Kamis, 24 Juli 2008

DAMPAK KEHADIRAN PERKEBUNAN SAWIT BAGI KOMUNITAS MASYARAKAT PERKEBUNAN

Bagi Indonesia pengembangan industri pertanian kelapa sawit perlu mendapat perhatian serius mengingat kehadirannya bisa menjadi “berkat” ataupun sekaligus menjadi “kutuk”. Menjadi berkat bilamana perkebunan kelapa sawit berhasil dikembangkan secara terencana dengan memperhatikan kepentingan masyarakat terkait (stakeholder) perkebunan dan juga sebagai alternatif meningkatkan devisa negara. Dari segi sumbangan terhadap devisa negara terbukti bahwa selama tahun 2007 pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,7% ditopang oleh industri perkebunan kelapa sawit (Budiono,2007). Selain itu, bagi Indonesia masih terbuka peluang untuk dapat menguasai 45 sampai 50% pangsa pasar mengigat ketersediaan pemanfaatan lahan. Prospek yang sangat cerah ini juga didukung oleh kecenderungan meningkatnya permintaan pangsa pasar dunia akan produk minyak ajaib ini sebagai bahan makanan dan aneka produk kecantikan serta menjadi alternatif terbaik terhadap pemecahan masalah energi global (biofuel) yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui (multi-purposes and renewable resources/multi guna dan sumber daya alam terbarukan).
Di sisi lain, ini akan menjadi potensial sebagai kutukan bila kegiatan eksploitasi ini tidak berbasis kelestarian alam dan mampu menciptakan kesejahteraan bersama bagi bangsa umumnya dan masyarakat sekitar khususnya. Perkembangan dengan metoda pendekatan pengembangan yang tidak terencana dengan baik akan rentan pada pengrusakan hutan (deforrestry), sehingga berdampak pada ekologi bukan hanya mengganggu kehidupan manusia (global warmning) juga mahkluk biologis lainnya tumbuhan dan binatang menjadi musnah (totally degradation), apabila disertai lagi dengan praktek pengelolaan yang tidak bertanggung jawab seperti penyalahgunaan izin dan penyimpangan pemanfaatan kawasan hutan demi mendapatkan keuntungan besar dari tebangan kayu (illegal logging), perampasan tanah yang mengancam kehidupan komunitas masyarakat lokal, terjadinya penurunan ketahanan pangan sebagai akibat dari ketidakseimbangan ekosistem serta juga sebagai akibat dari konversi lahan pertanian pangan ke lahan perkebunan kelapa sawit, dimana juga distribusi hasil secara tidak merata, semua ini akan memproduksi ketimpangan sosial antara pihak pengusaha ataupun pemilik (owner)n dengan masyarakat lokal yang sewaktu-waktu akan dapat mengakibatkan kecemburuan sosial yang potensial yang dapat mengancam solidaritas nasional sedikitnya melalui konflik sosial lokal.
Dari segi hasil produksi dan pemasaran, industri pertanian kelapa sawit sangat menguntungkan dan menjanjikan bagi Indonesia. Terbukti dengan kecenderungan peningkatan total produksi dan eksport CPO. Pada tahun 2006, Indonesia mengekspor sekitar 11,95 juta ton dari keseluruhan produksi sebanyak 15,8 juta ton minyak CPO dan produk turunannya, atau sekitar 40% dari jumlah ekspor dunia dengan total nilai $US 5,8 juta. Pada tahun 2007, jumlah tersebut meningkat menjadi 16,4 juta ton. Pada tahun 2008 Indonesia diperkirakan akan melampaui Malaysia sebagai penghasil terbesar CPO: diproyeksikan akan memproduksi 18 juta ton pada saat Malaysia masih akan memproduksi sekitar 17 juta ton. Indonesia mengekport hampir dua pertiga produksi CPO-nya; ke India dan China sebagai konsumen terbesar. Pada tahun 2006 Indonesia mengekspor 2,2 juta ton ke India dan 1,8 juta ton ke China, sedangkan pada tahun 2007, ekspor untuk kedua negara itu meningkat sampai 2,1 juta ton ke Cina dan 2,5 juta ton ke belahan Eropa (Komisi Sawit Indonesia 2007). Peningkatan ini mendorong pada peningkatan sektor pajak (pajak ekspor), namun yang menjadi pertanyaan apa artinya bagi masyarakat perkebunan?, (butuh studi – ref. masyarakat desa sekitar hutan/HPH).
Produksi yang sebesar itu ditopang oleh ektensifikasi lahan perkebunan sawit yang cenderung meningkat rata-rata 14% per tahun terutama dalam 10 tahun terakhir (Susilo 1998). Awalnya perkebunan kelapa sawit didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda antara tahun 1870 dan 1930. Pada tahun 1967, awal pemerintah Orde Baru Suharto, Bank Dunia memberikan bantuan kepada Indonesia berupa investasi langsung untuk pengembangan industri perkebunan kelapa sawit melalui Badan Usaha Milik negara (BUMN). Pada permulaan tahun 1970-an harga kelapa sawit di pasar internasional terus meningkat sehingga mendorong Indonesia untuk membuka lahan luas yang tersedia bagi perkebunan. Pemerintah Indonesia mulai melihat industri perkebunan kelapa sawit sebagai roda pertumbuhan ekonomi dan sosial di wilayah pelosok dan pedesaan termasuk di Sumatera Utara sebagai sentra penting perkebunan kelapa sawit. Disatu sisi pihak BUMN Perkebunan telah melakukan program CSR namun tidak maksimal perlu ditingkatkan dan dimeratakan dan bagaimana dengan pihak perkebunan swasta asing dan nasional ?.
Secara totalitas pengembangan dan pertumbuhan tersebut bukannya tanpa masalah. Salah satu masalah terpenting adalah bahwa struktur kepemilikan perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sangat timpang, mengingat perkebunan tersebut dimiliki oleh perusahaan besar, baik milik negara maupun milik swasta yang mendominasi luas lahan dengan pangsa 66% dari seluruh luas lahan sawit di Indonesia. Laju pertumbuhan luas lahan per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% perkebunan swasta, 2,9% perkebunan negara dan 19,3% perkebunan rakyat (Susilo 1998). Dalam rangka mendapatkan lahan yang dibutuhkan, maka cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun untuk meyakinkan publik dan tanggung jawab sosial perlu diteliti lebih jauh karena diduga banyak perampasan hak-hak ulayat masyarakat disatu sisi dan sekaligus melakukan re-evaluasi sejauh mana adanya tanggungjaawab sosial perkebunan swasta serta sekaligus mendorong mereka agar ikut serta berpartisipasi secara aktip misalnya: melalui program inti-plasma sebagai jalan terbaik untuk pengembalian lahan masyarakat.
Hingga saat ini, maka sub-sektor perkebunan (kelapa sawit, kakao, karet, dll-nya) masih tetap menjadi primadona perekonomian propinsi Sumatera Utara. Kurang lebih 1.500.000 hektar areal perkebunan dikelola dalam bentuk perkebunan rakyat, Negara (BUMN), perusahaan swasta asing dan swasta nasional. Beberapa komoditi perkebunan yang terpenting sebagai andalan Sumatera Utara adalah seperti , kelapa sawit, karet, coklat, teh, kopi, cengkeh, kelapa, kayu manis, dan tembakau.
Berdasarkan Data Statistik Sumut (2005), luas lahan yang sudah digunakan untuk areal perkebunan Sawit sekitar 328.508 ha dengan produksi rata-rata 3,3 juta ton per tahun. Dari luas tersebut, 261.501 ha (79,6%) dikelola oleh Perusahaan Perkebunan besar antara lain Perusahaan Negara (PTPN), Perkebunan Swasta Asing dan Perkebunan Swasta Nasional terdiri dari sekitar 70 perusahaan perkebunan. Sedangkan sisanya 67.002 Ha (20,4%) milik perkebunan rakyat (diperlukan studi yang lebih tajam dan akurat untuk meningkatkan sektor perkebuan rakyat ini berkaitan dengan masyarakat sekitar perkebuan, terutama petani dan buruh diwilayah dataran tinggi dan petani, buruh dan nelayan diwilayah pantai timur dan barat).
Perkebunan terbesar swasta nasional dimiliki oleh Bakrie Group yaitu PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP) memiliki luas areal lebih 10 ribu hektar, terbagi atas 6 estate . Perkebunan besar lainya dikelola oleh PTPN, Perkebunan Swasta Asing seperti Lonsum, Socfindo, UKINDO, dan Asian Agri kurang lebih luas areal sekitar 3.000 s/d 10.000 ha. Selebihnya perusahaan menengah dan kecil milik swasta Nasional, koperasi dan pemda setempat luas areal berkisar antara 500 – 3000 Ha.
Aspek lain adalah bahwa dampak kehadiran industri perkebunan kelapa sawit bagi perkembangan ekonomi regional membutuhkan kajian tersendiri. Bahwa industri perkebunan kelapa sawit seharusnya semakin mempercepat perubahan sosial ekonomi komunitas masyarakat sekitar (pendekatan teori akselerasi). Mampu mendobrak dan mendinamisasi ketertinggalan menjadi kemajuan pembangunan wilayah. Artinya sektor usaha ini “diyakini” punya pengaruh yang signifikan untuk menstimulasi perkembangan wilayah baik dilihat dari infrastuktur daerah, pola pemukiman sub-urban dan dinamika sosial baru seperti membuka peluang ekonomi baru sehingga mendorong akses masyarakat sekitar pada kehidupan yang lebih baik, namun hal ini masih sangat diragukan baik dilihat dari realita kehidupan masyarakat sekitar perkebunan maupun komunitas tertentu didalam perkebunan seperti kelompok buruh tetap dan tidak tetap (praduga keadaan ekploitatip harus dirobah menjadi manusiawi dengan ukuran dan pengukuran yang jelas dan standar/measure and measurement theory).
Namun karena fakta dilapangan tanpak jauh dari harapan tersebut. Maka Perusahaan-perusahaan besar perkebunan sawit masih berbasis eksploitasi dan praktek diskriminatif. Kebijakan negara menyangkut pembangunan pertanian khususnya pertanian perkebunan kelapa sawit masih berfihak pada kepentingan modal. Pengembangan perkelapasawitan di Indonesia umumnya, khususnya di Sumatera Utara masih berbasis pertimbangan ekonomis semata, tanpa mengkaji dampak sosial ekonomi politik terhadap masyarakat sekitar. Karena itu hakekat perkebunan lebih dilihat sebagai suatu “production system” dari pada “social system” dengan mengabaikan pengkajian perkebunan kelapa sawit secara sistemik, baik sebagai organisasi produksi komersial dalam hubungannya dengan pasar internasional maupun dimensi internal di dalam daerah dimana perkebunan itu berada.
Akibatnya gejala yang muncul dipermukaan saat ini adalah : pertama, konflik vertikal kepemilikan lahan. Di Sumatera Utara, hampir semua perusahaan perkebunan besar baik milik negara, swasta asing dan swasta nasional pernah dan masih terus ada bersinggungan konflik lahan dengan masyarakat lokal. Sering muncul kasus-kasus di mana lahan yang di-identifikasi untuk produksi kelapa sawit ternyata adalah milik masyarakat, baik yang dimiliki secara pribadi atau secara komunitas (tanah ulayat). Atau lahan tersebut sebelumnya pernah diolah oleh penduduk setempat untuk menanami aneka tanaman muda dan sayur-sayuran, atau berupa lahan yang berhutan di mana masyarakat setempat lebih mengiginkan tetap dalam kondisi berhutan sebagai sumber mata pencaharian memenuhi kebutuhan subsistensi kehidupan mereka. Tetapi, kebutuhan masyarakat setempat jarang sekali mendapatkan perhatian ketika izin pemanfaatan lahan untuk kepentingan kelapa sawit dikeluarkan. Masalah ini diperumit oleh karena kenyataannya kebanyakan masyarakat sekitar tidak memiliki sertifikat tanah untuk membuktikan kepemilikan tanah tersebut, yang berakibat kemudian masyarakat tidak menerima konpensasi atas tanah yang diambil oleh perkebunan. Selain itu, ada juga kasus-kasus bahwa lahan perkebunan telah diperluas di luar batas izin yang dimiliki (hal ini sangat penting untuk dikaji karena luasan HGU-nya sering tidak sama dengan luas realita dilapangan), dan bahkan ada yang merambah ke dalam taman nasional dan juga ke dalam lahan masyarakat atau komunitas; kedua, kehadiran perkebunan bisa jadi menjadi konflik horizontal (antar masyarakat) karena ada yang pro-pengusaha dan anti pengusaha serta konflik vertikal (kelembagaan/pemerintahan) yang sangat mendukung kehadiran inverstor dengan tidak mengindahkan aturan-aturan yang ada; ketiga, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit sering berlangsung tanpa diketahui banyak pihak, sehingga sering terlambat merespon atau melakukan sanggahan dan memperjuangkan dalam mencegah pemberian izin atau berjuang mendapatkan kompensasi; keempat, keuntungan ekonomis produksi kelapa sawit tidak didistribusikan secara merata. Pengupahan diperkebunan misalnya sangat diskriminatif tercermin dari kesenjangan pengupahan kepada pihak managemen dengan pihak buruh perkebunan, pemberian upah dibawah UMP propinsi, pelonggaran jaminan kerja dan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja buruh akibat perubahan organisasi produksi perkebunan yang lebih mengutamakan outsourcing dan buruh harian lepas dari pada buruh tetap (SKU) sehingga para buruh perkebunan rentan terpelosok ke jurang kemiskinan dan Kelima, pengelolaan yang luas oleh suatu perusahaan perkebunan kelapa sawit, merubah dinamika perekonomian lokal. Banyak petani yang lahanya terbatas terpelosok dalam proses pemiskinan. Petani yang sebelumnya pertani subsistensi dengan bercocok tanam padi terpaksa menkonversikan lahanya dengan menanami kelapa sawit, sementara dari aspek modal dan pemasaran mereka sangat terbatas sehingga kualitas produksi rendah dimana hasil tidak sebanding dengan pengeluaran. Dalam posisi yang demikian banyak petani menjual lahanya ke pihak perkebunan, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan atau buruh. Kehidupan komunitas perkebunan yang berada di sekitar perkebunan sangat tergantung pada ekonomi buruh yang digaji kecil, sementara itu untuk perdagangan dan jasa berkaitan dengan efek berantai kehadiran perkebunan, baik sektor hulu dan hilir lebih dikuasai oleh pemodal besar umumnya dari daerah perkotaan.

Tidak ada komentar: