Rabu, 23 Juli 2008

Buruh Harian Lepas (BHL) di Perkebunan

Pengantar
Ada 4 (empat) gagasan pokok yang akan saya sampaikan pada kesempatan ini. Pertama, tentang bagaimana pengaturan relasi kerja majikan-buruh yang merupakan substansi masalah dalam konteks perburuhan. Uraian ini sekaligus menegaskan perspektif saya memandang Buruh Harian Lepas (selanjutnya disingkat BHL); Kedua, kuatnya pengaruh modal mengintervensi relasi kerja. Tampaknya ada semacam “ketegangan” antara logika modal dan logika relasi kerja. Logika modal yang impersonal, cenderung mengabaikan dimensi nilai-nilai kemanusiaan didalamnya demi efektivitas dan produktivitas kerja yang bermuara pada maksimalisasi keuntungan. Sementara relasi kerja adalah relasi personal yang sarat dimensi nilai kemanusiaan, bukan sekedar masalah efektivitas dan produktivitas kerja. Ketegangan tersebut tampaknya menjadi sumber masalah polemik yang sampai saat ini belum terakomodir dalam kebijakan perburuhan kita. Sayangnya penselesaian masalah ketegangan tersebut diserahkan diatur oleh pasar, tanpa intervensi dan proteksi negara melindungi yang lemah. Ketiga, uraian garis besar buku, dimana realitas kekinian BHL hanya akan terpahami dalam konteks sejarah perkebunan dan perburuhan. Keempat, temuan lapangan tentang realitas kekinian BHL.
Relasi Kerja Majikan-Buruh
Praktek kerja (BHL) diperkebunan sudah berakar jauh sebelum UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan diberlakukan di Indonesia. Praktek hubungan kerja majikan-buruh eksploitatif ini telah menjadi langgam perburuhan sejak jamam kolonialisme (Mubyarto, 1992; Kartodirjo, 1999). Kebijakan kolonialisme waktu itu terutama di perkebunan lebih berpihak pada modal seperti konsesi tanah murah, pengakuan kepemilikan tanah bagi pengusaha asing (hak erfpacht) dan legitimasi hubungan kerja bebasis “kuli kontrak” melalui kebijakan perburuhan ordonansi koeli dan ponale sanksi lebih ditujukan menjerat buruh menjadi abdi tuan Kebun (perbudakan)(Said, 1977). Hubungan kerja eksploitatif tadi, oleh kuatnya wacana kolonialis kemudian terinternalisasi kedalam struktur hubungan industrial perkebunan. Masyarakat kita sadar atau tidak sadar juga mengaminkan perbudakan sebagai sebuah kewajaran sehingga mengurangi kepekaan kita melihat penindasan yang ada disekeliling kita.
Namun penting diingatkan kembali bahwa setelah Indonesia merdeka, para pejuang pendiri Bangsa ini sadar betul hubungan kerja eksploitatif bercorak liberalisme tadi harus dihapuskan. Itulah yang mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengenai "pekerjaan" dan "penghidupan yang layak" dan terkait amat erat dengan pasal 28 mengenai hak untuk berorganisasi dan berkumpul sebagai dasar konstitusional perburuhan kita (Putusan Mahkamah Konstitusi, 2003).
Beberapa tahun kemudian secara konsisten pemerintah kita waktu itu memperjuangkan hubungan kerja majikan-buruh bersifat kolektif berbasis kesejahteraan. Setidaknya tiga buah undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang oleh banyak ahli dikatakan sebagai salah satu undang-undang yang paling progresif dan protektif terhadap buruh/pekerja pada masanya dan jauh lebih bagus dari UU No 13 kita saat ini.
Kurun waktu tahun 1950-an merupakan zaman keemasan buruh perkebunan. Di tingkat managemen perkebunan waktu itu benar-benar suatu tindakan yang protektif kepada buruh. Proses rekruitmen buruh terseleksi dengan baik; kepastian hubungan kerja (buruh SKU), sistem penggajian berbasis kesejahteraan (upah pokok plus catu 11) dan pemenuhan jaminan sosial seperti fasilitas perumahan dan pelayanan kesehatan, hak berserikat dijamin serta tidak mempekerjakan anak.
Intervensi Modal Asing Di perkebunan
Setelah nasionalisasi aset-aset perkebunan ke tangan pemerintah hubungan kerja majikan-buruh mengalami perubahan seiring dengan dinamika pergolakan politik mempengaruhi kebijakan di tingkat pengelolaan perkebunan. Ditenggarai hubungan kerja buruh-majikan yang ideal tadi tidak diimbangi oleh pengelolaan managemen yang profesional. Pengelolaan perkebunan waktu itu lebih didasarkan pada kepentingan politik praktis dari pada keinginan mengembangkan perkebunan. Penunjukkan pejabat-pejabat perkebunan waktu itu bukan atas dasar keahlian tetapi atas dasar kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan sehingga perusahaan terutama di perkebunan mengalami kemunduran hasil produksi baik dari segi kuantitas dan kualitas (Tjondronegoro, 1999). Banyak perusahaan perkebunan waktu itu terancam tutup karena pengelolaan yang tidak benar, sehingga membuka peluang masuknya modal asing dan intervensi kepentingan politik militer (BUMIL) ke perkebunan terutama pada pasca nasionalisasi (Lukman Sutrisno, 1992).
Puncaknya adalah pemerintah Orde baru membuka luas investasi modal asing melalui Undang-undang penanaman modal tahun 1967 turut mereduksi pola hubungan majikan-buruh ke arah liberalisasi pasar tenaga kerja. Kemudian kekuatan modal menggeser hubungan kerja buruh-majikan bersifat kolektif berbasis kesejahteraan tadi kembali ke hubungan kerja eksploitatif. Muncullah pendekatan hubungan kerja yang bersifat hegemonis (Hubungan Industrial Pancasila), “monoterisasi” sistem pengupahan dalam bentuk konversi jaminan sosial seperti fasilitas perumahan menjadi “uang kontrak” rumah dan kontrol negara terhadap organisasi kemasyarakatan termasuk serikat buruh dengan dukungan militer.
Di tingkat organisasi produksi perkebunan mulai mengenalkan skema rekruitmen buruh murah. Secara berlahan-lahan tapi pasti pengurangan buruh yang berstatus SKU, dan mengoptimalkan BHL terutama pada pekerjaan pemeliharaan kebun, dengan cara penangguhan pengangkatan SKU yang direkrut berdasar rekruitmen warisan. Upah sebagi satu-satunya jaminan kelangsungan hidup buruh cenderung menurun bila dikonversikan dengan daya beli. Jika jaman kolonialis (1937) upah diterima buruh setara dengan 4,37 kg beras/hari, maka pada jaman Orde Baru menurun menjadi 3,21 kg/hari (Safry Sairin, 1992). Akses buruh terhadap kesejahteraan dipasung dengan menghambat mobilitas sosial.
Kini jaman yang kita sebut reformasi, kondisi buruh makin sulit akibat kebijakan disahkannya UU Ketenagakerjaan, yang jelas-jelas menghapuskan nuansa protektif dalam hukum perburuhan Indonesia, dan karenanya menjadikan undang-undang tersebut bertentangan dengan amanat UUD 1945. Pasar tenaga kerja terbuka jelas mengurangi standar perlindungan buruh, dan peran negara sebagai pelindung pun semakin dihilangkan. Buruh/pekerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal.
Garis Besar Buku
Dalam konteks yang demikian buku ini hadir melengkapi pustaka perburuhan di perkebunan. Secara garis besarnya buku ini berisi tentang pengertian BHL, pentingnya BHL sebagai isu perburuhan, faktor-faktor mempengaruhi meningkatnya BHL, rumusan focus masalah penelitian, tujuan penulisan, pengorganisasian penelitian dan sistematika pemulisan.
“Sejarah Singkat Perkebunan di Sumatera Utara”. Realitas kekinian BHL hanya akan terpahami dalam konteks sejarah perkebunan dan perburuhan. Diawali cerita tentang peralihan pertanian subsistensi ke perkebunan komersil yang ditandai oleh liberalisasi ekonomi di sektor perkebunan, kemudian dilanjutkan dengan masalah tanah dan tenaga kerja di perkebunan serta penerapan kebijakan perburuhan mulai dari ordonansi kuli dan ponale sanctie kebijakan perburuhan pasca ordonasi, Orde Baru dan era reformasi.
“Gambaran umum Perusahaan Perkebunan’” antara lain: kondisi umum kebijakan perusahaan perkebunan menyangkut sistem kerja, hubungan kerja, pengupahan, pengawasan dan sangsi serta fasilitas buruh di perkebunan, dilanjutkan dengan uraian profil perusahaan perkebunan yang menjadi sampel dari segi modal, luas perkebunan, tenaga kerja SKU dan BHL dan Jumlah Afdeling, kemudian di tutup dengan uraian sekitar profil daerah penyanggah tenaga kerja di 3 lokasi penelitian.
“Analisis hubungan Kerja BHL”. Menceritakan sistem dan pola rekruitmen BHL, kaitan antara pola rekruitmen dengan sistem kerja, penggajian, pengawasan dan pola jaminan sosial BHL. Tentang “Upah” sistem pengupahan BHL dalam konteks dulu dan kini, realitas pengupahan BHL dan kaitanya dengan daya beli, pola konsumsi keluarga dan gaya hidup mereka. Aspek “kesejahteraan” BHL. Dimulai dengan menggambarkan fasilitas yang diberikan perusahaan, THR dan jaminan sosial, pendidikan, pendapatan tambahan di luar BHL, terutama dihubungkan dengan pemenuhan dan perlindungan hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Dan rangkuman keseluruhan penulisan.
Temuan-temuan
Temuan penting dalam studi ini : pertama, sejak tahun 1970 praktek kerja BHL diperkebunan mulai marak seperti jaman kolonial, kedua, ditemui bahwa dalam 100 Ha kebun dipekerjakan 22 orang buruh, 12 diantaranya SKU dan 10 BHL. Dengan asumsi seperti itu, diperkirakan jumlah BHL sekitar 800.000 di sumatera Utara; ketiga, faktor hubungan kerja menjadi faktor yang paling berpengaruh sistem kerja, penggajian, pengawasan, upah dan akses terhadap kesejahteraan. Keempat, ada 3 jenis perikatan kerja BHL diperkebunan yaitu : 1 Perikatan permanen (kontrak tahunan, sistem dan beban kerja sama dengan SKU hanya saja hari kerja dibatasi dibawah 20 hari), sistem kerja berdasarkan 1 hk ( 7 jam kerja) dan target kerja secara bersamaan ditentukan sepihak oleh perusahan, upah antara Rp 29.000,- s/d Rp 31.500 tanpa jaminan sosial. 2. Perikatan semi permanen (kontrak borongan, model kerja sopir-kernet yang kita sebut “paket hemat”, kepastian kerja tergantung pada fruktuasi panen, jam kerja ada yang ½ hk, ada yang 1 hk tergantung pada fruktuasi panen tanpa jaminan sosial. dan 3. outsourcing baik resmi dan tidak resmi, kepastian kerja ukuranya ½ hk (4 jam kerja), kompensasi upah sekitar Rp 8.000 s/d 15.000,- tanpa jaminan sosial; kelima, seluruh aspek kerja BHL berbasis penghisapan mulai dari proses rekruitmen, proses kerja, polanya hampir sama dengan jaman ordonasi kuli tempo dulu kerja hanya untuk sekedar makan.
Itulah realitas buruh perkebunan kita di tengah rendeman minyak sawit terbaik dan ditengah tumpukan “dollar” hasil bumi dan keringa buruh tidak berdampak bagi kesejahteraan.
Tanjung Sari, 23 April 2008
Manginar Torang, S


Daftar Pustaka
Hutabarat, Tua Hasiholan, 2006 Realitas Upah Buruh Industri, Medan : KPS & n(o)vib oxpam Netherlands.
Kartodirjo, Sartono, 1999 Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta : Aditya Media.
Mubiarto, 1992, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta : Aditya Media.
Nadapdap, Gindo,dkk, 2007, Panduan Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama Pada Tingkat Perusahaan, Medan : KPS & Union, European.
Said, Mohammad, H, 1977, Suatu Zaman Gelap di Deli, Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Dengan Derita dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada.
Tjondronegoro, Sediono M.P., 1999, Sosiologi Agraria; Kumpulan Tulisan Terpilih, Bandung Penerbit Akatiga.

Tidak ada komentar: