Jumat, 25 Juli 2008

Pengantar
Mempelajari pikiran Max Weber ibarat menyelam dikedalaman lautan luas dalam rangka menangkap “mutiara pemikiran” yang berharga. Begitu luasnya pemikiran Weber menjelajahi beragam tema yang dikajinya, mulai dari narasi Bangsa Yunani Kuno hingga awal masa Hindu, dari rasul-rasul Perjanjian Lama hingga pujangga Konfusius, Ekonomi perdagangan barat abad pertengahan, hingga analisis komparatif hal ikhwal munculnya konsep negara modern.
Munculnya peradaban Barat menurut Weber tidak bisa dilepaskan dari asal mula rasionalisme Barat bersumber pada Agama Jahudi Kuno (Ancient Judaism). Transformasi word-view agama Yahudi tersebut memiliki konsekwensi yang luas, termasuk munculnya “hikmah klasik” (Filsafat Yunani), tradisi humanisme di awal renaissance hingga rasionalisasi jaman pencerahan yang menjadi cikal bakal modernitas.
Kata kunci menyelami pemikiran Weber menafsirkan perubahan peradaban adalah “hegemoni sistem kepercayaan” yaitu bagaimana word-view (kepercayaan dan sistem nilai) diterjemahkan dalam kehidupan sosial yang kemudian diwejawantahkan dalam perubahan sosial. Itulah sebabnya Weber diposisikan sebagai pemikir idealis sekaligus kulturalis, dimana realitas sosial diterima dengan rasional, tetapi ralitas sosial itu dimaknai secara kultural dalam kategori normatif (tipe-tipe ideal).
Ketertarikanya membandingkan perbedaan sistem kepercayaan para wiraswastawan awal revolusi industri tidak diterima given from the beginning tetapi ia mampu menyelami melalui metode verstehen menafsirkan secara kultural sehingga realitas terpahami secara jelas. Dalam kerangka itu pulalah kehadiran karya klasik tesis “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme” diletakkan.
Berbeda dengan Durkheim dan Karl Marx. Durkheim misalnya memandang “sistem kepercayaan” (baca tradisi keagamaan) menjelaskan (erklaeren) realitas sosial bunuh diri (scuide). Marx memandang “sistem kepercayaan” berpihak pada sistem kapitalisme mengeksploitasi kaum proletar hingga ia menyatakan “agama sebagai candu”. Tetapi Weber justru mengaprosiasi “sistem kepercayaan” mempunyai kontribusi yang positif bagi pengembangan perekonomian yang maju.
Tesis etika protestan Weber juga dilihat dalam perspektif perdebatan menganai asal mula masyarakat industri modern, dan dengan tajam membantah tesis Marx tentang transisi linier dari feodalisme ke kapitalis sekaligus mengkritik tesis Durkheim dimana perubahan sosial dijelaskan melalui division labour melalui mekanisme diffrensiasi sosial dan spesialisasi tidak banyak berarti jika tidak dilengkapi dengan pemahaman yang mengakar dari fenomena kapitalisme modern.
Rasionalisme: Hilangnya pesona dunia
Bagi Weber, Etika Protestan adalah bagian “narasi besar” rasionalisme budaya Barat tentang “hilangnya pesona dunia” sebagai proses sentral analisis perubahan sosial. Hemat Weber masyarakat modern adalah masyarakat yang ditandai oleh kuatnya arus rasionalisasi di berbagai bidang. Segala sesuatu dipertanyakan dari sudut pandang rasio, bahkan hal-hal yang bersifat “sakral, misteri” tidak luput dari imperialisme rasio.
Pemisahan tegas dan lengkap akan hubungan sakral-duniawi serta konsistensi internal word-view protestan merupakan pemutusan radikal dengan agama Kristen pertengahan. Proses sekularisasi telah membangun opini bahwa takhayul dan hal-hal yang berbau mistik adalah penghalang kemajuan, sehingga tradisi keagamaan ritualistik dan pratek budaya magis, kekuatan gaib ke arah rasionalisasi. Selanjutnya proses sekularisasi mentransformasikan keyakinan agama ke ranah etika dan bentuk-bentuk ekonomi. Pada tataran ini muncul apa yang disebut Weber tujuan-tujuan rasional (purposive rationality) seperti kalkulasi sarana-tujuan dalam bentuk organisasi metodik menggantikan ekonomi tradisional (subsistensi) yang hadir dalam budaya Barat.
Kerja adalah “beruf”
Lebih khusus ajaran protestanisme tercermin dalam sekte Calvinis merupakan dasar pemikiran Weber tentang Etika Protestan. Ciri Calvinis adalah menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat, berperhitungan serta terbiasa menabung. Berbeda dengan ajaran Katolik memandang kerja sebagai suatu keharusan demi kelangsungan hidup. Calvisis memandang kerja tidak sekedar demi kelangsungan hidup, tetapi lebih jauh memandang kerja sebagai panggilan atau “beruf”. Bekerja tidak sekedar memenuhi kebutuhan, kegunaan, konsumsi atau sekedar mengisi waktu luang, tetapi kerja adalah ibadah tugas suci. Kerja tidak semata-mata memperhitungkan keuntungan material tetapi totalitas tujuan yaitu menunjukkan bahwa seseorang telah terpilih. Jadi semacam penyucian duniawi sebagai kegiatan agama demi keterjaminan akan keselamatan baik di bumi maupun di sorga, atau “asketisme keduniaan yang batiniah” suatu intensifikasi pengabdian agama dijalankan dalam kegairahan kerja sebagai gambaran peryataan dari manusia “terpilih”.
Doktrin teologis yang demikian membawa makna kultural bahwa sukses kehidupan yang dihasilkan oleh kerja metodis, kerja keras, hemat dan penabung berpengaruh pada perkembangan sosial yang menurut Weber hal ikhwal kapitalisme. Penerimaan secara sadar atas pedoman etis-metodik oleh individu, wirausahawan atau pekerja adalah kondisi bagi eksistensi kapitalisme. Kritik Teoritik, Empirik dan Etik
Sedemikian jauh Weber telah mendemontrasikan temuanya tentang bagaimana akar kapitalisme modern sebagai suatu kategori penelitian empiris yang sukar untuk dibantah. Selain dimaknai sebagai “pelengkap” analisis sebab- akibat materialisme Marx eksploitasi majikan-buruh melalui “mode produksi”
dan penjelasan Durkheim tentang “devision labour” melalui diffrensiasi dan spesialisasi, bisa juga dimaknai sebagai analisis komprehensip berdasarkan model-model multidimensional menjelaskan tipe-tipe kapitalisme modern.
Namun demikian tesis Weber bukanlah steril dari berbagai kritik. Buku tersebut tak henti-hentinya dibaca, dikritik dan diperdebatkan sejak dipublikasikan sampai saat ini baik dari perspektif teoritis, empirik dan etik.
Kritik muncul dari kelompok “strukturalis” terutama pradigma positivisme logis “garis keras”. Menurut mereka tesis Weber secara ontologis bermasalah karena menganut “a social-ontological dualist” yaitu realitas dipahami sebagai nilai-nilai atau belief dan kekuatan material sekaligus tanpa menentukan posisi teoritisnya. Bagi kaum strukturalis satu-satunya realitas sosial yang diyakini bersifat material, umum dan ekternal berwujud “fakta sosial” bukan fakta individual serta kongkrit, eksak dan akurat. Epistemologinya adalah “obyektif”, mengeliminasi realitas “subyektif” seperti nilai-nilai dan kepercayaan tidak bisa dijadikan “obyek” karena jauh dari ciri-ciri tersebut di atas. Hal itu pula yang mendasari kritik mereka tentang penggunaan istilah “word-view” dan “sistem kepervcayaan” dalam wacana Weber sering dipertukarkan tanpa memberi rincian atau pembatasan pengertian masing-masing. Weber tidak pernah tuntas membedakan sistem kepercayaan yang dimaksud, sementara dalam kehidupan sosial dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu, magic, religion dan science. Bagi mereka Realitas “obyektif” sebagai basis penyelidikan ilmiah maka mereka memahami apa yang disebut Weber word-view adalah science.
Kaitanya dengan Marxian dan Durkhemian, sangatlah sulit menerima bagaimana ide, sistem kepercayaan apalagi tidak tersirat dirumuskan dapat mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan budaya. mereka lebih condong pada paham materialis yang memberikan makna dinamika sosial yang menentukan ide-ide.
Dari segi empirik, bahwa etika keagamaan tidak selalu berhubungan dengan semangat kapitalisme. Studi yang dilakukan Taufik Abdullah (1986) menganalisis Agama Islam di Indonesia tidak sepenuhnya mendukung apa yang dikatakan Weber, meskipun dalam agama Islam memandang kerja sebagai bagian dari “ibadah”. Dengan demikian tesis Weber tidak mampu mengungkap komparasi yang lebih luas; hanya dalam konteks “kekhususan Barat” yang di dukung oleh budaya individualistik dan tidak dapat mendefenisikan serangkaian perbandingan peradaban dalam konteks dimensi sosial-kultural dan organisasional termasuk agama-agama Timur. Demikian pula dalam konteks “kearifan Timur” dimana kesuksesan dan keberhasilan bukanlah bersifat materialistik, tetapi sosial dan spritual kontra produktif dari sudut pandang “akumulasi kapital” yang menjadi basis kapitalisme. Akhirnya tesis Weber adalah hasil interpretasi budaya dalam konteks kekhususan Barat dalam menafsir “ajaran Kristen” yang pada dasarnya komunal dari pada individualistik-liberal.
Dalam perspektif etik, pendekatan Weber terkesan idealistik, cenderung mengabaikan dinamika konfliktual dalam perubahan sosial budaya. Mungkin saja hal itu berkaitan dengan latar belakang Weber yaitu dari keluarga yang mapan dekat dengan tokoh politik, intelektual masa pemerintahan Bismarck. Pada hal sebagaimana diakui Weber bahwa kelas urban menegahlah yang menjadi tulang punggung perkembangan kapitalisme. Dalam perspektif Marxian, kelas menegah termasuk anggota kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan dalam sistem feodalisme sehingga potensial untuk melakukan perubahan. Berpijak pada tataran pemikiran yang demikian perlu menganalisis struktur, karakter figur atau tokoh dibelakang doktrin dikaitkan dengan motif kekuasaan serta kondisi sosio-psikologis kelompok sosial yang tertarik pada doktrin Calvinis itu. Atau dengan perkataan lain perlu memperhitungkan dinamika ekternal, disamping kondisi psikologis individual yang menjadi tekanan tesis Weber, turut memicu langsung atau tidak langsung mendorong orang tertarik pada doktrin itu dalam memperjuangkan kepentingan mereka.

Tidak ada komentar: