Kamis, 24 Juli 2008

“Kyebord Bongkar” :

Realitas sosial budaya kebun unik. Untuk perkara “gaya hidup” boleh dikatakan tidak mau ketinggalan, atau disebut orang udik. Aspek kepemilikan seperti TV lengkap dengan setel VCD, merek-merek hand phone (telpon genggam) terpopuler, hiburan “dangdut mania”. Kegandrungan akan nuansa pesta terutama menyuguhkan hiburan musik kyebord. Pesta telah menjadi tradisi. Ketika suatu acara syukuran yang dianggap pantas untuk dirayakan, bila tidak dirayakan ada perasaan “sreg” dikalangan buruh kebun sehingga selain tradisi juga sekaligus etika sosial komunitas perkebunan.
Pondokan ditengah emplasmen perkebunan, rata-rata telah berumur uzur terlihat dari dinding yang sebagian dimakan rayap, atap bocor dan lantai semen banyak yang rusak, tersusun rapi peralatan rumah tangga, lemari pakaian, kursi, meja tamu dan tidak ketinggalan TV, VCD selalu ada meskipun tidak terkesan mewah. Namun rata-rata buruh kebun menyediakan TV dan VCD, karena memang itulah satu-satunya media yang bisa mereka nikmati setelah pulang kerja.
Barang-barang lain yang cukup vital di komunitas perkebunan adalah alat transportasi seperti sepeda dayung dan sepeda motor. Di tengah hamparan perkebunan jalan bebatuan, berbukit jarak setiap emplasmen cukup jauh dan pada setiap emplasmen tidak selalu ada fasilitas sekolah untuk anak-anak mereka, sementara untuk alat transpotasi selain sepeda motor tidak ada. Maka pilihan sepeda motor merupakan pilihan yang cukup logis, selain beberapa buruh masih setia mempertahankan sepeda dayung.
Dari segi upah yang mereka peroleh adalah mustahil mereka memiliki sepeda motor. Tapi itulah realitasnya. Mereka harus merelakan memotong sebagian upahnya untuk dapat memiliki sepeda motor. Tentu dengan cara mengurangi pola konsumsi keluarga, terutama konsumsi makanan ala kadarnya dan mengurangi/menunda pemberian susu tambahan bagi anak balita mereka.
Selain faktor kondisional, sebagai satu-satunya alat transportasi juga kebanyakan buruh didorong oleh tersedianya fasilitas kredit untuk pembelian sepeda motor. Bahkan tidak jarang menagemen perkebunan juga ikut andil menfasilitasi pemberian kredit seperti “showroom” masuk emplasmen atas kerja sama asisten/kerani dengan pengusaha motor dengan sistem “potong gaji di kantor” terutama buruh SKU. Namun sebagimana di komunitas yang relatif homogen pengaruh “demonstrasi effect” sangat kentara karena mereka relatif saling mengenal dan tidak jarang juga masalah “prestise sosial” memperebutkan pengakuan atas status sosial.
Bagi buruh yang terlanjur membeli sepeda motor dengan sistem kredit, tidak jarang mereka kewalahan mengangsurnya. Dalam banyak kasus ditemui juga mereka mengajukan/mengusahakan pinjaman entah dari koperasi, lintah darat dan staff perkebunan yang lebih mapan tentu dengan bunga yang mencekik hanya untuk memperlancar pembayaran cicilan. Dalam taraf tertentu oleh managemen perusahaan perkebunan instrument ini mereka gunakan “menjerat” buruh untuk tidak mengadakan protes atau perlawanan. Sehingga boleh dikatakan mereka sebenarnya terjerat oleh sistem yang tidak adil atau lebih tepat korban budaya/perilaku konsumerisme massa.
Sejak jaman kolonialisme sudah diciptakan oleh perkebunan suatu situasi menyerat mereka untuk selalu tergantung pada perkebunan. Misalnya, dahulu pada saat gajian bulanan tidak jarang perusahaan menyediakan acara-acara hiburan rakyat “pesta” sebagai media mengekpesikan kebutuhan eksistensial ditengah-tengah rutinitas kerja sehari-hari dengan menyediakan/menyuguhkan minuman (alkohol), judi dan pelacuran. Mekanisme yang demikian sangat meransang animo buruh waktu itu untuk menghabiskan upah yang diperoleh untuk dibelanjakan pada hal-hal seperti itu, bahkan tidak jarang terjerat pada utang, sehingga mau tidak mau tetap harus memperpanjang kontraknya sebagai buruh.
Rupanya warisan bersifat “hedonis” itu masih terwariskan sampai sekarang. Komunitas buruh perkebunan sangat kegandrungan akan pesta dan hiburan, karena memang media itulah satu-satunya kesempatan yang terbuka untuk mengekpresikan diri, menghibur diri ditengah rutinitas kerja setiap hari. Seperti diketahui bahwa rata-rata komunitas perkebunan di Sumatera Utara adalah suku Jawa, tetapi dari segi adat-istiadat dan norma-norma sosial sudah jauh bergeser dan lebih banyak dipengaruhi oleh budaya modern kontemporer. Misalnya, pada waktu upacara pernikahan tidak mutlak lagi harus pakaian Jawa dan prosesi pernikahan hanya pada saat “‘memecahkan telur” setelah itu boleh acara bebas yang berbau modern.
Jenis-jenis pesta juga sudah agak beragam diantaranya pesta pernikahan, usia kehamilan, sunatan, mengayunkan anak (memberi nama), ulang tahun dan peringatan lainya yang dipandang pantas untuk dirayakan.
Pesta-pesta yang paling digandrungi oleh masyarakat komunitas perkebunan adalah pesta yang menyuguhkan acara hiburan keyboard, lengkap dengan biduanita yang mempertontonkan tarian erotik terkenal dengan sebutan “keybord bongkar” tidak peduli jenis pesta apapun itu. “Pesta kurang afdol bila tidak ada suguhan yang demikian” demikian ujar salah satu buruh yang ditemui di tengah berlangsungnya pesta. Biasanya kalau mendengar adanya suguhan keybord maka pesta akan meriah tidak hanya yang diundang datang tetapi juga dari emplasmen lain di perkebunan bahkan dari komunitas desa lain datang dengan jalan kaki di tengah hamparan gelap gulitanya belantara perkebunan. Tidak ketinggalan juga pedangan-pedangan kecil menyajikan aneka makanan,minuman termasuk miniman alkhohol bahkan “tukang dadu” menjalankan bisnisnya sampai selesai.
Awalnya pada saat prosesi adat dilaksanakan, sekitar jam 16.000 Wib petang hari masih dalam busana adat yang sopan lengkap dengan tarian “kasidah”. Kemudian setelah acara pokok, dilanjutkan dengan acara “bebas” hiburan dangdut bagian-bagian busana satu-persatu mulai diganti dengan busana yang lebih bebas, dan kemudian semakin malam, busanaya mulai “dibongkar” hingga pada puncaknya busananya seronok dan “hampir bungil” diiringi dengan tarian antara biduanita dengan khalayak dan sibudian mendapatkan “saweran” yang lebih banyak jika lebih galak dan berani.
Aspek Positif
Meskipun demikian, ditengah semaraknya pesta-pesta di perkebunan masih menyimpang aspek positif, yaitu dibalik bungkus “hedonisme” seperti diuraiakan di atas, masih tersimpan “kearifan lokal” sebagai sarana atau mekanisme keseimbangan psikologis buruh karena disanalah mereka mengekpresikan diri, menyatakan diri tanpa hambatan-hambatan struktural sebagaimana mereka di tempat kerja. Selain itu, pesta juga menjadi salah satu wadah dimana mereka punya kesempatan untuk mempertahankan eksistensinya bahkan tidak jarang sebagai tanda pengakuan akan “prestise sosial” di lingkungan komunitas buruh. Biasanya semakin meriah dan semarak suatu pesta menjadi garansi mengukuhkan status sosial mereka.
Dalam praktiknya, tidak jarang pengakuan dari si punya “hajat” menyatakan bahwa mereka mendapat untung dari pesta tersebut. Biasanya unsur “tolong-menolong” juga ditemui didalamnya. Misalnya bahwa modal untuk menyelenggarakan pesta tersebut seperti konsumsi dan keperluan lain di beli dengan “ngutang” dan setelah acara selesai bisa dilunasi bahkan bisa juga membeli perabot rumah tangga atau DP sepeda motor. Dalam variasi berbeda pola-pola tolong-menolong pembiayaan pesta yang disebut asokan. Bentuk tolong-menolong ini adalah bahwa kawan-kawan dekatnya menyumbang dalam bentuk daging, beras,minyak makan, minyak lampu dsb. Semua kebutuhan ini bisa di “utang” dari warung-warung setempat dan dibayar setelah gajian.
Di sinilah uniknya pesta kebun. Sebelum acara pokok/puncak dimulai, satu minggu atau dua minggu sebelumnya sudah ada undangan dengan cara mengirimkan makanan yang biasa disebut punjungan dan disana diberitahukan hari, jam dan tempat hayatan diadakan. Isinya antara lain nasi, telur, mie goring dan sepotong daging ayam dalam ukuran besar. Maksud pengiriman itu adalah agar tamu (yang diundang) datang dan sumbangan yang akan diberikan (biasanya kesekapatan alamiah) jumlahnya cukup besar Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). Tiba pada hari inti pesta yang ditentukan di sanalah para undangan memberikan sumbanganya dengan menyuguhkan hiburan. Setelah selesai acara, saat si istri hendak pulang yang punya hayat memberikan “oleh-oleh” dalam bentuk nasi kotak (dibungkus daun) sesuai dengan menu saat undangan diberikan.

Tidak ada komentar: