Kamis, 02 April 2009

Pengupahan di Perkebunan dalam Perspektif Sejarah

Pendahuluan
Bagi buruh upah merupakan sumber penghasilan utama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Besar kecilnya upah akan sangat menentukan kelangsungan hidup sekaligus ukuran kepuasan dan kesejahteraan mereka. Pencapaian kepuasan dan kesejahteraan mereka tercermin dari kemampuan (daya beli) upah yang mereka terima memenuhi berbagai kebutuhan mereka.
Sepanjang sejarah perkebunan di Sumatera Utara yang telah ”menyulap” hutan belantara menjadi ”lautan” gemerlap dollar belum ada perubahan struktural perbaikan nasib buruhnya. Hanya saja perlu dicatat bahwa secara konseptual masa ”orde Lama” telah meletakkan dasar pengupahan berbasis kesejahteraan, namun kurang mendapat dukungan dari pengambil keputusan kebijakan dan pengelolaan managemen perkebunan waktu itu sehingga kandas di tengah jalan.
Yang muncul adalah wajah perkebunan yaitu dualisme ekonomi sesuai dengan sinyalemen Gertz, di satu sisi tersedianya tanah dan tenaga kerja yang murah dan di sisi lain adanya penanaman modal asing yang sangat besar serta pemasaran berorientasi pada kebutuhan pasar internasional tentu dengan keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan upah yang mereka berikan pada buruh.

Pengupahan dalam Lintas Sejarah
Dahulu pada masa ordonansi koeli menurut salah satu sumber literer (Said Mohammad; 1977) praktek “koeli kontrak” mempunyai pola yang hampir sama dengan praktek Buruh Harian Lepas sekarang. Pola pengupahan berbasis perikatan kerja kontrak, awalnya secara lisan kemudian diperbaharui secara formal melalui ordinansi kuli.
Perbedaanya lebih terletak pada lamanya kontrak, jam kerja (hk) dan besar upah yang diterima dari hasil jerih payahnya. Koeli kontrak di ikat dalam kontrak selama 3,5 tahun serta dijamin oleh undang-undang, meskipun diakui bahwa ordonansi kuli waktu itu lebih ditujukan panahnya pada koeli, terutama aturan pidana yakni poenale sanctie yang di dalamnya tercantum ancaman atas penolakan untuk melakukan pekerjaan atau hukuman jika melarikan diri (Mubyarto,1992).
Pada sisi jam kerja, kuli kontrak dahulu 1 hk sekitar 10-12 jam kerja sehari ditambah kerja lembur. Dari segi penggajian besaran upah dalam ordonansi kuli, kuli kontrak manerima upah 6 dollar sebulan, dimana harus dipotong 3 dollar untuk uang makan, 1,5 dollar untuk potongan panjar yang telah diberikan perusahaan kepada buruh pada saat mengikat kontrak dan 1,5 lagi mereka cukupkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jika dibandingkan lagi pada jaman akhir ordonansi kuli sekitar tahun 1937, hasil penelitian Safry Sairin (Mubyarto, 1992) di Sumatera utara, dasar upah tetap yaitu jam kerja 10-12 jam sehari ditambah kerja lembur dan besaran upah yang diterima buruh kontrak setara dengan 4,37 kg beras per hari.




Sistem pengupahan Buruh
di Perusahaan Perkebunan
Sistem pengupahan



Masa periode


Dasar Pengupahan


Komponen Upah
Besar Upah
di konversi dengan beras per kg/hari
Ordonansi kuli
Jam kerja 10-12 jam dan kerja lembur
Upah pokok harian
6 Dollar/bulan hitungan konversi dengan beras tidak ditemukan
Akhir ordonansi (1937)
Jam kerja 10-12 jam dan kerja lembur
Upah pokok harian

4,37
Orde Lama (1963)
7 jam kerja dan target kerja.
Upah pokok harian ditambah Catu 11
2,6
Orde Baru (1984)
7 jam kerja dan target kerja
Upah pokok harian
3,21
Orde Reformasi (2007)
7 jam kerja dan target kerja
Upah pokok harian
3,7
Sumber : Olahan data Sekunder

Konon data ini penulis konfirmasikan melalui observasi lapangan di daerah Langkat. Di daerah Kabupaten Langkat masih banyak mantan buruh perkebunan yang masih segar igatanya tentang masa-masa buruh perkebunan jaman kolonial.
Dari hasil investigasi dengan seorang informan, sebut saja namanya Paimin (nama samaran) umur 88 tahun, generasi kedua koeli kontrak dimana ayahnya adalah buruh generasi pertama di Langkat. Ia mengaku sudah bekerja sejak umur 18 tahun tepatnya sejak tahun 1938, di perkebunan milik pemerintah Belanda yang akhirnya diserahkan pada pemerintah daerah sejak nasionalisasi menjadi perusahaan perkebunan daerah Cinta Raja Kabupaten Langkat.
Paimin mengaku menerima upah sebesar 2,5 Benggol per bulan, kalau uang Indonesia waktu itu setara dengan 6,2 rupiah. “Uang benggol waktu itu masih jarang, kalau kita memiliki 2 benggol sudah bisa belikan 1 sepeda demikian tuturnya. Jika dikonversikan dengan sen sebanyak 620 sen, ukuran beli beras adalah 1 tin = 0,6 kg seharga 5 sen. Kalau dikonversikan dengan beras 620 sen dapat membeli 124 kg beras dibagi 30 hari maka dapat rata-rata 4,1 kg upah per hari. Tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh oleh Safry Sairin di atas.
Lebih lanjut ia bercerita pada jaman orde lama, buruh yang telah bekerja selama 48 tahun itu, mengatakan buruh waktu itu lumayan sejahtera. “Lumayan enaklah dibanding sebelumnya” demikian tuturnya. Buruh kontrak statusnya diganti menjadi buruh tetap atau di kenal dengan buruh SKU (Syarat kerja Utama). Buruh yang telah memenuhi secara kualitas dan teknis menjadi buruh perkebunan modern, serta sistem pengupahan berbasis kesejateraan.
Cerita Paimin diperkuat oleh salah seorang informan lain kemino (78 tahun) di Langkat menceritakan pengertian SKU serta komponen pengupahan waktu itu, antara lain : karyawan/buruh pukul 06.00 sudah berada 30 meter dari rumah, harus tunduk pada perintah atasan, tidak boleh mengurangi jatah sembako walau hanya 1 ons, rumah/podokan harus layak, kesehatan ditanggung, sembako yaitu “catu 11” ditanggung dan alat kerja harus diberikan perusahaan perkebunan.
Meskipun upah tetap sebesar Rp 4,- sebulan pada tahun 1960-an setara dengan 2,6 kg beras per hari, tapi komponen upah lainya ada yaitu “Catu 11” terdiri dari beras, tepung, minyak goreng, minyak lampu, kacang ijo, garam ikan asin, gula, daging, susu, dan kain.
Namun demikian, fruktuasi upah buruh waktu itu dipengaruhi oleh fruktuasi harga komoditi perkebunan ditingkat internasional dan kondisi sosial politik dalam negeri. Penerimaan upah terendah diterima buruh adalah pada tahun-tahun 1946-1948, setelah perkebunan di tinggal oleh Nippon, sehingga terbelangkai dimana upah buruh setara dengan 0,38 Kg beras per hari dan pada masa peralihan orde lama ke orde baru upah buruh yaitu tahun 1968 upah buruh 0,36 kg per hari (Mubyarto, 1992).
Penerimaan upah buruh pada masa Orde Baru juga tidak membaik dibandingkan dengan masa sebelumnya, malah justru menurun dibandingkan dengan masa ordonansi kuli. Data tahun 1985, pada saat itu boleh dikatakan situasi perekonomian Indonesia tergolong stabil, malah mendapatkan penghargaan atas prestasi pembangunan pertanian yang ditandai oleh “swasembada beras”. Walaupun secara nominal upah harian waktu itu dari tahun ke tahun lebih tinggi, namun ironisnya secara riel upah buruh perkebunan waktu itu setara dengan 3,21 kg per hari.
Sistem pengupahan buruh di perusahaan perkebunan pada intinya didasarkan atas “kontrak kerja”. Kontrak kerja tersebut bisa atas dasar borongan dan harian. Dalam kontrak tersebut secara melekat sudah termuat dasar upah apakah berdasar jam kerja (hk), dasar basis/borongan dan harian, komponen upah; upah itu memuat apa saja dan besaran upah yang diterima oleh buruh.
Dasar upah bisa atas 1 hk (7 jam kerja); kerja/basis borong, dan premi overbasis (premi yang mereka dapatkan apabila melebihi target kerja) yang besarnya ditentukan sepihak oleh perkebunan. Besar upah Buruh sekarang hanya mencapai Rp. 1.200,000,- per bulan. Upah pokok dibawah UMP[1] propinsi sekitar Rp 757.000,- s/d 800.000,- plus premi[2] jika melebihi target kerja (beban kerja ditentukan oleh perusahaan) rata-rata Rp. 300.000,- S/d Rp. 400.000,- per bulan.
Jika dasar penilaian berdasarkan UMP sekitar Rp. 31.500,-/per hari maka upah riel yang diterima oleh buruh sangat jauh darijumlah kebutuhan minimal 1 orang pekerja lajang dasar perhitungasn UMP. Apabila Buruh tersebut sudah keluarga maka tampak jelas jumlah yang sebesar itu sangat tidak masuk akal baik dari segi rasional-empirik dan secara etik kemanusiaan. Atau dengan bahasa lain bahwa upah buruh yang diterima pada ordonansi kuli dari sisi pemenuhan kebutuhan pokok jauh memadai lebih baik dari pada yang diterima saat ini.

Mensiasati Upah Murah
Variabel pokok yang mempengaruhi daya beli mereka adalah pengaruh kenaikan harga BBM. Pada kenyataanya upah yang mereka peroleh relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup cenderung bertambah terutama harga sembako, listrik, transportasi terutama sepeda motor karena memang itu satu-satunya alat transportasi yang ada di perkebunan untuk keperluan belanja kebutuhan sehari-hari atau mengantar anak ke sekolah dan minyak tanah.
Pengaruh kenaikan harga BBM terutama sejak era reformasi benar-benar merupakan tekanan yang berdampak pada kesulitan kehidupan sehari-hari. Idiom yang mereka sebutkan menggambarkan kesulitan tersebut dengan istilah “sak iki opo-opo larang”. Kenaikan harga BBM menyebabkan rata-rata harga sembako terutama beras, minyak goreng dan lauk pauk meningkat, karena memang hal itu tidak tersedia di perkebunan. Dan untuk mendapatkan itu buruh harus juga membayar biaya tambahan karena harus dibebani oleh “biaya transportasi” mengingat daerah perkebunan relatif jauh dari daerah perkotaan.
Dulu para buruh perkebunan menggantungkan sumber energi untuk memasak keperluan sehari-hari dari kayu bakar, tetapi karena kayu bakar semakin hari semakin susah mencarinya seiring dengan konversi hutan ke perkebunan maka mereka saat ini harus terbebani oleh sumber alternatif seperti minyak tanah.
Untuk mensiasati tekanan upah rendah tersebut, maka buruh melakukan strategi utama untuk “bertahan hidup” dengan cara mengurangi konsumsi makan sehari-hari. Buruh biasanya membawa makanan yang biasa di sebut “bontot” yang menu sehari-hari antara lain nasi, telor ¼ bagian (1 butir dibagi empat), atau ikan asin/teri yang murah ditambah tahu/tempe goreng disambal dan sayuran. Kalau baru “gajian” paling banter nasi, ikan basah ditambah tahu/tempe goreng sama sayuran. Pada saat bulan tua menjelang gajian biasanya sudah kehabisan persediaan makanan, paling menunya nasi ditambah tahu/tempe goreng.
Dikangan buruh sangat akrab gobrol menu dengan nanya ‘nyayur apa”. Jadi yang ditanya bukannya jenis lauk-pauk yang mereka bawa dari rumah, karena memang sudah tahu sama lain, tetapi jenis sayur yang dibawa. Bagi buruh nyayur kacang panjang, kangkung adalah sayur yang “bergensi” karena untuk mendapatkanya harus dengan cara membeli. Sedangkan sayur-sayuran jenis genjer, pakis, jamur dan daun ubi adalah sayuran “biasa” karena tersedia atau ditanami sekitar rumah.
Di lingkungan perkebunan lazim juga ditemui jenis lauk pauk yang sering disebut “ikan Monja”. Ikan ini adalah jenis ikan kakap dan gurame yang sudah diambil dagingnya oleh perusahaan pengalengan ikan “Aqua Farm” untuk diekport. Kepala dan tulang-tulang yang tersisa dijual ke buruh perkebunan. Ikan tersebut kemudian dibuat sup dicampur aneka bumbu dan sayur-mayur yang merupakan menu “spesial” buruh perkebunan yang dikategorikan mewah.
[1] UMP Propinsi Tahun 2007 Rp. 757.000,-; Tahun 2008, Rp 820.000,-
[2] Premi dihitung berdasarkan kelebihan jumlah basis borong per hari . Jumlah rata-rata kg komedil TBS x harga premi yang ditetapkan perusahaan. Misalnya jumlah basis borong ditetapkan 50 TBS per hari. Sementara buruh berhasil memanen 55 TBS. Maka premi yang didapatkan adalah 5 x jumlah rata-rata berat komedil 20 kg x premi per kg.

Tidak ada komentar: