Peristiwa kelam di tahun 1965 membalikkan keadaan secara drastis. Pembungkaman gerakan buruh terjadi. Pasca 65 penghancurkan struktur dan sendi-sendi kekuatan gerakan buruh. Regim Orde Baru yang dimotori oleh ABRI dan Golkar memberangus gerakan buruh dan partai politik aliran lewat proyek depolitisasi dan massa mengambang.
Serikat buruh memang sengaja dilepaskan dari kekuatan politik manapun dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI diambil dari kader-kader Golkar. Sejak awal, jelas bahwa FBSI ditujukan untuk memberangus buruh dan menutup dunia politik bagi buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha harus ada ketenangan, tidak boleh ada konflik.
Biar bagaimanapun rejim Orde Baru berusaha dengan segala represi, siksaan dan terornya gelombang perlawanan buruh tetap tidak dapat diredam. Bahkan SPSI, yang dirancang sebagai satu alat yang secara sistematik akan menghabisi aspirasi politik buruh, ternyata kemudian dipakai oleh banyak buruh sebagai alat perlawanan. Kita tahu, Marsinah gugur di tahun 1993 ketika memperjuangkan pembentukan SPSI di pabriknya, di Sidoarjo. Gugurnya Marsinah sebagai pahlawan buruh turut mengilhami kebangkitan kembali gerakan buruh.
Kegagalan SPSI untuk berfungsi sebagai serikat buruh yang memperjuangkan nasib buruh ketika berhadapan dengan kerakusan pengusaha ini menyebabkan mulai bertumbuhnya serikat-serikat buruh alternatif. Beberapa yang patut disebut adalah SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), SBMSK (Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan) dan PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia).
Perjuangan panjang gerakan buruh Indonesia akhirnya mendapatkan titik-terangnya ketika Soeharto dipaksa turun dari singgasananya. Sekalipun reformasi, yang menyusul lengsernya penguasa Orde Baru itu, tidaklah memberi buah seperti yang diimpikan sebelumnya, reformasi ini tetaplah memberi ruang bagi bertumbuhnya gerakan buruh baru yang lebih segar dan bersemangat. Banyak serikat-serikat independen (baca: berdiri di luar serikat buruh yang bersangkutan dengan SPSI) berdiri di mana-mana. Serikat-serikat yang tadinya dipaksa bergabung dengan SPSI-pun satu-persatu mulai melepaskan diri dari tubuh induknya. Aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi buruh besar-besaran mulai menjadi bagian dari berita sehari-hari di media massa.
Tetapi persoalanya masalah perburuhan tidak terpecahkan lewat aksi pemogokan dan demonstrasi. Butuh amunisi baru lewat perjuangan politik parlementer. Maka penting membangun SB sebagai sarana dalam mendidik buruh terampil berpolitik. SB dapat berfungsi sebagai ”sekolah politik” bagi buruh. Pilihanya adalah gerakan kader, gerakan pejuang. Selain gerakan berbasis kesejahteraan juga berbasis gerakan politik yang memperjuangkan cita-cita, agregasi kepentingan dan keterwakilan politik buruh ke depan

Tantanganya adalah bahwa SB saat ini belum ada yang benar-benar memiliki ideologi perjuangan melawan ketidakadilan sosial. Yang justru muncul adalah SB ”bumper” status quo elite kekuasaan yang ditopang oleh kepentingan neo-liberal. Gagalnya perjuangan SB menolak UU No 13 Tahun 2003 suatu bukti tiadanya perlawanan yang signifikan. Selain itu, euporia perlawanan era reformasi justru menghasilkan fragmentasi di tubuh serikat buruh, rawan perpecahan karena pembentukan SB diluar kepentingan buruh. SB yang ada saat ini yang terepresentasi dalam lembaga-lembaga politik masih “semu”. Dengan kata lain, perkembangan partisipasi politik SB hanya menghasilkan buruh sebagai subyek “kedalam” SB, tetapi ketika berinteraksi dengan kekuatan lain masih menjadi objek semata.

Dampaknya adalah legalitas outsourcing dan praktek kerja Buruh Harian Lepas/borongan semakin marak mengakibatkan hak atas jaminan kerja (job sekurity) bagi buruh berkurang. Demikian juga proses marginalisasi Negara dalam proteksi terhadap warganya terabaikan bertentangan dengan semangat dan amanah UUD 45.

SB tersebut ibarat boneka, dimainkan oleh penguasa-pengusaha bertindak sebagai dalang pada drama akrobatik. Nafsu kekuasaan adalah menjinakkan kesadaran buruh. Disanalah bentuk-bentuk mobilisasi, eksploitasi dan domestikasi terus berlangsung. Gagalnya kaderisasi SB mengikis warisan feodalisme, oligarki elitis menyebabkan SB tidak memiliki kemandirian berbasis kepentingan anggota dan berbasis politik buruh serta kegagalan mengelola SB secara profesional. Kalangan buruh masih jauh untuk terlibat dalam menggalang anggota membagun serikat buruh yang kuat.

Kondisi obyektif seperti yang digambarkan di atas sangat menentukan efektivitas dan profesionalisme SB. Suatu SB tergantung pada tingkat kemampuan mereka memobilisasi SDA/SDM; kemampuan mengorganisasikan dan merekrut anggota, tingkat pemahaman mereka atas peran mereka, fungsi dan peraturan yang ada, maupun seberapa bagus mereka dapat mengkomunikasikan kebutuhan para buruh, kemampuan bernegosiasi menyelesaikan perselisihan, sampai menggunakan intrumen refressif jika dibutuhkan dalam rangka klaim atas hak mereka atas kehadiran dan keterwakilan politik buruh.

Tidak ada komentar: