Kamis, 24 Juli 2008

Pembonsaian Manusia di Perkebunan

Kekerasan “terselubung” oleh pihak perkebunan dengan cara pembiaran buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan perlengkapan keselamatan dan kesehatankerja kerja (K3). Kisah buruh penyemprotan sawit misalnya adalah kasus representasi bagaimana “pembonsaian buruh” secara sistematis terjadi. Tidak ada antisipasi pencegahan keracunan dan perlindungan kesehatan buruh. Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan pendidikan tentang bahaya, resiko dan dampak zat-zat kimia yang digunakan, melakukan pemerikasaan kesehatan buruh kepada dokter ahli, dan merotasi buruh yang bekerja di bagian yang berhubungan dengan bahan kimia berbahaya. Sementara itu dari sisi ekonomi, buruh tidak mampu membeli makanan bergizi untuk mengganti sel-sel tubuh mereka yang keracunan karena upah yang mereka terima sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum setiap hari.

Sejarah Keselamatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (selanjutnya di singkat K-3) di Indonesia mendapat perhatian serius pasca kerja rodi dan ponale santie. Para pendiri Bangsa kita sadar betul pengalaman perburuhan kolonialis berbasis penghisapan, jam kerja tinggi, sanksi kerja dalam bentuk kriminalisasi dan tiada keamanan kerja . Wacana industrialisasi sebagai jawaban memperbaiki tarap hidup masyrakat waktu itu suatu hal yang tidak terhindarkan, sementara warga negara kebanyakan tidak punya alat produksi selain menjual tenaga guna mendapatkan upah untuk hidup. Inilah mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 45, “pekerjaan”, “penghidupan yang layak”, hak berorganisasi, sebagai tanggung jawab protektif negara terhadap buruh.

Prinsip yang dianut oleh undang-undang dasar adalah proteksi terhadap keamanan kerja bagi buruh (job security). Dengan demikian, selain upah persoalan keselamatan dan kesehatan kerja menjadi hak dasar, hak asasi manusia; setiap buruh memperoleh hak yang sama untuk hidup dan mendapat pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.

Tetapi realitas tidak demikian. Inti pokok dari UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan justru spirit utamanya adalah bagaimana merancang mekanisme pasar bekerja secara sempurna dalam konteks perburuhan yang sering disebut pasar buruh yang fleksibel. Dengan dilegalkanya sistem itu, jelas menghapus nuansa protektif dalam hukum perburuhan, sekaligus memindahkan konflik laten buruh-majikan keluar dari arena perusahaan melalui praktek hubungan kerja seperti outsourcing dan buruh harian lepas (BHL) menjadi trendy di berbagai perusahaan.

Demikian juga turunan undang-undang menyangkut job security terutama berbagai peraturan tentang K3 menjadi tidak relevan, karena hanya sebagi acuan normatif saja rumusannya sempurna; tetapi sangat bias, tidak berbasis praktek dilapangan. Sesempurna apapun undang-undang mengenai K3 seperti UU No 1 tahun 1970 tentang kecelakaan kerja, UU No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan Sistem Managemen K3 (SMK-3) terimplementasi dalam managemen perusahaan tidak punya makna apa-apa bagi buruh, jika pada akhirnya secara massal perusahaan menerapkan praktek outsourcing dan buruh harian lepas.

Selain hukum perburuhan yang lemah, juga tidak ditunjang oleh peraturan-peraturan pelaksanaan, kebijakan dan tugas-tugas operasional yang terdefenisikan secara jelas serta otoritas dan kompetensi pengawas ketenagakerjaan mendukung upaya memperbaiki tingkat keselamatan dan kesehatan kerja. Ditenggarai upaya pengawasan mandul oleh karena tidak didukung oleh profesionalisme dan keterbatasan anggaran instansi terkait mengawasi praktek pengusaha yang tidak mematuhi aturan-aturan dan code etik berkaitan dengan K-3.

Implikasinya, pihak perusahaan berusaha menghindar dari kewajiban seperti sosialisasi peraturan kerja berkaitan dengan K-3, implementasi program yang mengurangi bahaya kerja (resiko kerja) serta implementasi penanggulangan K-3 yang tersistem dalam perusahaan, terkesan simbolis belaka. Sikap perusahaan masih memiliki persepsi yang keliru, semata-mata dilihat dari perspektif biaya membebani perusahaan. Pada hal pengeluaran biaya untuk sosialisasi, pembelian alat kerja, pelindung kerja serta pelatihan yang bermuara pada peningkatan keterampilan kerja dapat menekan angka kecelakaan kerja yang berakibat berkurangnya biaya untuk penanggulangan kecelakaan kerja.


Kasus Kecelakaan Kerja di Perkebunan
Hasil studi KPS menunjukkan bahwa kecelakaan kerja diperkebunan terkait dengan bentuk operasi kerja di perkebunan mulai dari proses replanting, penanaman, pemeliharaan tanaman sampai proses produksi. Temuan penting menunjukkan bidang kerja yang paling rentan terhadap resiko kecelakaan adalah buruh bagian pemanen, bagian penyemprotan hama dan pemupukan.

Fakta dilapangan dari 6 perkebunan besar disumatera utara, ditemukan 47 kasus kecelakaan terindentifikasi selama 4 bulan terakhir (Jan sampai April 2008). 47 kasus tersebut, 32 (68,08%) korban diantaranya dikategorikan kecelakaan ringan seperti tertusuk duri sawit, ketimpa pelepah, gigitan serangga berbisa dan keseleo akibat jalan licin. 11 (23,40%) cacat kebanyakan cacat mata (mengecil, mengalami rabun bahkan buta) kena tatal (getah karet) yang sudah terkontaminasi dengan zat kimiawi, kotoran berondolan sawit dan tertimpa tandan buah segar, tubuh terkena bahan (TBS) kimiawi beracun akibat tingginya interaksi pada saat penyemprotan dan 2 orang buruh (4,25) jiwanya melayang, 1 orang kena sengatan listrik dan 1 orang lagi tertimpa tandan buah segar waktu memanen.

Kerakteristik penyebab umum kecelakaan antara lain tempat kerja (ancak) yang tidak rata (berbukit), pohon sawit/karet yang bengkok, pohon karet/sawit yang relatif tinggi, bersemak lebat, ancak berlobang dapat dikategorikan lingkungan kerja yang tidak aman dalam arti resiko tinggi terhadap kecelakaan. Sedangkan penyebab terperinci, berdasarkan analisis kronologis diakibatkan oleh kelalaian buruh, kekurang terampilan, alat kerja serta pelindung kerja yang tidak cukup dan mandor pengawas tidak punya standart operasi pengawasan, serta tidak ada pengawasan sewaktu buruh bekerja dapat dikategorikan perilaku yang tidak aman. Penyebab pokok adalah perusahaan mengabaikan tanggung jawab K-3;tidak mensosialisasikan keselamatan kerja kepada buruh menyebabkan rendahnya kesadaran buruh atas keselamatan kerja, tidak pernah melatih pekerja terampil manjaga keselamatan kerja, upah yang rendah, pekerja memacu kerja demi premi sehingga mengabaikan aspek keselamatan kerja, serta target kerja (beban kerja) tinggi tidak diimbangi oleh pola makan (gizi) yang cukup.

Pelayanan Keselamatan dan Kesehatan kerja
Dilingkungan perusahaan perkebunan Sumatera Utara, kurang memperhatikan tanggung jawab sosialisasi memberikan informasi yang cukup bagi buruh tentang resiko kecelakaan kerja, mengakibatkan banyak buruh belum mengerti K-3, termasuk hak dan kewajiban pemerintah, perusahaan dan buruh. Persepsi yang justru terbangun adalah persepsi negatif mengidentikkan Kecelakaan apabila korban cacat atau meninggal dan hal tersebut dianggap sebagai resiko atau takdir yang mahakuasa.

Pemberian alat kerja dan pelindung kerja yang tidak cukup memenuhi standart keselamatan kerja seperti kaca mata yang seharusnya diwajibkan dipakai buruh dan kacamata tersebut tidak standart atau tidak menutupi permukaan mata, kalau digunakan mudah terkena embun menyebabkan penglihatan kabur. Akibatnya buruh memilih tidak menggunakan karena mengganggu aktivitas kerja. Demikian juga pemeliharaan alat kerja dan alat pelindung menjadi tanggung jawab buruh. Bila terjadi kerusakan, pihak perusahaan tidak mengganti tetapi dibebani buruh menggantinya melalui mekanisme potong upah setiap bulannya.

Pihak perusahaan juga memaksa buruh bekerja bila cuaca buruk seperti hujan lebat, tanpa menyediakan tempat berteduh dan berlindung di tempat kerja.

Pelayanan yang buruk dalam pemeriksaan kesehatan maupun saat buruh mengalami kecelakaan kerja seperti birokrasi yang berbelit-belit. Tidak mudah buruh mengakses pelayanan yang baik. Selain kendala administratif seperti duluan mendapatkan izin berobat, sementara jarak tempuh dari pondokan atau ancak ke pusat pelayanan kesehatan (biasanya dekat emplasmen) cukup jauh ditempuh dengan jalan kaki, jalan bebatuan dan tanah licin menjadi kendala tersendiri. Rendahnya kualitas pelayanan di klinik, rata-rata melayani penyakit ringan dengan jenis obat sama seperti di toko obat biasa.

Bagi buruh yang mengalami kecelakaan kerja di ancak, pihak perusahaan tidak menyediakan P3K dan pertolongan pertama. Sering buruh harus ke poliklinik yang cukup jauh hanya untuk mendapatkan obat merah dan pembalut luka suatu ironi tersendiri ditengah tumpukan dolar hasil keuntungan perkebunan.

Pada tingkat rehabilitasi pelayanan juga tidak membaik. Seperti hak untuk mengetahui apakah mereka terdaftar atau didaftarkan menjadi peserta jamsostek. Sementara untuk buruh tetap (SKU), pihak perusahaan memotong berbagai iuran termasuk iuran jamsostek.
Adanya praktek “penipuan” biaya iuran/santunan Jamsostek. Sebagai peserta Jamsostek, sesuai dengan praturan perundang-undangan buruh hanya dikenai biaya sebesar 2% dari upah, karena hanya menanggung program Jaminan Hari Tua (JHT), sedangkan Jaminan Kematian (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) ditanggung oleh perusahaan tempat berkerja sebesar 3,7%. Tapi kenyataannya, iuran yang harus dibayar buruh lebih dari 2%.

Aspek lain bahwa tidak semua program wajib yang disediakan oleh Jamsostek dinikmati oleh buruh. Pada hal jumlah iuran yang dibayarkan sudah mencakup seluruh program, sehingga saat digunakan buruh sering mendapat penolakan dari klinik, rumah sakit atau penyedia pelayanan kesehatan maupun perusahaan.

Selain itu, ada kecenderungan walaupun telah menjadi peserta Jamsostek ternyata tidak menjamim buruh langsung mendapatkan pelayanan. Kasus seperti ini sering terjadi ketika buruh mengalami kecelakaan kerja sehingga membutuhkan perawatan.

Proses pengurusan yang berbelit-belit dari pihak perusahaan perkebunan dan Jamsostek sendiri sering terjadi sehingga buruh tidak bisa memanfaatkan layanan tersebut. Dalam banyak kasus, buruh sendiri sering akhirnya membiayai sendiri atau mencari “calo” atau orang dalam agar dapat dilayani secara cepat. Karena memelihara praktek pencaloan klaim santunan mengakibatkan kerugian material dan inmaterial bagi buruh yang mengalami kecelakaan.

Akibat kondisi yang demikian banyak buruh yang mengambil jalan pintas mencari pengobatan dari luar klinik dan rumah sakit seperti ke bidan bahkan ke “dukun” karena biayanya murah dan ditanggung buruh sendiri. Selain itu, akibat tekanan ekonomi (upah rendah) tidak memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan keselamatan kerja seperti kerja tanpa memakai/menggunakan alat-alat pelindung kerja yang memadai, kurang menyadari resiko-resiko lain seperti serangan binatang/serangga berbisa, dan dampak terhadap kesehatan akibat frekwensi berinteraksi dengan bahan-bahan kimia beracun suatu langgam kerja buruh perkebunan saat ini.

Tidak ada komentar: