Kamis, 02 April 2009

Pengupahan di Perkebunan dalam Perspektif Sejarah

Pendahuluan
Bagi buruh upah merupakan sumber penghasilan utama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Besar kecilnya upah akan sangat menentukan kelangsungan hidup sekaligus ukuran kepuasan dan kesejahteraan mereka. Pencapaian kepuasan dan kesejahteraan mereka tercermin dari kemampuan (daya beli) upah yang mereka terima memenuhi berbagai kebutuhan mereka.
Sepanjang sejarah perkebunan di Sumatera Utara yang telah ”menyulap” hutan belantara menjadi ”lautan” gemerlap dollar belum ada perubahan struktural perbaikan nasib buruhnya. Hanya saja perlu dicatat bahwa secara konseptual masa ”orde Lama” telah meletakkan dasar pengupahan berbasis kesejahteraan, namun kurang mendapat dukungan dari pengambil keputusan kebijakan dan pengelolaan managemen perkebunan waktu itu sehingga kandas di tengah jalan.
Yang muncul adalah wajah perkebunan yaitu dualisme ekonomi sesuai dengan sinyalemen Gertz, di satu sisi tersedianya tanah dan tenaga kerja yang murah dan di sisi lain adanya penanaman modal asing yang sangat besar serta pemasaran berorientasi pada kebutuhan pasar internasional tentu dengan keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan upah yang mereka berikan pada buruh.

Pengupahan dalam Lintas Sejarah
Dahulu pada masa ordonansi koeli menurut salah satu sumber literer (Said Mohammad; 1977) praktek “koeli kontrak” mempunyai pola yang hampir sama dengan praktek Buruh Harian Lepas sekarang. Pola pengupahan berbasis perikatan kerja kontrak, awalnya secara lisan kemudian diperbaharui secara formal melalui ordinansi kuli.
Perbedaanya lebih terletak pada lamanya kontrak, jam kerja (hk) dan besar upah yang diterima dari hasil jerih payahnya. Koeli kontrak di ikat dalam kontrak selama 3,5 tahun serta dijamin oleh undang-undang, meskipun diakui bahwa ordonansi kuli waktu itu lebih ditujukan panahnya pada koeli, terutama aturan pidana yakni poenale sanctie yang di dalamnya tercantum ancaman atas penolakan untuk melakukan pekerjaan atau hukuman jika melarikan diri (Mubyarto,1992).
Pada sisi jam kerja, kuli kontrak dahulu 1 hk sekitar 10-12 jam kerja sehari ditambah kerja lembur. Dari segi penggajian besaran upah dalam ordonansi kuli, kuli kontrak manerima upah 6 dollar sebulan, dimana harus dipotong 3 dollar untuk uang makan, 1,5 dollar untuk potongan panjar yang telah diberikan perusahaan kepada buruh pada saat mengikat kontrak dan 1,5 lagi mereka cukupkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jika dibandingkan lagi pada jaman akhir ordonansi kuli sekitar tahun 1937, hasil penelitian Safry Sairin (Mubyarto, 1992) di Sumatera utara, dasar upah tetap yaitu jam kerja 10-12 jam sehari ditambah kerja lembur dan besaran upah yang diterima buruh kontrak setara dengan 4,37 kg beras per hari.




Sistem pengupahan Buruh
di Perusahaan Perkebunan
Sistem pengupahan



Masa periode


Dasar Pengupahan


Komponen Upah
Besar Upah
di konversi dengan beras per kg/hari
Ordonansi kuli
Jam kerja 10-12 jam dan kerja lembur
Upah pokok harian
6 Dollar/bulan hitungan konversi dengan beras tidak ditemukan
Akhir ordonansi (1937)
Jam kerja 10-12 jam dan kerja lembur
Upah pokok harian

4,37
Orde Lama (1963)
7 jam kerja dan target kerja.
Upah pokok harian ditambah Catu 11
2,6
Orde Baru (1984)
7 jam kerja dan target kerja
Upah pokok harian
3,21
Orde Reformasi (2007)
7 jam kerja dan target kerja
Upah pokok harian
3,7
Sumber : Olahan data Sekunder

Konon data ini penulis konfirmasikan melalui observasi lapangan di daerah Langkat. Di daerah Kabupaten Langkat masih banyak mantan buruh perkebunan yang masih segar igatanya tentang masa-masa buruh perkebunan jaman kolonial.
Dari hasil investigasi dengan seorang informan, sebut saja namanya Paimin (nama samaran) umur 88 tahun, generasi kedua koeli kontrak dimana ayahnya adalah buruh generasi pertama di Langkat. Ia mengaku sudah bekerja sejak umur 18 tahun tepatnya sejak tahun 1938, di perkebunan milik pemerintah Belanda yang akhirnya diserahkan pada pemerintah daerah sejak nasionalisasi menjadi perusahaan perkebunan daerah Cinta Raja Kabupaten Langkat.
Paimin mengaku menerima upah sebesar 2,5 Benggol per bulan, kalau uang Indonesia waktu itu setara dengan 6,2 rupiah. “Uang benggol waktu itu masih jarang, kalau kita memiliki 2 benggol sudah bisa belikan 1 sepeda demikian tuturnya. Jika dikonversikan dengan sen sebanyak 620 sen, ukuran beli beras adalah 1 tin = 0,6 kg seharga 5 sen. Kalau dikonversikan dengan beras 620 sen dapat membeli 124 kg beras dibagi 30 hari maka dapat rata-rata 4,1 kg upah per hari. Tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh oleh Safry Sairin di atas.
Lebih lanjut ia bercerita pada jaman orde lama, buruh yang telah bekerja selama 48 tahun itu, mengatakan buruh waktu itu lumayan sejahtera. “Lumayan enaklah dibanding sebelumnya” demikian tuturnya. Buruh kontrak statusnya diganti menjadi buruh tetap atau di kenal dengan buruh SKU (Syarat kerja Utama). Buruh yang telah memenuhi secara kualitas dan teknis menjadi buruh perkebunan modern, serta sistem pengupahan berbasis kesejateraan.
Cerita Paimin diperkuat oleh salah seorang informan lain kemino (78 tahun) di Langkat menceritakan pengertian SKU serta komponen pengupahan waktu itu, antara lain : karyawan/buruh pukul 06.00 sudah berada 30 meter dari rumah, harus tunduk pada perintah atasan, tidak boleh mengurangi jatah sembako walau hanya 1 ons, rumah/podokan harus layak, kesehatan ditanggung, sembako yaitu “catu 11” ditanggung dan alat kerja harus diberikan perusahaan perkebunan.
Meskipun upah tetap sebesar Rp 4,- sebulan pada tahun 1960-an setara dengan 2,6 kg beras per hari, tapi komponen upah lainya ada yaitu “Catu 11” terdiri dari beras, tepung, minyak goreng, minyak lampu, kacang ijo, garam ikan asin, gula, daging, susu, dan kain.
Namun demikian, fruktuasi upah buruh waktu itu dipengaruhi oleh fruktuasi harga komoditi perkebunan ditingkat internasional dan kondisi sosial politik dalam negeri. Penerimaan upah terendah diterima buruh adalah pada tahun-tahun 1946-1948, setelah perkebunan di tinggal oleh Nippon, sehingga terbelangkai dimana upah buruh setara dengan 0,38 Kg beras per hari dan pada masa peralihan orde lama ke orde baru upah buruh yaitu tahun 1968 upah buruh 0,36 kg per hari (Mubyarto, 1992).
Penerimaan upah buruh pada masa Orde Baru juga tidak membaik dibandingkan dengan masa sebelumnya, malah justru menurun dibandingkan dengan masa ordonansi kuli. Data tahun 1985, pada saat itu boleh dikatakan situasi perekonomian Indonesia tergolong stabil, malah mendapatkan penghargaan atas prestasi pembangunan pertanian yang ditandai oleh “swasembada beras”. Walaupun secara nominal upah harian waktu itu dari tahun ke tahun lebih tinggi, namun ironisnya secara riel upah buruh perkebunan waktu itu setara dengan 3,21 kg per hari.
Sistem pengupahan buruh di perusahaan perkebunan pada intinya didasarkan atas “kontrak kerja”. Kontrak kerja tersebut bisa atas dasar borongan dan harian. Dalam kontrak tersebut secara melekat sudah termuat dasar upah apakah berdasar jam kerja (hk), dasar basis/borongan dan harian, komponen upah; upah itu memuat apa saja dan besaran upah yang diterima oleh buruh.
Dasar upah bisa atas 1 hk (7 jam kerja); kerja/basis borong, dan premi overbasis (premi yang mereka dapatkan apabila melebihi target kerja) yang besarnya ditentukan sepihak oleh perkebunan. Besar upah Buruh sekarang hanya mencapai Rp. 1.200,000,- per bulan. Upah pokok dibawah UMP[1] propinsi sekitar Rp 757.000,- s/d 800.000,- plus premi[2] jika melebihi target kerja (beban kerja ditentukan oleh perusahaan) rata-rata Rp. 300.000,- S/d Rp. 400.000,- per bulan.
Jika dasar penilaian berdasarkan UMP sekitar Rp. 31.500,-/per hari maka upah riel yang diterima oleh buruh sangat jauh darijumlah kebutuhan minimal 1 orang pekerja lajang dasar perhitungasn UMP. Apabila Buruh tersebut sudah keluarga maka tampak jelas jumlah yang sebesar itu sangat tidak masuk akal baik dari segi rasional-empirik dan secara etik kemanusiaan. Atau dengan bahasa lain bahwa upah buruh yang diterima pada ordonansi kuli dari sisi pemenuhan kebutuhan pokok jauh memadai lebih baik dari pada yang diterima saat ini.

Mensiasati Upah Murah
Variabel pokok yang mempengaruhi daya beli mereka adalah pengaruh kenaikan harga BBM. Pada kenyataanya upah yang mereka peroleh relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup cenderung bertambah terutama harga sembako, listrik, transportasi terutama sepeda motor karena memang itu satu-satunya alat transportasi yang ada di perkebunan untuk keperluan belanja kebutuhan sehari-hari atau mengantar anak ke sekolah dan minyak tanah.
Pengaruh kenaikan harga BBM terutama sejak era reformasi benar-benar merupakan tekanan yang berdampak pada kesulitan kehidupan sehari-hari. Idiom yang mereka sebutkan menggambarkan kesulitan tersebut dengan istilah “sak iki opo-opo larang”. Kenaikan harga BBM menyebabkan rata-rata harga sembako terutama beras, minyak goreng dan lauk pauk meningkat, karena memang hal itu tidak tersedia di perkebunan. Dan untuk mendapatkan itu buruh harus juga membayar biaya tambahan karena harus dibebani oleh “biaya transportasi” mengingat daerah perkebunan relatif jauh dari daerah perkotaan.
Dulu para buruh perkebunan menggantungkan sumber energi untuk memasak keperluan sehari-hari dari kayu bakar, tetapi karena kayu bakar semakin hari semakin susah mencarinya seiring dengan konversi hutan ke perkebunan maka mereka saat ini harus terbebani oleh sumber alternatif seperti minyak tanah.
Untuk mensiasati tekanan upah rendah tersebut, maka buruh melakukan strategi utama untuk “bertahan hidup” dengan cara mengurangi konsumsi makan sehari-hari. Buruh biasanya membawa makanan yang biasa di sebut “bontot” yang menu sehari-hari antara lain nasi, telor ¼ bagian (1 butir dibagi empat), atau ikan asin/teri yang murah ditambah tahu/tempe goreng disambal dan sayuran. Kalau baru “gajian” paling banter nasi, ikan basah ditambah tahu/tempe goreng sama sayuran. Pada saat bulan tua menjelang gajian biasanya sudah kehabisan persediaan makanan, paling menunya nasi ditambah tahu/tempe goreng.
Dikangan buruh sangat akrab gobrol menu dengan nanya ‘nyayur apa”. Jadi yang ditanya bukannya jenis lauk-pauk yang mereka bawa dari rumah, karena memang sudah tahu sama lain, tetapi jenis sayur yang dibawa. Bagi buruh nyayur kacang panjang, kangkung adalah sayur yang “bergensi” karena untuk mendapatkanya harus dengan cara membeli. Sedangkan sayur-sayuran jenis genjer, pakis, jamur dan daun ubi adalah sayuran “biasa” karena tersedia atau ditanami sekitar rumah.
Di lingkungan perkebunan lazim juga ditemui jenis lauk pauk yang sering disebut “ikan Monja”. Ikan ini adalah jenis ikan kakap dan gurame yang sudah diambil dagingnya oleh perusahaan pengalengan ikan “Aqua Farm” untuk diekport. Kepala dan tulang-tulang yang tersisa dijual ke buruh perkebunan. Ikan tersebut kemudian dibuat sup dicampur aneka bumbu dan sayur-mayur yang merupakan menu “spesial” buruh perkebunan yang dikategorikan mewah.
[1] UMP Propinsi Tahun 2007 Rp. 757.000,-; Tahun 2008, Rp 820.000,-
[2] Premi dihitung berdasarkan kelebihan jumlah basis borong per hari . Jumlah rata-rata kg komedil TBS x harga premi yang ditetapkan perusahaan. Misalnya jumlah basis borong ditetapkan 50 TBS per hari. Sementara buruh berhasil memanen 55 TBS. Maka premi yang didapatkan adalah 5 x jumlah rata-rata berat komedil 20 kg x premi per kg.

Pengupahan dan Potret Hidup Buruh Kebun

Perbudakan adalah bentuk ketimpangan (kesenjangan) yang tinggi pola hubungan majikan-buruh, menempatkan buruh pada posisi lemah (subordinasi) sebagai satu-satunya pilihan hidup. Seluruh aspek kehidupan buruh dibawah kontrol majikan. Pemahaman demikian dapat dipakai sebagai pijakan untuk melukiskan bagaimana sebenarnya potret hidup buruh kebun.

Terdapat beberapa perbedaan tentang derajat kesenjangan itu, bila di lihat dari aspek kerakteristik wilayah dimana perkebunan berada dan dari segi sistem pengupahan buruh kebun.

Di perkebunan yang dekat dengan daerah perkotaan (urban) atau relatif dekat dengan kota (sub urban), akan sangat berbeda dengan daerah pedesaan, terisolir dan jauh dari pusat- pusat ekonomi, kekuasaan dan peradaban.

Perkebunan yang dekat dengan daerah urban, akan tanpak bahwa buruh berbaur dengan komunitas-komunitas di sekitar perkebunan, meskipun sebagian ada memilih di emplasmen perkebunan yang disediakan oleh perusahaan.

Dari segi interaksi dan hubungan sosial tentu akan lebih luwes dan terbuka pada perubahan-perubahan yang ada disekitarnya. Akses terhadap informasi, aspirasi dan pilihan-pilihan hidup (pekerjaan) akan lebih terbuka, sehingga buruh relatif mempunyai posisi tawar dengan pihak perusahaan perkebunan.

Kerakteristik pelapisan masyarakat relatif beragam mendorong mereka mempunyai kesempatan membanding-bandingkan pola hidup, norma dan pola anutan sosial sebagai pedoman dan kesadaran akan hidup yang lebih baik.

Banyak kasus-kasus kesadaran dan kepedulian nasib sesama buruh dalam bentuk tuntutan akan hak-hak normatif muncul dari perkebunan yang relatif dekat dengan daerah dan sub urban. Keadaan yang demikian, tentu membawa kesulitan tersendiri bagi perusahaan perkebunan.

Sedangkan bagi perkebunan yang bercorak pedesaan, terisolir dan relatif jauh dari daerah perkotaan bentuk kesejangan pola hubungan buruh-majikan akan semakin terasa.
Dari segi pengaturan ruang, akan tampak bahwa pola pemukiman dan pembangunan pemukiman buruh (emplasmen) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pola pengawasan. Emplasmen terkonsentrasi dan berada di tengah-tengah lokasi perkebunan dan terasing dari pemukiman komunitas penduduk sekitar perkebunan.

Pemukiman para tuan kebun berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Pintu masuk perkebunan dikondisikan terpusat yang dijaga oleh aparat satpam sehingga perkebunan tahu benar “orang asing” yang lalu lalang masuk ke daerah perkebunan.

Kemudian di dalam emplasmen, mandor adalah salah satu unsur penting pengawasan buruh. Mereka ditempatkan sebagai satu-satunya panutan utama bagi komunitas emplasmen dengan menyediakan rumah yang sedikit berbeda dengan rumah buruh dan berbaur bersama buruh.

Komunitas buruh mayoritas adalah suku jawa, relatif homogen dari sudut pelapisan sosial serta kelonggaran norma sosial sebagai unsur penting pengendalian sosial. Hal ini menyebabkan kerakteristik komunitas buruh perkebunan di daerah pedesaan sedikit longgar dalam hubungan sosial dan pola perilaku.

Upah Rendah dan Pengendalian Buruh
Pihak perusahaan perkebunan mempunyai berbagai cara untuk selalu memelihara kesenjangan pola hubungan itu. Cara yang paling biasa (konvensional) dan turun-temurun adalah diskriminasi sistem pengupahan. Adanya perbedaan sistem pengupahan buruh dengan sistem pengupahan pada buruh/pekerja tingkat managemen.

Pertama, perbedaan kesenjangan upah. Upah tertinggi yang mungkin di peroleh buruh kebun yang berstatus buruh tetap (SKU) hanya mencapai Rp. 1.200,000,- per bulan. Upah pokok dibawah UMP[1] propinsi sekitar Rp 757.000,- s/d 800.000,- plus premi[2] jika melebihi target kerja (beban kerja ditentukan oleh perusahaan) rata-rata Rp. 300.000,- S/d Rp. 400.000,- per bulan.

Sementara Mandor yang merupakan jejang tertinggi karir buruh sedikit lebih tinggi dari buruh biasa mendapat upah 1,5 juta s/d 2 juta perbulan.

Untuk tingkat managemen kerani, asisten kebun, kontrolir mendapat upah sekitar kisaran 4 juta sampai 15 juta, dan manager kebun 20 juta sampai 50 juta per bulan lengkap dengan fasilitas perumahan yang cukup mewah, akomodasi dan transportasi dan pelayanan kesehatan yang lebih jika merujuk pada rumah sakit rujukan mereka memelihara kesehatanya. Untuk setingkat asisten diberikan fasilitas transportasi sepeda motor dan manager kebun adalah mobil.

Kedua, menekan upah buruh melalui pembiakan dan penerapan sanksi-sanksi kerja yang ketat. Sistem pengupahan, dimana penentuan besar upah didasarkan atas 7 jam kerja dan borongan (terget kerja) secara bersamaan. Bila buruh bekerja selama 7 jam tetapi tidak mencapai target yang ditentukan sepihak oleh perkebunan maka akan dikenakan sanksi di kenal dengan istilah ”dipertujuh”. Contoh target kerja 50 janjang sawit ternyata buruh sanggup 40 jajang. Maka 40 jajang/50 jajang x 7 jam kerja = 5,6 jam kerja. Konsekwensinya 1,4 jam kerja di potong. Jika buruh digaji Rp 30.500,- per hari maka besar potongan adalah Rp 30.500,- dibagi 7 dikali 1,4 jam kerja = Rp 6.100,-

Selain itu masih ada bentuk lain pemotongan upah. Buruh pemanen misalnya, paling tidak setiap sub jenis kegiatan (pekerjaan) mulai dari sangsi administratif sampai sanksi proses kerja; memotong TBS, memotong dan mengatur pelepah, memanem buah mentah, tidak memungut berondolan mempunyai sanksi yang dikonversikan dalam bentuk uang sehingga terjadi pengurangan upah yang sedikit itu. Kesalahan kerja dijawab dengan hukuman denda bukan dengan mendidik, melatih keterampilan kerja buruh.

Kesesatan pikiran juga muncul ketika pengusaha melihat pekerjaan buruh tidak mengenal keterampilan dan masa kerja. Pada hal realitasnya pekerjaan buruh panen adalah pekerjaan yang sulit dan betapapun sederhananya pekerjaan itu ternyata membutuhkan keterampilan yang tinggi. Buruh tidak mengenal konpensasi atas dasar masa kerja. Semakin lama seseorang bekerja sudah barang tentu lebih terampil. Aspek ketidakadilan ini mereka alami dimana buruh yang baru masuk bekerja sama upahnya dengan buruh yang telah lama bekerja (terampil).

Ketiga, Tekanan upah rendah berakibat pada kesenjangan antara sumber pendapatan dengan besar pengeluaran. Pendapatan buruh hanya untuk sekedar makan juga kurang. Dengan sedikit berseloroh; upah kami untuk “dubur” saja tak cukup sementara binatang peliharaan saja seperti “anjing” dikasi makan oleh tuanya berarti kami ini lebih rendah dari pada anjing demikian pengakuan salah seorang buruh secara lugas dan reflektif. Cara mensiasati hal tersebut memaksa buruh mengurangi pola konsumsi keluarga nyaris tampa gizi, “gali lobang tutup lobang” seperti ngutang diwarung dan tidak jarang terjebak sama tengkulak atau lintah darat menyebabkan sifat ketergantungan yang tinggi pada perusahaan.

Keempat, cara lain yang juga ampuh menciptakan ketergantungan itu, telah lama berurat-berakar warisan kolonial. Akibat gaji yang rendah hanya cukup untuk tetap bertahan hidup memaksa buruh mengambil pilihan “pahit”. Misalnya buruh yang masa kerjanya sekitar 25 s/d 30 tahun, saat pensiun tidak mempunyai rumah, sementara pihak perusahaan berusaha memindahkanya. Satu-satunya cara yang mereka pilih untuk tetap tinggal diemplasmen adalah mewariskan pekerjaan sebagai buruh kepada anaknya. Inilah yang disebut “rekruitmen warisan”. Mereka tidak secara otomatis diangkat sebagai buruh tetap (SKU), tetapi ditangguhkan statusnya atau ditetapkan sebagai Burun Harian Lepas (BHL) dengan pembatasan jumlah hari kerja dibawah 20 hari mensiasati undang-undang ketenagakerjaan.

Pada saat bapaknya aktif kerja di kebun, untuk mencapai basis borong dan premi biasanya mengikutkan anaknya magang kerja yang lazim disebut kerja model “sopir-kernet”. Bapak sebagai sopir bertugas mengendalikan proses memanen tandan buah segar sementara anak, istri atau ponakan sebagai kernet bertugas merapikan pelepah dan memungut berondolan. Konsekwensi dari pola demikian maka pihak perusahaan diuntungkan karena ketersediaan buruh yang terampil dan dihargai murah, tampa terbebani biaya pelatihan kerja buruh.

Kemudian cara ditempuh perusahaan adalah pengoptimalan penggunaan buruh harian lepas (BHL) dan pembatasan atau tidak lagi memerima buruh tetap, pengalihan status buruh tetap dengan cara mengkondisikan buruh melanggar aturan kerja atau malakukan kesalahan yang berbuntut pada pemecatan dan menggangkat kembali sebagai BHL.

Pengoptimalan BHL mempermudah perusahaan mengakumulasi modal tanpa terbebani biaya produksi yang tinggi, tanggung jawab sosial perusahan dan paling terpenting adalah pemindahan perselisihan atau konflik perkebunan keluar arena perusahaan.
Selain hal yang disebutkan diatas, praktek kerja buruh juga sangat membebani mereka. Misalnya selain pembebanan biaya alat-alat kerja dipotong dari gaji mereka, juga pembiaran buruh bekerja tanpa penggunaan perlengkapan pelindung kerja. Tiada antisipasi pencegahan perlindungan kesehatan kerja.

Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan sosialisasi dan pendidikan tentang bahaya kerja seperti tertimpa buah, tertimpa pelepah dan resiko, dampak berinteraksi dengan zat-zat kimia berbahaya yang digunakan oleh buruh penyemprot, pemerikasaan kesehatan dan rotasi pekerjaan yang bekerja pada bagian yang berhubungan dengan bahan kimia berbahaya.

Penggunaan simbol-simbol “kekerasan” dalam bentuk petugas keamanan kebun seperti centeng, papan, satpan sampai mata-mata yang rekrut dari masyarakat sekitar mempertinggi derajat pengawasan. Bentuk-bentuk pengawasan terselubung seperti pemamfaatan tokoh adat, agama melalui kegiatan-kegiatan sosial sebagai alat “pengendalian” kepada buruh. “Showroom” sepeda motor masuk perkebunan, pinjaman melalui koperasi dan bentuk-bentuk hiburan malam “warung remang-remang” disekitar jalan besar menuju perkebunan, biasanya bekerjasama dengan preman-preman setempat yang acap kali menjadi bisnis “prostitusi” sampai kepada suguhan ”kyeboard” Bongkar yang bernuansa ”seronok” lengkap dengan arena perjudian sangat akrab di komunitas perkebunan kita.


Tanjung Sari, 27 Maret 2009










[1] UMP Propinsi Tahun 2007 Rp. 757.000,-; Tahun 2008, Rp 820.000,-
[2] Premi dihitung berdasarkan kelebihan jumlah basis borong per hari . Jumlah rata-rata kg komedil TBS x harga premi yang ditetapkan perusahaan. Misalnya jumlah basis borong ditetapkan 50 TBS per hari. Sementara buruh berhasil memanen 55 TBS. Maka premi yang didapatkan adalah 5 x jumlah rata-rata berat komedil 20 kg x premi per kg.

Serikat Buruh sebagai Sekolah Politik

Pentingnya Buruh Berpolitik
Substansi politik adalah kekuasaan. Politik disebut juga sebagai jantung kehidupan sosial. Politik adalah mesin kekuasaan yang memproduksi kebijakan publik dan menyalurkan keseseluruh jaringan/saluran komponen ”tubuh” kehidupan sosial terdiri atas organisasi politik formal, organisasi massa, birokrasi, media dan kehidupan keluarga.

Semua unsur kehidupan sosial itu langsung maupun tidak langsung terpengaruh dan dipengaruhi oleh kebijakan politik. Tak satu unsur kehidupan sosial pun yang steril dari padanya termasuk nasib buruh ditentukan nasibnya oleh keputusan politik di bidang perburuhan (ketenagakerjaan).

Jadi tidak ada alasan bagi buruh dan serikat untuk menghindari politik, apalagi takut berbicara politik. Ketakutan berbicara dan memahami politik adalah kondisi yang sangat disenangi regim penguasa otoriter. Misalnya Regim Orde Baru yang mendiskriminasi hak berpolitik rakyat. 32 tahun lamanya pembodohan itu berlangsung melalui penggunaan kekerasan. Rakyat dibiarkan bodoh terus dan dibutakan dari pemahaman-pemahaman politik sehingga dengan mudah dikendalikan melanggengkan kekuasaanya.

Dalam kaitan dengan itu maka semakin jauh buruh dan serikat buruh dari arena pertarungan politik (kekuasaan) maka semakin semakin jauh pula kepentingan buruh terwakili dalam kebijakan politik. Demikian sebaliknya semakin berpatisipasi buruh serikat buruh melalui partai politik yang seaspirasi denganya dalam arena percaturan politik maka semakin terbuka kesempatan memperjuangkan aspirasi, menghadirkan kepentingan buruh, dan kebijakan publik yang berpihak pada rakyat.

Berpolitik berarti aktivitas bagaimana membangun kekuatan untuk memperoleh, memelihara dan mendistribusikan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang untuk mengatur/mengendalikan atau memimpin pihak lain sesuai dengan kehendak bersama.

Berpolitik dengan baik bila seseorang terdorong oleh nilai-hilai kemanusiaan seperti anti penghisapan, penindasan dan perbudakan dan mencintai kebenaran, keadilan serta sikap keberpihakan terhadap yang lemah, tidak semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Maka berpolitik harus dibekali oleh pemahaman yang benar, keyakinan yang kuat serta kedisplinan untuk menjalankan cita-cita (ideologi).

Tidak seperti banyak politisi saat ini yang berjuang demi kepentingan kekuasaan semata, politik sebagai komoditas, politik sebagai tempat mencari uang sehingga politik menjadi segalanya dengan menghalalkan berbagai ragam cara yang kurang baik. Tampil kepermukaan wajah politik yang kejam, begis, penipuan, rekayasa, kepalsuan, janji-janji manis. Ini menandakan bahwa realitas politik kita memang sudah demikian “rusak” dan tidak lagi ditujukan untuk perbaikan hidup berbangsa dan ber-Negara melalui cara-cara yang demokratis yang menghormati kedaulatan rakyat.



Pengalamam Sejarah adalah Guru Terbaik
Pengalaman sejarah adalah ”guru terbaik” bagi buruh dan serikat buruh. Awal kebangkitan Nasional ketika itu buruh mampu membangun kekuatan melalui serikat buruh maka ia diperhitungkan sebagai pelaku yang mempengaruhi kebijakan dibidang perburuhan. SB saat itu selain berfungsi sebagai sarana memperjuangkan nasibnya dihadapan pengusaha, tetapi juga sebagai ”sekolah politik” mendidik buruh sebagai kader pejuang bangsa bersama sama dengan kaum terdidik yang berpikiran maju atau orang yang diluar buruh tetapi jiwa dan semangatnya adalah memajukan buruh.

Strategi utama SB adalah perlawanan, mengembangkan kesadaran kritis (maju) mengbongkar kondisi obyektif lingkungan terdekatnya terutama relasi kerja buruh-majikan. Lebih jauh dibentuk kembali menjadi gerakan politis melalui serangkaian kegiatan pengorganisasian, pendidikan, advokasi terutama lewat media massa dan pemogokan baik dalam lingkup perusahaan maupun antar solidaritas SB yang berpengaruh

Berlanjut pada ke pasca kemerdekaan, SB menjadi aktor penting mempengaruhi pemerintahan di bidang perburuhan termasuk melahirkan kebijakan perburuhan yang berpihak pada nasib buruh. Setidaknya tiga buah undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu undang-undang yang paling jitu dalam perlindungan terhadap buruh/pekerja pada masanya dan jauh lebih bagus dari UU Ketenagakerjaan saat ini.

Waktu itu pula merupakan zaman keemasan buruh. Di tingkat managemen perusahaan benar-benar suatu tindakan perlindungan kepada buruh. Proses penerimaan buruh terseleksi dengan baik; adanya kepastian hubungan kerja (tidak ada outsourcing) sistem penggajian berbasis kebutuhan pokok (upah pokok plus catu 11) dan pemenuhan jaminan sosial seperti fasilitas perumahan dan pelayanan kesehatan, hak berserikat dijamin serta tidak mempekerjakan anak.

Titik Balik Gerakan Buruh dan SB Sebagai Sekolah Politik
Peristiwa kelam di tahun 1965 membalikkan keadaan secara drastis. Pembungkaman gerakan buruh terjadi. Pasca 65 penghancurkan struktur dan sendi-sendi kekuatan gerakan buruh. Regim Orde Baru yang dimotori oleh ABRI dan Golkar memberangus gerakan buruh dan partai politik aliran lewat proyek depolitisasi dan massa mengambang.
Serikat buruh memang sengaja dilepaskan dari kekuatan politik manapun dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI diambil dari kader-kader Golkar. Sejak awal, jelas bahwa FBSI ditujukan untuk memberangus buruh dan menutup dunia politik bagi buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha harus ada ketenangan, tidak boleh ada konflik.
Biar bagaimanapun rejim Orde Baru berusaha dengan segala represi, siksaan dan terornya gelombang perlawanan buruh tetap tidak dapat diredam. Bahkan SPSI, yang dirancang sebagai satu alat yang secara sistematik akan menghabisi aspirasi politik buruh, ternyata kemudian dipakai oleh banyak buruh sebagai alat perlawanan. Kita tahu, Marsinah gugur di tahun 1993 ketika memperjuangkan pembentukan SPSI di pabriknya, di Sidoarjo. Gugurnya Marsinah sebagai pahlawan buruh turut mengilhami kebangkitan kembali gerakan buruh.
Kegagalan SPSI untuk berfungsi sebagai serikat buruh yang memperjuangkan nasib buruh ketika berhadapan dengan kerakusan pengusaha ini menyebabkan mulai bertumbuhnya serikat-serikat buruh alternatif. Beberapa yang patut disebut adalah SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), SBMSK (Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan) dan PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia).
Perjuangan panjang gerakan buruh Indonesia akhirnya mendapatkan titik-terangnya ketika Soeharto dipaksa turun dari singgasananya. Sekalipun reformasi, yang menyusul lengsernya penguasa Orde Baru itu, tidaklah memberi buah seperti yang diimpikan sebelumnya, reformasi ini tetaplah memberi ruang bagi bertumbuhnya gerakan buruh baru yang lebih segar dan bersemangat. Banyak serikat-serikat independen (baca: berdiri di luar serikat buruh yang bersangkutan dengan SPSI) berdiri di mana-mana. Serikat-serikat yang tadinya dipaksa bergabung dengan SPSI-pun satu-persatu mulai melepaskan diri dari tubuh induknya. Aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi buruh besar-besaran mulai menjadi bagian dari berita sehari-hari di media massa.
Tetapi persoalanya masalah perburuhan tidak terpecahkan lewat aksi pemogokan dan demonstrasi. Butuh amunisi baru lewat perjuangan politik parlementer. Maka penting membangun SB sebagai sarana dalam mendidik buruh terampil berpolitik. SB dapat berfungsi sebagai ”sekolah politik” bagi buruh. Pilihanya adalah gerakan kader, gerakan pejuang. Selain gerakan berbasis kesejahteraan juga berbasis gerakan politik yang memperjuangkan cita-cita, agregasi kepentingan dan keterwakilan politik buruh ke depan

Tantanganya adalah bahwa SB saat ini belum ada yang benar-benar memiliki ideologi perjuangan melawan ketidakadilan sosial. Yang justru muncul adalah SB ”bumper” status quo elite kekuasaan yang ditopang oleh kepentingan neo-liberal. Gagalnya perjuangan SB menolak UU No 13 Tahun 2003 suatu bukti tiadanya perlawanan yang signifikan. Selain itu, euporia perlawanan era reformasi justru menghasilkan fragmentasi di tubuh serikat buruh, rawan perpecahan karena pembentukan SB diluar kepentingan buruh. SB yang ada saat ini yang terepresentasi dalam lembaga-lembaga politik masih “semu”. Dengan kata lain, perkembangan partisipasi politik SB hanya menghasilkan buruh sebagai subyek “kedalam” SB, tetapi ketika berinteraksi dengan kekuatan lain masih menjadi objek semata.

Dampaknya adalah legalitas outsourcing dan praktek kerja Buruh Harian Lepas/borongan semakin marak mengakibatkan hak atas jaminan kerja (job sekurity) bagi buruh berkurang. Demikian juga proses marginalisasi Negara dalam proteksi terhadap warganya terabaikan bertentangan dengan semangat dan amanah UUD 45.

SB tersebut ibarat boneka, dimainkan oleh penguasa-pengusaha bertindak sebagai dalang pada drama akrobatik. Nafsu kekuasaan adalah menjinakkan kesadaran buruh. Disanalah bentuk-bentuk mobilisasi, eksploitasi dan domestikasi terus berlangsung. Gagalnya kaderisasi SB mengikis warisan feodalisme, oligarki elitis menyebabkan SB tidak memiliki kemandirian berbasis kepentingan anggota dan berbasis politik buruh serta kegagalan mengelola SB secara profesional. Kalangan buruh masih jauh untuk terlibat dalam menggalang anggota membagun serikat buruh yang kuat.

Kondisi obyektif seperti yang digambarkan di atas sangat menentukan efektivitas dan profesionalisme SB. Suatu SB tergantung pada tingkat kemampuan mereka memobilisasi SDA/SDM; kemampuan mengorganisasikan dan merekrut anggota, tingkat pemahaman mereka atas peran mereka, fungsi dan peraturan yang ada, maupun seberapa bagus mereka dapat mengkomunikasikan kebutuhan para buruh, kemampuan bernegosiasi menyelesaikan perselisihan, sampai menggunakan intrumen refressif jika dibutuhkan dalam rangka klaim atas hak mereka atas kehadiran dan keterwakilan politik buruh.

Jumat, 25 Juli 2008

Pengantar
Mempelajari pikiran Max Weber ibarat menyelam dikedalaman lautan luas dalam rangka menangkap “mutiara pemikiran” yang berharga. Begitu luasnya pemikiran Weber menjelajahi beragam tema yang dikajinya, mulai dari narasi Bangsa Yunani Kuno hingga awal masa Hindu, dari rasul-rasul Perjanjian Lama hingga pujangga Konfusius, Ekonomi perdagangan barat abad pertengahan, hingga analisis komparatif hal ikhwal munculnya konsep negara modern.
Munculnya peradaban Barat menurut Weber tidak bisa dilepaskan dari asal mula rasionalisme Barat bersumber pada Agama Jahudi Kuno (Ancient Judaism). Transformasi word-view agama Yahudi tersebut memiliki konsekwensi yang luas, termasuk munculnya “hikmah klasik” (Filsafat Yunani), tradisi humanisme di awal renaissance hingga rasionalisasi jaman pencerahan yang menjadi cikal bakal modernitas.
Kata kunci menyelami pemikiran Weber menafsirkan perubahan peradaban adalah “hegemoni sistem kepercayaan” yaitu bagaimana word-view (kepercayaan dan sistem nilai) diterjemahkan dalam kehidupan sosial yang kemudian diwejawantahkan dalam perubahan sosial. Itulah sebabnya Weber diposisikan sebagai pemikir idealis sekaligus kulturalis, dimana realitas sosial diterima dengan rasional, tetapi ralitas sosial itu dimaknai secara kultural dalam kategori normatif (tipe-tipe ideal).
Ketertarikanya membandingkan perbedaan sistem kepercayaan para wiraswastawan awal revolusi industri tidak diterima given from the beginning tetapi ia mampu menyelami melalui metode verstehen menafsirkan secara kultural sehingga realitas terpahami secara jelas. Dalam kerangka itu pulalah kehadiran karya klasik tesis “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme” diletakkan.
Berbeda dengan Durkheim dan Karl Marx. Durkheim misalnya memandang “sistem kepercayaan” (baca tradisi keagamaan) menjelaskan (erklaeren) realitas sosial bunuh diri (scuide). Marx memandang “sistem kepercayaan” berpihak pada sistem kapitalisme mengeksploitasi kaum proletar hingga ia menyatakan “agama sebagai candu”. Tetapi Weber justru mengaprosiasi “sistem kepercayaan” mempunyai kontribusi yang positif bagi pengembangan perekonomian yang maju.
Tesis etika protestan Weber juga dilihat dalam perspektif perdebatan menganai asal mula masyarakat industri modern, dan dengan tajam membantah tesis Marx tentang transisi linier dari feodalisme ke kapitalis sekaligus mengkritik tesis Durkheim dimana perubahan sosial dijelaskan melalui division labour melalui mekanisme diffrensiasi sosial dan spesialisasi tidak banyak berarti jika tidak dilengkapi dengan pemahaman yang mengakar dari fenomena kapitalisme modern.
Rasionalisme: Hilangnya pesona dunia
Bagi Weber, Etika Protestan adalah bagian “narasi besar” rasionalisme budaya Barat tentang “hilangnya pesona dunia” sebagai proses sentral analisis perubahan sosial. Hemat Weber masyarakat modern adalah masyarakat yang ditandai oleh kuatnya arus rasionalisasi di berbagai bidang. Segala sesuatu dipertanyakan dari sudut pandang rasio, bahkan hal-hal yang bersifat “sakral, misteri” tidak luput dari imperialisme rasio.
Pemisahan tegas dan lengkap akan hubungan sakral-duniawi serta konsistensi internal word-view protestan merupakan pemutusan radikal dengan agama Kristen pertengahan. Proses sekularisasi telah membangun opini bahwa takhayul dan hal-hal yang berbau mistik adalah penghalang kemajuan, sehingga tradisi keagamaan ritualistik dan pratek budaya magis, kekuatan gaib ke arah rasionalisasi. Selanjutnya proses sekularisasi mentransformasikan keyakinan agama ke ranah etika dan bentuk-bentuk ekonomi. Pada tataran ini muncul apa yang disebut Weber tujuan-tujuan rasional (purposive rationality) seperti kalkulasi sarana-tujuan dalam bentuk organisasi metodik menggantikan ekonomi tradisional (subsistensi) yang hadir dalam budaya Barat.
Kerja adalah “beruf”
Lebih khusus ajaran protestanisme tercermin dalam sekte Calvinis merupakan dasar pemikiran Weber tentang Etika Protestan. Ciri Calvinis adalah menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat, berperhitungan serta terbiasa menabung. Berbeda dengan ajaran Katolik memandang kerja sebagai suatu keharusan demi kelangsungan hidup. Calvisis memandang kerja tidak sekedar demi kelangsungan hidup, tetapi lebih jauh memandang kerja sebagai panggilan atau “beruf”. Bekerja tidak sekedar memenuhi kebutuhan, kegunaan, konsumsi atau sekedar mengisi waktu luang, tetapi kerja adalah ibadah tugas suci. Kerja tidak semata-mata memperhitungkan keuntungan material tetapi totalitas tujuan yaitu menunjukkan bahwa seseorang telah terpilih. Jadi semacam penyucian duniawi sebagai kegiatan agama demi keterjaminan akan keselamatan baik di bumi maupun di sorga, atau “asketisme keduniaan yang batiniah” suatu intensifikasi pengabdian agama dijalankan dalam kegairahan kerja sebagai gambaran peryataan dari manusia “terpilih”.
Doktrin teologis yang demikian membawa makna kultural bahwa sukses kehidupan yang dihasilkan oleh kerja metodis, kerja keras, hemat dan penabung berpengaruh pada perkembangan sosial yang menurut Weber hal ikhwal kapitalisme. Penerimaan secara sadar atas pedoman etis-metodik oleh individu, wirausahawan atau pekerja adalah kondisi bagi eksistensi kapitalisme. Kritik Teoritik, Empirik dan Etik
Sedemikian jauh Weber telah mendemontrasikan temuanya tentang bagaimana akar kapitalisme modern sebagai suatu kategori penelitian empiris yang sukar untuk dibantah. Selain dimaknai sebagai “pelengkap” analisis sebab- akibat materialisme Marx eksploitasi majikan-buruh melalui “mode produksi”
dan penjelasan Durkheim tentang “devision labour” melalui diffrensiasi dan spesialisasi, bisa juga dimaknai sebagai analisis komprehensip berdasarkan model-model multidimensional menjelaskan tipe-tipe kapitalisme modern.
Namun demikian tesis Weber bukanlah steril dari berbagai kritik. Buku tersebut tak henti-hentinya dibaca, dikritik dan diperdebatkan sejak dipublikasikan sampai saat ini baik dari perspektif teoritis, empirik dan etik.
Kritik muncul dari kelompok “strukturalis” terutama pradigma positivisme logis “garis keras”. Menurut mereka tesis Weber secara ontologis bermasalah karena menganut “a social-ontological dualist” yaitu realitas dipahami sebagai nilai-nilai atau belief dan kekuatan material sekaligus tanpa menentukan posisi teoritisnya. Bagi kaum strukturalis satu-satunya realitas sosial yang diyakini bersifat material, umum dan ekternal berwujud “fakta sosial” bukan fakta individual serta kongkrit, eksak dan akurat. Epistemologinya adalah “obyektif”, mengeliminasi realitas “subyektif” seperti nilai-nilai dan kepercayaan tidak bisa dijadikan “obyek” karena jauh dari ciri-ciri tersebut di atas. Hal itu pula yang mendasari kritik mereka tentang penggunaan istilah “word-view” dan “sistem kepervcayaan” dalam wacana Weber sering dipertukarkan tanpa memberi rincian atau pembatasan pengertian masing-masing. Weber tidak pernah tuntas membedakan sistem kepercayaan yang dimaksud, sementara dalam kehidupan sosial dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu, magic, religion dan science. Bagi mereka Realitas “obyektif” sebagai basis penyelidikan ilmiah maka mereka memahami apa yang disebut Weber word-view adalah science.
Kaitanya dengan Marxian dan Durkhemian, sangatlah sulit menerima bagaimana ide, sistem kepercayaan apalagi tidak tersirat dirumuskan dapat mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan budaya. mereka lebih condong pada paham materialis yang memberikan makna dinamika sosial yang menentukan ide-ide.
Dari segi empirik, bahwa etika keagamaan tidak selalu berhubungan dengan semangat kapitalisme. Studi yang dilakukan Taufik Abdullah (1986) menganalisis Agama Islam di Indonesia tidak sepenuhnya mendukung apa yang dikatakan Weber, meskipun dalam agama Islam memandang kerja sebagai bagian dari “ibadah”. Dengan demikian tesis Weber tidak mampu mengungkap komparasi yang lebih luas; hanya dalam konteks “kekhususan Barat” yang di dukung oleh budaya individualistik dan tidak dapat mendefenisikan serangkaian perbandingan peradaban dalam konteks dimensi sosial-kultural dan organisasional termasuk agama-agama Timur. Demikian pula dalam konteks “kearifan Timur” dimana kesuksesan dan keberhasilan bukanlah bersifat materialistik, tetapi sosial dan spritual kontra produktif dari sudut pandang “akumulasi kapital” yang menjadi basis kapitalisme. Akhirnya tesis Weber adalah hasil interpretasi budaya dalam konteks kekhususan Barat dalam menafsir “ajaran Kristen” yang pada dasarnya komunal dari pada individualistik-liberal.
Dalam perspektif etik, pendekatan Weber terkesan idealistik, cenderung mengabaikan dinamika konfliktual dalam perubahan sosial budaya. Mungkin saja hal itu berkaitan dengan latar belakang Weber yaitu dari keluarga yang mapan dekat dengan tokoh politik, intelektual masa pemerintahan Bismarck. Pada hal sebagaimana diakui Weber bahwa kelas urban menegahlah yang menjadi tulang punggung perkembangan kapitalisme. Dalam perspektif Marxian, kelas menegah termasuk anggota kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan dalam sistem feodalisme sehingga potensial untuk melakukan perubahan. Berpijak pada tataran pemikiran yang demikian perlu menganalisis struktur, karakter figur atau tokoh dibelakang doktrin dikaitkan dengan motif kekuasaan serta kondisi sosio-psikologis kelompok sosial yang tertarik pada doktrin Calvinis itu. Atau dengan perkataan lain perlu memperhitungkan dinamika ekternal, disamping kondisi psikologis individual yang menjadi tekanan tesis Weber, turut memicu langsung atau tidak langsung mendorong orang tertarik pada doktrin itu dalam memperjuangkan kepentingan mereka.

Kamis, 24 Juli 2008

DAMPAK KEHADIRAN PERKEBUNAN SAWIT BAGI KOMUNITAS MASYARAKAT PERKEBUNAN

Bagi Indonesia pengembangan industri pertanian kelapa sawit perlu mendapat perhatian serius mengingat kehadirannya bisa menjadi “berkat” ataupun sekaligus menjadi “kutuk”. Menjadi berkat bilamana perkebunan kelapa sawit berhasil dikembangkan secara terencana dengan memperhatikan kepentingan masyarakat terkait (stakeholder) perkebunan dan juga sebagai alternatif meningkatkan devisa negara. Dari segi sumbangan terhadap devisa negara terbukti bahwa selama tahun 2007 pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,7% ditopang oleh industri perkebunan kelapa sawit (Budiono,2007). Selain itu, bagi Indonesia masih terbuka peluang untuk dapat menguasai 45 sampai 50% pangsa pasar mengigat ketersediaan pemanfaatan lahan. Prospek yang sangat cerah ini juga didukung oleh kecenderungan meningkatnya permintaan pangsa pasar dunia akan produk minyak ajaib ini sebagai bahan makanan dan aneka produk kecantikan serta menjadi alternatif terbaik terhadap pemecahan masalah energi global (biofuel) yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui (multi-purposes and renewable resources/multi guna dan sumber daya alam terbarukan).
Di sisi lain, ini akan menjadi potensial sebagai kutukan bila kegiatan eksploitasi ini tidak berbasis kelestarian alam dan mampu menciptakan kesejahteraan bersama bagi bangsa umumnya dan masyarakat sekitar khususnya. Perkembangan dengan metoda pendekatan pengembangan yang tidak terencana dengan baik akan rentan pada pengrusakan hutan (deforrestry), sehingga berdampak pada ekologi bukan hanya mengganggu kehidupan manusia (global warmning) juga mahkluk biologis lainnya tumbuhan dan binatang menjadi musnah (totally degradation), apabila disertai lagi dengan praktek pengelolaan yang tidak bertanggung jawab seperti penyalahgunaan izin dan penyimpangan pemanfaatan kawasan hutan demi mendapatkan keuntungan besar dari tebangan kayu (illegal logging), perampasan tanah yang mengancam kehidupan komunitas masyarakat lokal, terjadinya penurunan ketahanan pangan sebagai akibat dari ketidakseimbangan ekosistem serta juga sebagai akibat dari konversi lahan pertanian pangan ke lahan perkebunan kelapa sawit, dimana juga distribusi hasil secara tidak merata, semua ini akan memproduksi ketimpangan sosial antara pihak pengusaha ataupun pemilik (owner)n dengan masyarakat lokal yang sewaktu-waktu akan dapat mengakibatkan kecemburuan sosial yang potensial yang dapat mengancam solidaritas nasional sedikitnya melalui konflik sosial lokal.
Dari segi hasil produksi dan pemasaran, industri pertanian kelapa sawit sangat menguntungkan dan menjanjikan bagi Indonesia. Terbukti dengan kecenderungan peningkatan total produksi dan eksport CPO. Pada tahun 2006, Indonesia mengekspor sekitar 11,95 juta ton dari keseluruhan produksi sebanyak 15,8 juta ton minyak CPO dan produk turunannya, atau sekitar 40% dari jumlah ekspor dunia dengan total nilai $US 5,8 juta. Pada tahun 2007, jumlah tersebut meningkat menjadi 16,4 juta ton. Pada tahun 2008 Indonesia diperkirakan akan melampaui Malaysia sebagai penghasil terbesar CPO: diproyeksikan akan memproduksi 18 juta ton pada saat Malaysia masih akan memproduksi sekitar 17 juta ton. Indonesia mengekport hampir dua pertiga produksi CPO-nya; ke India dan China sebagai konsumen terbesar. Pada tahun 2006 Indonesia mengekspor 2,2 juta ton ke India dan 1,8 juta ton ke China, sedangkan pada tahun 2007, ekspor untuk kedua negara itu meningkat sampai 2,1 juta ton ke Cina dan 2,5 juta ton ke belahan Eropa (Komisi Sawit Indonesia 2007). Peningkatan ini mendorong pada peningkatan sektor pajak (pajak ekspor), namun yang menjadi pertanyaan apa artinya bagi masyarakat perkebunan?, (butuh studi – ref. masyarakat desa sekitar hutan/HPH).
Produksi yang sebesar itu ditopang oleh ektensifikasi lahan perkebunan sawit yang cenderung meningkat rata-rata 14% per tahun terutama dalam 10 tahun terakhir (Susilo 1998). Awalnya perkebunan kelapa sawit didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda antara tahun 1870 dan 1930. Pada tahun 1967, awal pemerintah Orde Baru Suharto, Bank Dunia memberikan bantuan kepada Indonesia berupa investasi langsung untuk pengembangan industri perkebunan kelapa sawit melalui Badan Usaha Milik negara (BUMN). Pada permulaan tahun 1970-an harga kelapa sawit di pasar internasional terus meningkat sehingga mendorong Indonesia untuk membuka lahan luas yang tersedia bagi perkebunan. Pemerintah Indonesia mulai melihat industri perkebunan kelapa sawit sebagai roda pertumbuhan ekonomi dan sosial di wilayah pelosok dan pedesaan termasuk di Sumatera Utara sebagai sentra penting perkebunan kelapa sawit. Disatu sisi pihak BUMN Perkebunan telah melakukan program CSR namun tidak maksimal perlu ditingkatkan dan dimeratakan dan bagaimana dengan pihak perkebunan swasta asing dan nasional ?.
Secara totalitas pengembangan dan pertumbuhan tersebut bukannya tanpa masalah. Salah satu masalah terpenting adalah bahwa struktur kepemilikan perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sangat timpang, mengingat perkebunan tersebut dimiliki oleh perusahaan besar, baik milik negara maupun milik swasta yang mendominasi luas lahan dengan pangsa 66% dari seluruh luas lahan sawit di Indonesia. Laju pertumbuhan luas lahan per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% perkebunan swasta, 2,9% perkebunan negara dan 19,3% perkebunan rakyat (Susilo 1998). Dalam rangka mendapatkan lahan yang dibutuhkan, maka cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun untuk meyakinkan publik dan tanggung jawab sosial perlu diteliti lebih jauh karena diduga banyak perampasan hak-hak ulayat masyarakat disatu sisi dan sekaligus melakukan re-evaluasi sejauh mana adanya tanggungjaawab sosial perkebunan swasta serta sekaligus mendorong mereka agar ikut serta berpartisipasi secara aktip misalnya: melalui program inti-plasma sebagai jalan terbaik untuk pengembalian lahan masyarakat.
Hingga saat ini, maka sub-sektor perkebunan (kelapa sawit, kakao, karet, dll-nya) masih tetap menjadi primadona perekonomian propinsi Sumatera Utara. Kurang lebih 1.500.000 hektar areal perkebunan dikelola dalam bentuk perkebunan rakyat, Negara (BUMN), perusahaan swasta asing dan swasta nasional. Beberapa komoditi perkebunan yang terpenting sebagai andalan Sumatera Utara adalah seperti , kelapa sawit, karet, coklat, teh, kopi, cengkeh, kelapa, kayu manis, dan tembakau.
Berdasarkan Data Statistik Sumut (2005), luas lahan yang sudah digunakan untuk areal perkebunan Sawit sekitar 328.508 ha dengan produksi rata-rata 3,3 juta ton per tahun. Dari luas tersebut, 261.501 ha (79,6%) dikelola oleh Perusahaan Perkebunan besar antara lain Perusahaan Negara (PTPN), Perkebunan Swasta Asing dan Perkebunan Swasta Nasional terdiri dari sekitar 70 perusahaan perkebunan. Sedangkan sisanya 67.002 Ha (20,4%) milik perkebunan rakyat (diperlukan studi yang lebih tajam dan akurat untuk meningkatkan sektor perkebuan rakyat ini berkaitan dengan masyarakat sekitar perkebuan, terutama petani dan buruh diwilayah dataran tinggi dan petani, buruh dan nelayan diwilayah pantai timur dan barat).
Perkebunan terbesar swasta nasional dimiliki oleh Bakrie Group yaitu PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP) memiliki luas areal lebih 10 ribu hektar, terbagi atas 6 estate . Perkebunan besar lainya dikelola oleh PTPN, Perkebunan Swasta Asing seperti Lonsum, Socfindo, UKINDO, dan Asian Agri kurang lebih luas areal sekitar 3.000 s/d 10.000 ha. Selebihnya perusahaan menengah dan kecil milik swasta Nasional, koperasi dan pemda setempat luas areal berkisar antara 500 – 3000 Ha.
Aspek lain adalah bahwa dampak kehadiran industri perkebunan kelapa sawit bagi perkembangan ekonomi regional membutuhkan kajian tersendiri. Bahwa industri perkebunan kelapa sawit seharusnya semakin mempercepat perubahan sosial ekonomi komunitas masyarakat sekitar (pendekatan teori akselerasi). Mampu mendobrak dan mendinamisasi ketertinggalan menjadi kemajuan pembangunan wilayah. Artinya sektor usaha ini “diyakini” punya pengaruh yang signifikan untuk menstimulasi perkembangan wilayah baik dilihat dari infrastuktur daerah, pola pemukiman sub-urban dan dinamika sosial baru seperti membuka peluang ekonomi baru sehingga mendorong akses masyarakat sekitar pada kehidupan yang lebih baik, namun hal ini masih sangat diragukan baik dilihat dari realita kehidupan masyarakat sekitar perkebunan maupun komunitas tertentu didalam perkebunan seperti kelompok buruh tetap dan tidak tetap (praduga keadaan ekploitatip harus dirobah menjadi manusiawi dengan ukuran dan pengukuran yang jelas dan standar/measure and measurement theory).
Namun karena fakta dilapangan tanpak jauh dari harapan tersebut. Maka Perusahaan-perusahaan besar perkebunan sawit masih berbasis eksploitasi dan praktek diskriminatif. Kebijakan negara menyangkut pembangunan pertanian khususnya pertanian perkebunan kelapa sawit masih berfihak pada kepentingan modal. Pengembangan perkelapasawitan di Indonesia umumnya, khususnya di Sumatera Utara masih berbasis pertimbangan ekonomis semata, tanpa mengkaji dampak sosial ekonomi politik terhadap masyarakat sekitar. Karena itu hakekat perkebunan lebih dilihat sebagai suatu “production system” dari pada “social system” dengan mengabaikan pengkajian perkebunan kelapa sawit secara sistemik, baik sebagai organisasi produksi komersial dalam hubungannya dengan pasar internasional maupun dimensi internal di dalam daerah dimana perkebunan itu berada.
Akibatnya gejala yang muncul dipermukaan saat ini adalah : pertama, konflik vertikal kepemilikan lahan. Di Sumatera Utara, hampir semua perusahaan perkebunan besar baik milik negara, swasta asing dan swasta nasional pernah dan masih terus ada bersinggungan konflik lahan dengan masyarakat lokal. Sering muncul kasus-kasus di mana lahan yang di-identifikasi untuk produksi kelapa sawit ternyata adalah milik masyarakat, baik yang dimiliki secara pribadi atau secara komunitas (tanah ulayat). Atau lahan tersebut sebelumnya pernah diolah oleh penduduk setempat untuk menanami aneka tanaman muda dan sayur-sayuran, atau berupa lahan yang berhutan di mana masyarakat setempat lebih mengiginkan tetap dalam kondisi berhutan sebagai sumber mata pencaharian memenuhi kebutuhan subsistensi kehidupan mereka. Tetapi, kebutuhan masyarakat setempat jarang sekali mendapatkan perhatian ketika izin pemanfaatan lahan untuk kepentingan kelapa sawit dikeluarkan. Masalah ini diperumit oleh karena kenyataannya kebanyakan masyarakat sekitar tidak memiliki sertifikat tanah untuk membuktikan kepemilikan tanah tersebut, yang berakibat kemudian masyarakat tidak menerima konpensasi atas tanah yang diambil oleh perkebunan. Selain itu, ada juga kasus-kasus bahwa lahan perkebunan telah diperluas di luar batas izin yang dimiliki (hal ini sangat penting untuk dikaji karena luasan HGU-nya sering tidak sama dengan luas realita dilapangan), dan bahkan ada yang merambah ke dalam taman nasional dan juga ke dalam lahan masyarakat atau komunitas; kedua, kehadiran perkebunan bisa jadi menjadi konflik horizontal (antar masyarakat) karena ada yang pro-pengusaha dan anti pengusaha serta konflik vertikal (kelembagaan/pemerintahan) yang sangat mendukung kehadiran inverstor dengan tidak mengindahkan aturan-aturan yang ada; ketiga, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit sering berlangsung tanpa diketahui banyak pihak, sehingga sering terlambat merespon atau melakukan sanggahan dan memperjuangkan dalam mencegah pemberian izin atau berjuang mendapatkan kompensasi; keempat, keuntungan ekonomis produksi kelapa sawit tidak didistribusikan secara merata. Pengupahan diperkebunan misalnya sangat diskriminatif tercermin dari kesenjangan pengupahan kepada pihak managemen dengan pihak buruh perkebunan, pemberian upah dibawah UMP propinsi, pelonggaran jaminan kerja dan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja buruh akibat perubahan organisasi produksi perkebunan yang lebih mengutamakan outsourcing dan buruh harian lepas dari pada buruh tetap (SKU) sehingga para buruh perkebunan rentan terpelosok ke jurang kemiskinan dan Kelima, pengelolaan yang luas oleh suatu perusahaan perkebunan kelapa sawit, merubah dinamika perekonomian lokal. Banyak petani yang lahanya terbatas terpelosok dalam proses pemiskinan. Petani yang sebelumnya pertani subsistensi dengan bercocok tanam padi terpaksa menkonversikan lahanya dengan menanami kelapa sawit, sementara dari aspek modal dan pemasaran mereka sangat terbatas sehingga kualitas produksi rendah dimana hasil tidak sebanding dengan pengeluaran. Dalam posisi yang demikian banyak petani menjual lahanya ke pihak perkebunan, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan atau buruh. Kehidupan komunitas perkebunan yang berada di sekitar perkebunan sangat tergantung pada ekonomi buruh yang digaji kecil, sementara itu untuk perdagangan dan jasa berkaitan dengan efek berantai kehadiran perkebunan, baik sektor hulu dan hilir lebih dikuasai oleh pemodal besar umumnya dari daerah perkotaan.

Pembonsaian Manusia di Perkebunan

Kekerasan “terselubung” oleh pihak perkebunan dengan cara pembiaran buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan perlengkapan keselamatan dan kesehatankerja kerja (K3). Kisah buruh penyemprotan sawit misalnya adalah kasus representasi bagaimana “pembonsaian buruh” secara sistematis terjadi. Tidak ada antisipasi pencegahan keracunan dan perlindungan kesehatan buruh. Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan pendidikan tentang bahaya, resiko dan dampak zat-zat kimia yang digunakan, melakukan pemerikasaan kesehatan buruh kepada dokter ahli, dan merotasi buruh yang bekerja di bagian yang berhubungan dengan bahan kimia berbahaya. Sementara itu dari sisi ekonomi, buruh tidak mampu membeli makanan bergizi untuk mengganti sel-sel tubuh mereka yang keracunan karena upah yang mereka terima sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum setiap hari.

Sejarah Keselamatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (selanjutnya di singkat K-3) di Indonesia mendapat perhatian serius pasca kerja rodi dan ponale santie. Para pendiri Bangsa kita sadar betul pengalaman perburuhan kolonialis berbasis penghisapan, jam kerja tinggi, sanksi kerja dalam bentuk kriminalisasi dan tiada keamanan kerja . Wacana industrialisasi sebagai jawaban memperbaiki tarap hidup masyrakat waktu itu suatu hal yang tidak terhindarkan, sementara warga negara kebanyakan tidak punya alat produksi selain menjual tenaga guna mendapatkan upah untuk hidup. Inilah mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 45, “pekerjaan”, “penghidupan yang layak”, hak berorganisasi, sebagai tanggung jawab protektif negara terhadap buruh.

Prinsip yang dianut oleh undang-undang dasar adalah proteksi terhadap keamanan kerja bagi buruh (job security). Dengan demikian, selain upah persoalan keselamatan dan kesehatan kerja menjadi hak dasar, hak asasi manusia; setiap buruh memperoleh hak yang sama untuk hidup dan mendapat pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.

Tetapi realitas tidak demikian. Inti pokok dari UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan justru spirit utamanya adalah bagaimana merancang mekanisme pasar bekerja secara sempurna dalam konteks perburuhan yang sering disebut pasar buruh yang fleksibel. Dengan dilegalkanya sistem itu, jelas menghapus nuansa protektif dalam hukum perburuhan, sekaligus memindahkan konflik laten buruh-majikan keluar dari arena perusahaan melalui praktek hubungan kerja seperti outsourcing dan buruh harian lepas (BHL) menjadi trendy di berbagai perusahaan.

Demikian juga turunan undang-undang menyangkut job security terutama berbagai peraturan tentang K3 menjadi tidak relevan, karena hanya sebagi acuan normatif saja rumusannya sempurna; tetapi sangat bias, tidak berbasis praktek dilapangan. Sesempurna apapun undang-undang mengenai K3 seperti UU No 1 tahun 1970 tentang kecelakaan kerja, UU No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan Sistem Managemen K3 (SMK-3) terimplementasi dalam managemen perusahaan tidak punya makna apa-apa bagi buruh, jika pada akhirnya secara massal perusahaan menerapkan praktek outsourcing dan buruh harian lepas.

Selain hukum perburuhan yang lemah, juga tidak ditunjang oleh peraturan-peraturan pelaksanaan, kebijakan dan tugas-tugas operasional yang terdefenisikan secara jelas serta otoritas dan kompetensi pengawas ketenagakerjaan mendukung upaya memperbaiki tingkat keselamatan dan kesehatan kerja. Ditenggarai upaya pengawasan mandul oleh karena tidak didukung oleh profesionalisme dan keterbatasan anggaran instansi terkait mengawasi praktek pengusaha yang tidak mematuhi aturan-aturan dan code etik berkaitan dengan K-3.

Implikasinya, pihak perusahaan berusaha menghindar dari kewajiban seperti sosialisasi peraturan kerja berkaitan dengan K-3, implementasi program yang mengurangi bahaya kerja (resiko kerja) serta implementasi penanggulangan K-3 yang tersistem dalam perusahaan, terkesan simbolis belaka. Sikap perusahaan masih memiliki persepsi yang keliru, semata-mata dilihat dari perspektif biaya membebani perusahaan. Pada hal pengeluaran biaya untuk sosialisasi, pembelian alat kerja, pelindung kerja serta pelatihan yang bermuara pada peningkatan keterampilan kerja dapat menekan angka kecelakaan kerja yang berakibat berkurangnya biaya untuk penanggulangan kecelakaan kerja.


Kasus Kecelakaan Kerja di Perkebunan
Hasil studi KPS menunjukkan bahwa kecelakaan kerja diperkebunan terkait dengan bentuk operasi kerja di perkebunan mulai dari proses replanting, penanaman, pemeliharaan tanaman sampai proses produksi. Temuan penting menunjukkan bidang kerja yang paling rentan terhadap resiko kecelakaan adalah buruh bagian pemanen, bagian penyemprotan hama dan pemupukan.

Fakta dilapangan dari 6 perkebunan besar disumatera utara, ditemukan 47 kasus kecelakaan terindentifikasi selama 4 bulan terakhir (Jan sampai April 2008). 47 kasus tersebut, 32 (68,08%) korban diantaranya dikategorikan kecelakaan ringan seperti tertusuk duri sawit, ketimpa pelepah, gigitan serangga berbisa dan keseleo akibat jalan licin. 11 (23,40%) cacat kebanyakan cacat mata (mengecil, mengalami rabun bahkan buta) kena tatal (getah karet) yang sudah terkontaminasi dengan zat kimiawi, kotoran berondolan sawit dan tertimpa tandan buah segar, tubuh terkena bahan (TBS) kimiawi beracun akibat tingginya interaksi pada saat penyemprotan dan 2 orang buruh (4,25) jiwanya melayang, 1 orang kena sengatan listrik dan 1 orang lagi tertimpa tandan buah segar waktu memanen.

Kerakteristik penyebab umum kecelakaan antara lain tempat kerja (ancak) yang tidak rata (berbukit), pohon sawit/karet yang bengkok, pohon karet/sawit yang relatif tinggi, bersemak lebat, ancak berlobang dapat dikategorikan lingkungan kerja yang tidak aman dalam arti resiko tinggi terhadap kecelakaan. Sedangkan penyebab terperinci, berdasarkan analisis kronologis diakibatkan oleh kelalaian buruh, kekurang terampilan, alat kerja serta pelindung kerja yang tidak cukup dan mandor pengawas tidak punya standart operasi pengawasan, serta tidak ada pengawasan sewaktu buruh bekerja dapat dikategorikan perilaku yang tidak aman. Penyebab pokok adalah perusahaan mengabaikan tanggung jawab K-3;tidak mensosialisasikan keselamatan kerja kepada buruh menyebabkan rendahnya kesadaran buruh atas keselamatan kerja, tidak pernah melatih pekerja terampil manjaga keselamatan kerja, upah yang rendah, pekerja memacu kerja demi premi sehingga mengabaikan aspek keselamatan kerja, serta target kerja (beban kerja) tinggi tidak diimbangi oleh pola makan (gizi) yang cukup.

Pelayanan Keselamatan dan Kesehatan kerja
Dilingkungan perusahaan perkebunan Sumatera Utara, kurang memperhatikan tanggung jawab sosialisasi memberikan informasi yang cukup bagi buruh tentang resiko kecelakaan kerja, mengakibatkan banyak buruh belum mengerti K-3, termasuk hak dan kewajiban pemerintah, perusahaan dan buruh. Persepsi yang justru terbangun adalah persepsi negatif mengidentikkan Kecelakaan apabila korban cacat atau meninggal dan hal tersebut dianggap sebagai resiko atau takdir yang mahakuasa.

Pemberian alat kerja dan pelindung kerja yang tidak cukup memenuhi standart keselamatan kerja seperti kaca mata yang seharusnya diwajibkan dipakai buruh dan kacamata tersebut tidak standart atau tidak menutupi permukaan mata, kalau digunakan mudah terkena embun menyebabkan penglihatan kabur. Akibatnya buruh memilih tidak menggunakan karena mengganggu aktivitas kerja. Demikian juga pemeliharaan alat kerja dan alat pelindung menjadi tanggung jawab buruh. Bila terjadi kerusakan, pihak perusahaan tidak mengganti tetapi dibebani buruh menggantinya melalui mekanisme potong upah setiap bulannya.

Pihak perusahaan juga memaksa buruh bekerja bila cuaca buruk seperti hujan lebat, tanpa menyediakan tempat berteduh dan berlindung di tempat kerja.

Pelayanan yang buruk dalam pemeriksaan kesehatan maupun saat buruh mengalami kecelakaan kerja seperti birokrasi yang berbelit-belit. Tidak mudah buruh mengakses pelayanan yang baik. Selain kendala administratif seperti duluan mendapatkan izin berobat, sementara jarak tempuh dari pondokan atau ancak ke pusat pelayanan kesehatan (biasanya dekat emplasmen) cukup jauh ditempuh dengan jalan kaki, jalan bebatuan dan tanah licin menjadi kendala tersendiri. Rendahnya kualitas pelayanan di klinik, rata-rata melayani penyakit ringan dengan jenis obat sama seperti di toko obat biasa.

Bagi buruh yang mengalami kecelakaan kerja di ancak, pihak perusahaan tidak menyediakan P3K dan pertolongan pertama. Sering buruh harus ke poliklinik yang cukup jauh hanya untuk mendapatkan obat merah dan pembalut luka suatu ironi tersendiri ditengah tumpukan dolar hasil keuntungan perkebunan.

Pada tingkat rehabilitasi pelayanan juga tidak membaik. Seperti hak untuk mengetahui apakah mereka terdaftar atau didaftarkan menjadi peserta jamsostek. Sementara untuk buruh tetap (SKU), pihak perusahaan memotong berbagai iuran termasuk iuran jamsostek.
Adanya praktek “penipuan” biaya iuran/santunan Jamsostek. Sebagai peserta Jamsostek, sesuai dengan praturan perundang-undangan buruh hanya dikenai biaya sebesar 2% dari upah, karena hanya menanggung program Jaminan Hari Tua (JHT), sedangkan Jaminan Kematian (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) ditanggung oleh perusahaan tempat berkerja sebesar 3,7%. Tapi kenyataannya, iuran yang harus dibayar buruh lebih dari 2%.

Aspek lain bahwa tidak semua program wajib yang disediakan oleh Jamsostek dinikmati oleh buruh. Pada hal jumlah iuran yang dibayarkan sudah mencakup seluruh program, sehingga saat digunakan buruh sering mendapat penolakan dari klinik, rumah sakit atau penyedia pelayanan kesehatan maupun perusahaan.

Selain itu, ada kecenderungan walaupun telah menjadi peserta Jamsostek ternyata tidak menjamim buruh langsung mendapatkan pelayanan. Kasus seperti ini sering terjadi ketika buruh mengalami kecelakaan kerja sehingga membutuhkan perawatan.

Proses pengurusan yang berbelit-belit dari pihak perusahaan perkebunan dan Jamsostek sendiri sering terjadi sehingga buruh tidak bisa memanfaatkan layanan tersebut. Dalam banyak kasus, buruh sendiri sering akhirnya membiayai sendiri atau mencari “calo” atau orang dalam agar dapat dilayani secara cepat. Karena memelihara praktek pencaloan klaim santunan mengakibatkan kerugian material dan inmaterial bagi buruh yang mengalami kecelakaan.

Akibat kondisi yang demikian banyak buruh yang mengambil jalan pintas mencari pengobatan dari luar klinik dan rumah sakit seperti ke bidan bahkan ke “dukun” karena biayanya murah dan ditanggung buruh sendiri. Selain itu, akibat tekanan ekonomi (upah rendah) tidak memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan keselamatan kerja seperti kerja tanpa memakai/menggunakan alat-alat pelindung kerja yang memadai, kurang menyadari resiko-resiko lain seperti serangan binatang/serangga berbisa, dan dampak terhadap kesehatan akibat frekwensi berinteraksi dengan bahan-bahan kimia beracun suatu langgam kerja buruh perkebunan saat ini.