Rabu, 23 Juli 2008

BURUH MENDERITA DI LUMBUNG SAWIT

Pendahuluan
Kasus eksploitasi Buruh perkebunan belum banyak terekspose ke permukaan, meskipun realitasnya mereka rentan akan perlakuan buruk para pemilik modal (kapital) dan apparatus organiknya. Kasus-kasus seperti ini terjadi di beberapa perkebunan, termasuk di perkebunan PT Socfindo Negeri Lama Labuhan Batu Sumatera Utara. Perkebunan Sawit ini dibuka sejak Tahun 1920 telah mengalami perkembangan pesat, ditandai oleh perkembangan investasi, perluasan areal perkebunan baru bahkan menjadi contoh “keberhasilan” bagi perkebunan lainya di Sumatera Utara.
Saat ini perkebunan memiliki 600 orang Buruh yang dipekerjakan mengolah sekitar 2.170,72 Ha lahan produktif seluruhnya adalah tanaman Kelapa Sawit, 49, 9 Ha diantaranya sedang memasuki tahap replanting.
Kondisi Buruh diperkebunan cukup memprihatinkan. Penindasan dan eksploitasi sangat sistematik menyebabkan pemiskinan struktural dibawah titik nadir kemanusiaan. Kemiskinan terwariskan dari generasi ke kegenerasi berikutnya, melahirkan resistensi Buruh menghadapi penindasan dan eksploitasi.
Penindasan dan eksploitasi Buruh bukanlah kasus baru. Hal itu telah menyejarah, bahkan boleh dikatakan telah menjadi langgam hidup keseharian mereka. Setelah lepas dari buaian politik etik kolonialisme, kini terperangkap dalam cengkraman kapitalis dalam perspektif kebudayaan melegalkan perbudakan dibalik retorika perlingdungan hukum dan hak asasi manusia. Landreform diperjuangkan kesatria pendiri Bangsa kita, tenggelam karena pertimbangan-pertimbangan politik praktis terutama setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, sehingga UUPA 1960 dibekukan[1]. Penguasa Orde Baru selama 3 dasawarsa telah memeluk depelopmentalisme sebagai blue print pembangunan meletakkan jargon pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan teknologisasi bercirikan depelopmentalistik-kapitalistik meskipun waktu itu telah banyak kritik bahkan gugatan karena ketidaksterilan dari bias ideologi didalamnya[2].
Pilihan tersebut tidak menguntungkan bagi Buruh karena kebijakan ini berkaitan dengan mobilisasi eksploitasi produksi, distribusi ekonomi didasarkan pada mekanisme pasar dan hubungan-hubungan kekuasaan dimana Negara sebagai aktor utama didalamnya (sentralisme). Di tingkat strategi kebijakan-kebijakan bertumpu pada prinsip “trilogi pembangunan” yakni : stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Pada tingkat praktis, stabilitas nasional diterjemahkan pada pembentukan iklim politik yang kondusif bagi pembangunan ekonomi melalui otoritas pengontrolan masyarakat oleh Negara (depolitisasi), penyederhanaan partai politik dan penerapan kebijakan politik massa mengambang (floating mass).
Implikasinya kebijakan ini lebih diprioritaskan melindungi investasi padat modal demi terjaminya pertumbuhan ekonomi. Sementara peran serta masyarakat terutama petani dan buruh tani/perkebunan yang paling berkepentingan dalam hal ketersediaan dan penggarapan tanah tidak dapat ditumbuhkan, karena tidak memadainya kebijakan dan perhatian pemerintah menyangkut; status hukum pemilikan tanah, pencatatan, perubahan pemilikan tanah, konflik-konflik horizontal menyangkut tanah, dan perlindungan hukum bagi buruh yang rentan terhadap eksploitasi oleh pemilik modal serta penyaluran aspirasi dan keinginan petani dan buruh tani/perkebunan tersumbat, tidak dapat menemukan jalannya keperwakilan rakyat atau pemerintah.
Di sisi lain masih bercokolnya tradisi kepemimpinan feodalistik warisan kolonialisme. Sejak penerapan cultuurstelsel sangat merangsang tumbuhnya pamong desa. Pamong desa di Indonesia sebagai organisasi pra-birokrasi telah dikondisikan oleh pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaanya. Sejak itu kepemimpinan desa yang tradisional dan demokratis mulai luntur. Orientasi kepala desa kepada atasannya menjadi lebih kuat dalam pengerahan tenaga kerja, pemungutan pajak hasil bumi dan mengawasi tanam paksa dari pada mengayomi kepentingan rakyat. Sementara dalam benak pemerintah masih membayangkan desa-desa masih masyarakat-masyarakat demokratis. Kekeliruan persepsi demikian memperparah kondisi petani dan buruh tani di dalam memperjuangkan aspirasi dan keinginan ditengah penindasan dan ekploitasi oleh pihak perkebunan[3].
Kehidupan, sejarah kehidupan kelompok Buruh perkebunan hampir tidak tersentuh oleh siapapun juga, meskipun mereka tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Negara dan kelompok-kelompok dominan yang menaunginya. Kelompok-kelompok ini adalah kelompok-kelompok yang kalah, terpinggirkan dari arena kekuasaan. Mereka adalah kelompok inferior, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas elite yang erkuasa. Sejarah kehidupan kelompok ini tenggelam oleh sejarah kelas dominan yang diakui sebagai sejarah resmi. Kelompok ini tak punya akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural[4].
Kelompok-kelompok buruh dalam perkembanganya mengalami transformasi dalam wilayah produksi ekonomi, difusi kuantitatif dan asal-usul mereka dari kelompok sosial pra-ada, jelas mempunyai perbedaan cara hidup, kebiasaan, mentalitas, ideologi dan tujuan yang mereka kekalkan untuk suatu waktu, dengan kelompok-kelompok lainya dalam suatu negara[5].
Kelompok buruh perkebunan di Indonesia umumnya adalah mereka yang tidak mempunyai tanah ditempat kelahiranya dan banyak didatangkan dari Jawa. Di Sumatra Utara dikenal istilah “Jakon” (Jawa Kontrak) dengan sistem kontrak. Awalnya dikontrak untuk 3-5 tahun kerja. Namun telah banyak buruh memilih tinggal di tempat perkebunan, karena tidak mempunyai apa-apa lagi di Jawa dan tidak punya modal usaha bila kembali ke kampung halamanya.
Dapat dibayangkan tantangan mereka pada awalnya adalah bagaimana mengatasi keterasingan ekologis, sedikit banyak berpengaruh pada keterpecahan identitas dan solidaritas genealogisnya. Pola hidup, kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma genealogis telah tereduksi bahkan terdistorsi menyesuaikan diri dengan ekologis baru. Mereka harus menyesuaikan diri dengan “sangkar besi” standard rutinitas pola kerja, mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan diawasi secara sepihak oleh perusahaan perkebunan. Kebiasaan-kebiasaan mengikutsertakan istri dan anak dibawah umur bekerja membantu suami demi mengejar target kerja dan bonus terpaksa mereka lakukan karena upah yang diterima tidak sebanding dengan kebutuhan hidup normal sehari-hari. Pola makanan “seadanya’’ tidak sebanding dengan energi yang dikeluarkan pada saat bekerja, telah melahirkan profil buruh perkebunan yang kerdil memprihatinkan. Kebiasan-kebiasaan hidup buruh tersebut terwariskan dari generasi-kegenerasi berikutnya sehingga membentuk budaya buruh perkebunan yaitu sekelompok masyarakat yang sangat tertutup, penuh curiga, penakut, nrimo/pasrah sangat mapan dengan kemiskinannya.
Perspektif Cultural studies dan teori

Dari ulasan singkat di atas, barangkali sudah dirasakan pembaca bahwa masalah buruh perkebunan merupakan masalah kompleks. Oleh karena itu diperlukan sekian banyak segi pandang baik dari tinjauan sosiologis, psikologi sosial, politik, ekonomi, hukum. Masalah kesejahteraan rakyat umumnya, khususnya Buruh perkebunan begitu erat kaitanya dengan penguasaan atas tanah, modal, dan asset oleh lapisan masyarakat tertentu dan faktor kekuasaan biasanya terdiri dari kombinasi faktor-faktor politik, hukum, pendidikan, ekonomi dan sosial.
Untuk menjembatani berbagai sudut pandang tersebut, penulis menggunakan perspektif cultural studies. Sebagai suatu kecenderungan cara berpikir, model analisis atau model pemahaman. mengkombinasikan berbagai teori dan metode cultural studies memiliki ciri-ciri menonjol antara lain; pertama, cenderung menganalisis obyek kajian tertentu melibatkan disiplin yang berlainan (multi disiplin) dan berkaitan dengan praktek operasi kekuasan di berbagai institusi; kedua, mendefenisikan kebudayaan sebagai aktifitas yang tampak kepermukaan dan dialami oleh sekelompok orang tertentu dalam praksis kehidupan sehari-hari; ketiga, budaya bukan hanya sebagai warisan tetapi socially constructed maka budaya disamping membentuk partisipanya juga orang-orang yang hidup didalamnya aktif membentuk kebudayaanya serta proses pembentukanya tidak terlepas dari usaha berbagai kelompok memperebutkan sumber daya dan selalu mengandung persaingan kekuasaan melalui mekanisme bahasa dan ideologi; keempat, perspektif cultural studies sangat menfokuskan perhatianya pada budaya-budaya minoritas, termajinalisasi, budaya pinggiran termasuk budaya kaum buruh nyaris ditolak oleh masyarakat dengan tujuan memberikan kuasa bagi orang-orang pada umumnya (cultural of common people) untuk melawan hegemoni budaya dominan [6].
Tugas cultural studies melalui kekhususan perspektifnya adalah melakukan kritik ideologis dan kritik kebudayaan, artinya munculnya kebudayaan kelompok minoritas (Buruh perkebunan) merupakan kontruksi sosial dari berbagai kelompok sosial dalam memperebutkan sumber daya, dalam hal ini tanah, hasil perkebunan dan Buruh. Wilayah kajianya meliputi, ide, sikap, bahasa,institusi dan stuktur kekuasaan (hasil budaya) sebagai layaknya sebuah teks yang diinterpretasikan secara holistik.
Dengan demikian dalam mengkaji budaya Buruh perkebunan menggunakan; pertama, teori pembacaan (reading) tentang bagimana Buruh perkebunan dalam memahami dirinya yaitu bagaimana mereka mengaitkan sebuah fenomena kehidupan dengan situasi sosial mereka. Dalam hal ini memperlihatkan penghargaan yang tinggi dan serius terhadap “sang lain” (the other) diberi ruang berbicara; Kedua, teks (kumpulan tanda) tidak berada dalam ruang hampa. Dengan demikian budaya (perkebunan) dilihat sebagai sebuah bangunan, yang dibangun oleh kombinasi tanda-tanda (teks) berdasarkan aturan tertentu (code) menghasilkan makna (meaning) beroperasi dalam berbagai macam bentuk-bentuk relasi-relasi institusional; Ketiga, memerlukan metode analisis, cara berpikir yang berkaitan dengan “pembongkaran” terhadap berbagai (bahasa, kekuasaan, institusi, obyek sosial) yang ada relasinya dengan Buruh dalam rangka mengatasi berbagai bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang ada didalamnya; Keempat, berupaya menyikapkan relasi yang melekat antara praktik sosial, pengetahuan yang melandasinya (knowledge) dan relasi kekuasaan (power relation) membentuk berbagai wacana atau discourse.[7]
Profil PT Perkebunan Socfindo
Aktivitas managerial dan administratif berkantor pusat di Medan. Aktivitas di lapangan perkebunan dikoordinir oleh Administrateur (ADM) dibantu oleh Asisten Perkebunan dan Mandor. Asisten perkebunan membawahi suatu wilayah disebut Afdeling dan Mandor membawahi suatu wilayah disebut Blok dan beberapa Buruh sesuai dengan aktivitas dan kebutuhan perkebunan.
Salah satu fenomena yang menonjol di perkebunan ini eksploitasi buruh telah mengakar berlangsung secara sistematik. Eksploitasi dilakukan mulai dari proses rekruitmen, prosedur dan mekanisme kerja, pengendalian dan pengawasan kerja.
Dalam proses rekruitmen pekerja, pihak perkebunan tidak mengalami kendala karena kelimpahan tenaga kerja terampil dan murah[8]. Sebagaimana strategi perusahaan, kelicinanya menyesuaikan diri dengan budaya setempat seperti merekrut Mandor atau Asisten kebun dari orang yang “berpengaruh” di lingkungan sekitar sekaligus merekrut pekerja yang dekat denganya atau lewat kesukuan sehingga sangat efektif sebagai alat kontrol[9].
K etentuan tentang pembagian kerja, peraturan kerja sangat tergantung Kepada Asisten kerja dan Mandor, tidak ada sistem kenaikan golongan, kenaikan gaji berkala dan spesialisasi pekerjaan.[10] Buruh dibedakan lagi menurut statusnya. Ada yang dinamakan buruh tetap dikenal dengan buruh Sistem Kerja Upah (SKU),dan buruh Harian Lepas biasa disebut Annemer[11].
Di Perkebunan ini menerapkan sistem kerja berdasarkan jam kerja/hari dan pencapaian target tertentu secara bersamaan, ditentukan sepihak oleh perkebunan. Bila seorang Buruh telah bekerja 7 jam/hari tetapi belum mencapai target kerja borongan yang telah ditentukan, maka Buruh kebun tidak diperkenankan pulang sebelum target kerja tercapai. Sebaliknya bila target telah tercapai namun belum mencapai 7 jam kerja, Buruh kebun belum dibenarkan pulang, dan dipaksa sampai 7 jam kerja terpenuhi. Kelebihan target kerja yang dicapai oleh Buruh akan dihitung sebagai Over Basis dengan dasar perhitungan premi. Harga premi dari Over Basis ditentukan sepihak oleh perkebunan.
ampak sistem kerja demikian mengakibatkan Buruh kebun sangat sulit memenuhi atau mencapai target kerja karena tidak mengenal situasi.[12] Jika target kerja tidak terpenuhi Buruh mendapatkan sanksi atau hukuman berpengaruh pada upah yang mereka terima.[13] Pilihan melibatkan anggota keluarga suami,istri atau anak terpaksa mereka lakukan untuk mencapai target yang ditentukan sepihak oleh perkebunan.
Hampir keseluruhan pekerjaan buruh rentan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Anehnya Buruh bekerja tanpa dilengkapi perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja secara memadai. Pekerjaan memanen rentan resiko-resiko yang mungkin timbul adalah seperti tertimpa buah, mata terkena kotoran berondolan atau tertimpa pelepah. Seperti halnya pemupukan dan penyemprotan, setiap hari Buruh berinteraksi dengan bahan-bahan kimia beracun[14].
Tabel 1
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)
Bidang kerja
Resiko
Peralatan dan Perlengkapan Kerja
Disediakan Perusahaan
Keterangan
Memanen
1. Tertimpa buah
2. Mata kena
kotoran dan
atau brondolan
3. Tertimpah
Pelepah daun
4.Terkena duri
5.Tergigit binatang
berbisa.
- Helm
- Pelindung mata
- Sarung tangan
- Sepatu


Tidak ada perlengkapan diberikan perkebunan

Menyemprot
1. Keracunan
2. Kulit melepuh
3. Mata pedih
4. Kepala pening
5. Perut mual-mual
6. Batuk-batuk
- Masker
- Sarung Tangan
- Pakaian Khusus
- Topi
- Sepatu
- Pelindung Mata
Baju Lengan Panjang dan Celana Panjang
Pernah diberikan Masker tetapi tidak digunakan karena sesak nafas waktu menggunakan
Memupuk
1. Tangan panas
2. Kulit melepuh
3. Perut mual
4. Kepala pening
- Sarung tangan
- Topi
- Sepatu
- Masker
- Baju Lengan
Panjang
- Celana panjang
Perusahaan hanya menyediakan sarung tangan, jika selesai memupuk harus dikembalikan
Buruh lebih sering bekerja tanpa menggunakan sarung tangan karena sarung tangan yang diberikan perusahaan bocor-bocor














Tabel 2
Penggunaan Bahan-Bahan Kimia


Bidang Kerja
Bahan yang
digunakan
Formulasi Kimiawi
Keluhan yang dialami Buruh
Menyemprot
1. Gromoxone
2. Ally
3. Rhodiamine
4. Roundup
- Parakuat diclorida 276/ltr
setara dengan ion 200/ltr
- Metsulforon 20%
- 2,4-Ddimetil amina setara
dengan asam 2,4 D 720gr/
ltr.
- Sesak nafas, radang tenggorokan, batuk batuk
-gatal-gatal dikulit dan melepuh
-Muntah darah
-Kulit badan melepuh
-Kepala pening
-Perut mual, nafsu makan berkurang
-Uap racun tidak hilang sampai beberapa hari
Memupuk
1. Urea
2. TSP
3. Fospat
4. NPK
5. Kurater
6. Borate
1.P2, O5
2.Natrium, Fospat, Kalsium
3. Natrium, fospat
4. Corfuran 3%
5. Sodium Tetraborate
Pentahidrate
6. Na2, B4, 07, SH20
-Telapak tangan melepuh
-Kulit panas bila bersentuhan dengan bahan
-Kepala pening
-Perut mual
-Selera Makan berkurang




Sumber : Observasi dan Pengamatan Lapangan Pada Bulan Juni 2004

Sistem pengawasan di perkebunan ini tidak hanya pengawasan internal, tetapi dilengkapi dengan pengawasan ekternal secara berlapis. Pengawasan internal kental sekali arogansi perkebunan tampak dalam wujud tekanan-tekanan Asisten Perkebunan maupun Mandor. Kebijakan akan target-target kerja, sanksi-sanksi kerja sama sekali tidak pernah disosialisasikan ataupun didialogkan.[15] Pengawasan eksternal melibatkan penggunaan perangkat-perangkat keamanan sebagai bagian sistem pengawasan, diantaranya Satpam, Hansip, Centeng, mata-mata (spionase) sampai pada “oknum” anggota POLRI dari Polsek setempat.
Penataan pemukiman dan pembangunan pemukiman Buruh merupakan bagian sistem pengawasan. Pola pemukiman Buruh terkonsentrasi dan berada ditengah-tengah lokasi perkebunan relatif terisolasi jauh dari pemukiman penduduk. Pemukiman Para Tuan kebun berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Kemudian pada bagian depan kompleks pemukiman Buruh dikenal dengan Emplasmen/Pondok ditempatkan dan disediakan rumah bagi para Mandor kebun berbaur dengan Buruh.
Fasilitas perumahan disediakan bagi Buruh yang berstatus Buruh SKU walaupun fasilitas lainya seperti air dan listrik sangat buruk dan terbatas.[16] Namun tidak semua Buruh SKU tertampung karena keterbatasan jumlah perumahan yang disediakan. Ada beberapa Buruh yang tinggal di luar perkebunan dan pihak perkebunan memberikan pengganti sewa rumah sebesar Rp.25.000,- per bulan.
Penerangan di rumah-rumah Buruh diperoleh dari listrik yang disalurkan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Pembayaran tegangan listrik setiap bulan di tanggungkan perusahaan kepada Buruh dengan memotong langsung gaji setiap bulan sebesar jumlah yang tertera dalam rekening listrik ditambah Rp. 500.
Fasilitas pendidikan untuk anak Buruh di perkebunan ini sangat minim dimana hanya terdapat dua unit Sekolah Dasar (SD). Satu unit terletak di afdeling II dan satu unit lagi terdapat di desa dekat dengan emplasmen. Jika ada anak Buruh yang berkeinginan melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi misalnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah menengah Umum (SMU) terpaksa buruh harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Sementara itu Buruh tidak mendapat tunjangan untuk anak sekolah dari perkebunan, baik biaya sekolah maupun transport.[17]
Untuk pelayanan kesehatan, pihak perkebunan mendirikan satu buah Poliklinik melayani lebih kurang 600 orang buruh. Tidak mudah bagi buruh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak karena harus berurusan dengan birokrasi perkebunan, dan “kebaikan hati” Mantri, Perawat maupun Kerani kebun.[18] Di kalangan Buruh ada istilah yang menggambarkan buruknya pelayanan kesehatan di Poliklinik tersebut yaitu “Ruang Tunggu” atau “Ruang Tunggu Mati”. Artinya setiap buruh kebun yang berobat ke poliklinik itu tinggal hanya menghitung hari atau menunggu mati saja.[19]
Bentuk dan Pola Exploitasi Buruh
Umumnya bentuk dan pola ekploitasi Buruh diproduksi oleh pola relasi kekuasaan yang timpang antar golongan atau lapisan masyarakat yang menguasai tanah, dan asset atau modal-modal lain yang kuat ada pula yang lemah atau sama sekali tidak mempunyai kuasa apapun sehingga sangat tergantung.
Dasar kekuasan biasanya suatu kombinasi faktor-faktor politik, ekonomi, hukum dan sosial, dimana faktor-faktor itu sukar dipisahkan secara sempurna. Keterjalinan faktor-faktor tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus diungkapkan secara berani dan obyektif, tanpa menimbulkan praduga bahwa ungkapan seperti ini akan mengadu domba atau memecah belah lapisan masyarakat.
Pola relasi kekuasan yang timpang cenderung memproduksi berbagai bentuk eksploitasi melalui apa yang dinamakan dominasi hegemonik dan dominasi represif. dominasi hegemonik ditandai oleh bekerjanya operasi kekuasaan yang timpang melestarikan diri dalam bentuk operasi struktur “pengetahuan”, ditransmisikan melalui wacana tanda atau simbol dan praktek sosial menempatkan posisi yang didominasi pada posisi yang subordinat menyerap begitu saja tanpa hambatan kesadaran kritis. Dominasi repressif ditandai oleh bekerjanya operasi struktur kekuasaan yang timpang menciptakan pola ketergantungan yang tidak terelakkan. Suatu saling relasi, membentuk hubungan yang tidak mungkin terlepaskan. Kondisi tersebut menjadi lahan subur bagi kelompok yang mendominasi memproduksi dan membiakkan berbagai bentuk kekerasan untuk menata, mengontrol dan mengendalikan kelompok yang didominasi, melalui mekanisme sistem hubungan kerja, prosedur kerja dan pengendaian/pengawasan.
Akumulasi pola dominasi hegemonik dan dominasi represif memproduksi profil buruh yang kerdil tapi penurut ibarat sebuah “bonsai”. Sebentuk “bonsai” adalah tumbuhan yang dijauhkan dari ruang habitusnya, diisolasi dalam ruang terbatas diberi makan-minum secukupnya sesuai selera dan keinginan si pembonsai, dinikmati sebagai “mainan” yang menyenangkan bagi pemiliknya.
Dominasi Hegemonis
Buruh perkebunan sangat hormat kepada Mandor, Asisten Kebun dan ADM baik dalam lingkungan pekerjaan, maupun keseharaian diberbagai dihajatan (pesta) Buruh diluar perkebunan. Rasa hormat Buruh terhadap atasanya tercermin dalam ungkapan sapaan “Ndor” (singkatan Mandor). Sapaan tersebut bukan hanya sapaan yang merefleksikan tingkat kesopanan (politeness) antara Buruh dengan Mandor, tetapi disana tersimpan dan terlembagakan suatu pola relasi yang tidak simetris.
Secara historis sapaan itu memiliki fitur makna feodal, kolonial. Pemerintah Kolonial melembagakan pengaruhnya lewat Mandor (biasanya direkrut dari kasta/golongan aristokrat) yang memberikan wewenang penuh di dalam mengontrol dan mengawasi Buruh secara mutlak. Sang Mandor memiliki “kuasa penuh” atas Buruh, dan dengan pemilik perkebunan Mandor menerapkan pola bertindak “asal tuan senang” sehingga oleh Mandor, Buruh “dipaksa ” mengabdikan diri pada pemilik perkebunan.
Penggunaan simbol-simbol, pakaian kerja ; celana pendek, kemeja, sepatu oleh raga dengan kaus kaki panjang hingga lutut selalu digunakan lengkap dengan “Mobil Kuning” mirip seperti zaman penjajahan ketika Tuan Kebun berkeliling mengontrol Buruh bekerja.[20] Dalam benak Sang anak “mobil kuning” identik dengan Sang kuasa atas Bapak dan keluarganya. “Tragedi psikologik” ini rupanya terwariskan dari generasi ke generasi. Pengalaman-pengalaman Buruh ketika berhadapan dengan petinggi-petinggi perkebunan tersosialisasikan dan terinternalisasi dalam kepribadian sang anak. Hal ini dapat dimaklumi ketika sistem rekruitmen buruh perkebunan sebagian besar rekruitmen warisan, sehingga buruh tersebut sulit untuk melakukan kritik atau perlawanan bila diperlakukan secara tidak adil. Dalam alam ketaksadaran mereka, tunduk kepada petinggi-petingi perkebunan adalah “takdir”.
Namun demikian bukan berarti tiadanya resistensi Buruh terhadap petinggi-petinggi perkebunan. Sikap sebahagian kalangan Buruh sedapat mungkin berusaha menghindari “mobil kuning” karena perjumpaan dengannya dirasakan merupakan “sumber masalah” bagi ketentraman hidup mereka.[21]
Pola reproduksi dan distribusi pelembagaan “kekuasaan” secara menonjol dalam wacana praktek kerja Buruh. Akibat dominasi struktural, pihak perkebunan kepada Buruh memungkinkan penerapan sangsi-sangsi dilakukan semata-mata hanya didasarkan lewat penetapan Mandor ataupun Asisten Kebun di lapangan seperti hukuman kepada salah seorang buruh panen yang “terlanjur” memotong buah sawit mentah, untuk mengejar target kerja ditetapkan sepihak oleh perkebunan. Si Buruh menanggung “malu” karena harus mengelilingi perumahan perkebunan sambil mengalungkan karton yang bertuliskan “Atan Tukang Potong Buah Mentah” telah diberlakukan ibarat seorang penjahat atau tindakan kriminal.[22] “Tukang Potong” bermakna suatu pekerjaan memotong dilakukan secara berulang-ulang atau phrase itu menunjuk pada suatu kebiasaan kerja yang merupakan suatu “profesi”. Hukuman “berkeliling perumahan buruh” menggambarkan “kesalahan” adalah “kejahatan” suatu tindakan kriminal. Pada hal menurut Atan buah yang dipotongnya bukan lagi buah mentah, Atan memotong buah berondol 2 untuk memenuhi basis borong yang ditentukan perusahaan karena buah berondol 5 sulit ditemui sehubungan pada saat itu sedang musim trek buah (jumlah buah sedikit).
Kekerasan simbolik tersebut kemudian didistribusikan. “Atan Tukang Potong Buah Mentah” adalah sebuah proses pengkodean menuju suatu konvensi alamiah bahwa siapa saja yang memotong buah mentah mereka dihukum seperti Alan, menghasilkan makna pelembagaan dan pewarisan kekuasaan melalui wacana simbol.
Pelembagaan kekuasaan juga bisa dalam bentuk “pengaturan ruang”. Sebisa mungkin buruh dijauhkan dari ruang sosial yang memungkinkan mereka membagun identitas kelompok tertidas, mengartikulasikan simbol-simbol budaya sebagai akumulasi konsep yang bersifat ideologis melindungi kepentingan mereka. Penataan pemukiman dibangun sedemikian rupa terkonsentrasi ditengah-tengah perkebunan serta berada dalam pengawasan dan kekuasaan Mandor, menyebabkan buruh terisolir dari segala macam perkembangan-perkembangan di luar perkebunan baik perkembangan sosial, ekonomi maupun budaya.
Itulah sebabnya di kalangan Buruh tidak terjadi penguatan identitas. Secara teoritis rasa “tertekan” dan “penderitaan” yang mereka alami salah satu faktor penyebab terjadinya penguatan identitas.[23] Identitas-identitas para Buruh dalam perkembanganya sangat terfragmentasi dalam struktur yang bersifat subyektif sehingga menyulitkan bagi mereka untuk mengubah menjadi struktur obyektif menyatukan kepentingan mereka. Situasi yang demikian terjadi akibat realitas sosial Buruh dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman situasional mereka, seperti terbatasnya “ruang sosial” mewacanakan tatanan-tatanan sosial mereka, keterbatasan “modal sosial” seperti ; keterbatasan pendidikan, ekonomi serta faktor ekternal seperti hukum kurang melindungi kepentingan mereka.[24]
Dominasi Repressif
Pada masyarakat agraris, akses penguasaan, pemilikan tanah merupakan salah satu sumber kekuasaan bagi petani dan buruh tani. Lapisan-lapisan masyarakat maupun status sosial ditentukan oleh pemilikan dan penguasaan tanah. Semakin luas akses kepemilikan dan penguasaan tanah maka semakin tinggi status sosialnya dan semakin besar kepemilikan “kekuasaanya”. Umumnya struktur Buruh perkebunan di Sumatera Utara adalah buruh yang tidak mempunyai akses pemilikan dan penguasaan tanah. Perkembangan perkebunan besar dahulu menarik banyak tenaga dari Jawa.
Sementara Buruh makin bertambah banyak, mereka juga membutuhkan tanah untuk pertanian pangan. Walaupun ada usaha mereka membuka lahan baru agar mempunyai tanah untuk ditanami padi dan sayur-sayuran menambah penghasilan sebagai buruh, dengan berbagai cara para pemilik perkebunan berusaha merampasnya. Cara-cara seperti membujuk dengan janji akan dinaikkan statusnya menjadi Mandor, pemberian ganti rugi yang tidak sepadan ataupun dengan cara memaksa, mengamcam akan di PHK bila tak mau memerima ganti rugi, atau dengan tuduhan terlibat G.30S. Anehnya perampasan tanah selalu menggunakan/melibatkan elite lokal, melakukan penangkapan dan penahanan bagi mereka yang tidak mau menyerahkan tanahnya.[25]
Pola penguasaan tanah dan pemilikan tanah oleh sekelompok elite yang sangat kuat dan akibatnya adalah memeras tenaga buruh yang tidak mandiri, bahkan tergantung pada penguasa tanah sehingga nasibnya merana. Berbagai macam pola dan cara terus diproduksi dan dibiakkan oleh pihak perkebunan memeras buruh baik berupa kekerasan fisik, kekerasan struktural lewat mekanisme sistem hubungan kerja, sistem kerja, pengupahan dan pengawasan.
Kekerasan fisik dapat berupa “bentakan”, “siksaan” bila mana pekerjaan Buruh tidak sesuai dengan standart kerja, jam kerja serta target kerja yang ditentukan sepihak oleh Perkebunan. Berbagai macam cara “dihalalkan” seperti misalnya hukuman yang diberikan “mengelilingi perumahan sambil memikul jenjang sawit” yang sebetulnya tidak ada dalam peraturan kerja. Pendekatan kekerasan oleh perkebunan terhadap buruh sangat akrab dalam langgam hidup keseharian mereka.
Bentuk kekerasan struktural yang menonjol adalah akibat pola hubungan kerja yang sangat tergantung kepada Asisten kebun dan Mandor. Penentuan hukuman ditentukan sepihak oleh Mandor atau Asisten kebun, bahkan tidak jarang Administrateur (ADM) turut melakukan pengawasan langsung dilapangan dan memberlakukan hukuman secara semena-mena. Besarnya wewenang dan kekuasaan Asisten kebun dan Mandor membuka peluang bagi “kesewenan-wenangan” perlakukan terhadap Buruh dalam bentuk “ancaman” pemindahan buruh permanent menjadi buruh harian, memelihara ketidakjelasan status Buruh karena tidak ada surat (bukti) pengangkatan Buruh. Keluguan dan kepolosan Buruh dipelihara dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kepentingan perkebunan.
Kekerasan “terselubung” oleh pihak perkebunan dengan cara “pembiaran” Buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Kisah Buruh pemupukan dan penyemprotan Sawit misalnya adalah kasus representasi bagaimana “pembonsaian buruh” secara sistematis terjadi.[26] Tidak ada antisipasi pencegahan keracunan dan perlindungan kesehatan Buruh. Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan pendidikan tentang bahaya, resiko dan dampak zat-zat kimia yang digunakan, melakukan pemerikasaan kesehatan Buruh kepada dokter ahli, dan merotasi Buruh yang bekerja di bagian yang berhubungan dengan bahan kimia yang berbahaya.[27] Sementara itu dari sisi ekonomi, Buruh tidak mampu membeli makanan bergizi untuk mengganti sel-sel tubuh mereka yang keracunan karena upah yang mereka terima sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum setiap hari.[28] Dengan melihat perbandingan antara pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari ditambah dengan berbagai potongan lainya dengan besar upah yang diberikan managemen perusahaan sangatlah tidak mencukupi. Oleh karena itu, Buruh kebun akan bekerja sebanyak mungkin dengan melibatkan seluruh anggota keluarga hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan makan dengan kualitas yang memprihatinkan, sementara beban kerja memerlukan energi yang tinggi tidak sebanding dengan kualitas makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Lemahnya posisi Buruh justru dimanfaatkan oleh perkebunan untuk “memeras” seperti terdapat beberapa item potongan upah. Iuran SPSI, potongan IMPS, potongan denda (sangsi/hukuman), potongan PPH psl 21, sama sekali Buruh tidak mengerti mengapa dan untuk apa potongan itu. PPH psl 21 Undang-undang Pajak Penghasilan. Pada hal Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.27 Tahun 2001, dinyatakan bahwa pajak untuk Buruh hingga sebesar UMP yang berlaku ditanggung oleh Negara. Upah Buruh perkebunan sebesar Rp 546.500,- sama dengan UMP Sumatera Utara tahun 2004, namun demikian managemen perkebunan tetap saja melakukan pemotongan upah PPH psl 21.
Jejaring Kekuasaan Penindas
Secara sederhana dari sudut pandang sosiologis, perkebunan dapat didefenisikan sebagai keseluruhan fenomena dan hubungan-hubungan institusional yang timbul akibat proses produksi dan distribusi hasil tanaman kebun. Ada paling tidak 3 pilar utama kelompok yang berkepentingan disana. Pilar pertama adalah para pemilik modal (pengusaha) berkepentingan bagaimana memaksimalkan keuntungan (kapital) yang diinvestasikan. Dalam realitasnya para pemilik modal “lebih suka” menanamkan modalnya bila ada jaminan iklim kondusif menjalankan usahanya berupa “proteksi” ataupun kemudahan-kemudahan tertentu seperti konsesi-konsesi pemilikan- penguasaan tanah, jaminan tersedianya “tenaga kerja murah” serta jaminan politik dari rongrongan kekuatan-kekuatan kepentingan (interest group). Dalam menjamin ketersediaan fasilitas itu, maka pengusaha (pemilik modal) akan selalu berusaha menggandeng kekuasaan Negara (pemerintah) sebagai mitra strategisnya. Pilar kedua, adalah pemerintah sebagai pemegang otoritas politik atas regulasi mengatur, mengontrol dan mengevaluasi para pihak pelibat. Tentu saja pemerintah punya kepentingan tersendiri seperti pajak perusahaan, pajak penghasilan dan penyerapan tenaga-kerja mengatasi pengangguran dalam Negara. Secara normatif posisi pemerintah strategis samping sebagai regulator, dapat memainkan peranan sebagai “wasit” menyelesaikan persoalan yang timbul antara pengusaha dengan masyarakat. Tapi dalam realitas pemerintah sering memerankan peran ganda baik sebagai “pemain” sekaligus “wasit” sehingga sering muncul “konflik kepentingan” ketika berhadapan dengan pemilik modal. Pilar ketiga, adalah masyarakat sipil (Civil Society) yang berkepentingan bahwa dengan aktivitas perkebunan berdampak pada meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan mereka.
Pola interaksi dan interrelasi ketiga pilar tersebut tidak selalu berjalan secara harmonis. Bagaimanapun pola interaksi dan interelasi mereka berjalan secara dinamik, dimana merupakan arena pertarungan kekuasaan sepanjang masa. Konflik kepentingan dan kontelasi ketiga pilar tersebut terjadi antara kekuatan yang dominan dan yang didominasi. Dialektika dominasi dan resistensi seperti ini berlangsung terus menerus dalam konteks sejarah, sosial dan politik yang berubah-ubah. Namun pertarungan tersebut tidak selalu nampak kasat mata, tetapi senantiasa relasi kekuasaan itu terbungkus secara apik dalam struktur wacana dan kebudayaan. Kenyataanya sehari-hari kita bisa melihat bagaimana kelompok tertentu menjadikan “kebudayaan” sebagai alat untuk menumpuk kekuasaan atau sebaliknya menggunakan “kekuasaan” untuk mengontrol kebudayaan.[29]
Buruh perkebunan adalah salah satu bagian organik dari kelompok masyarakat sipil (Civil Society). Meskipun secara struktural mereka adalah bagian tak terpisahkan dari perusahaan, tetapi kesatuan fundamental historis, secara kongkrit tidak tergabung dan tidak dapat bersatu. Karenanya mereka adalah sekelompok golongan masyarakat sipil yang menjadi subordinat atau golongan subyek dominan bagi kelompok-kelompok dominan. Kelompok-kelompok dominan itu adalah suatu kekuatan yang senantiasa eksis dalam sejarah masyarakat post-kolonial meskipun bukan dalam bentuk aslinya. Secara ideologis, menurut Said (1978) proyek kolonisasi adalah sebuah proyek kekuasaan tentang bagaiman kontruksi “Barat” terhadap “Timur”. Proyek kolonisasi inilah yang membentuk dan meninggalkan jejak-jejak warisan kolonial di negeri terjajah. Karena itulah Negara-negara bekas kolonisasi menyimpan struktur dan hirarkhi kekuasaan yang merupakan warisan dari regim kolonial, hingga kini masih dipraktekkan oleh masyarakat pasca-kolonial.
Namun demikian Perhatian kita pada penindasan selama ini hanya berpusat pada “aktor-aktor luar”, kini meski ditambah dengan perhatian kepada “aktor-aktor dalam”. Dalam perspektif Guha (1982) struktur dikotomi masyarakat post kolonial adalah “‘elite dan subaltern”. Yang dimaksud elite adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing bisa pemilik industri, pemilik perkebunan Yang pribumi dibagi menjadi dua yang beroperasi di tingkat nasional (pegawai pribumi dibirokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal (pegawai pribumi di birokrasi lokal, birokrasi perkebunan). Meminjam terminologi Gramsci, kelompok ini adalah kelompok intelektual organik ideologi kapitalis. Cara bekerjanya sangat mujarab mengiring individu menjadi subyek yang dengan penuh kerelaan dan atas kehendaknya menjadi mahkluk-mahkluk bentukan melanggengkan proses reproduksi produksi kapitalis. Sedang kelompok subaltern adalah mereka yang bukan elite adalah kelompok-kelompok pekerja, lapisan menegah kota dan desa, yaitu rakyat di daerah setempat. Kelompok-kelompok menengah perkotaan dan pedesaan yang terdidik dan berlatar belakang aristokrat, kelompok kepentingan (interest group) adalah mereka memainkan peranan sebagai apparatus organik bekerja di lapangan demi kepentingan pemilik modal. Mereka yang menamakan dirinya antikolonial bisa jadi lebih bersifat kolonial dari pada yang menyatakan dirinya kolonial. [30]
Pola kekuasaan tersebut bukan lagi terpusat (centering) dikotomi penguasa-yang dikuasai, tetapi menyebar saling ketergantungan membentuk jejaring kekuasaan melalui mekanisme pembagian wewenang.regulasi-regulasi mengatur, mengendalikan kelompok Buruh dan masyarakat biasa yang didominasi.
Pola relasi kekuasaan yang paling harmonis membentuk “relasi simbiolisme mutualisme” bentuk relasi antara penguasa-pengusaha. Penguasa memberikan jaminan “kenyamanan berusaha” termasuk jaminan keamana sosial dari berbagai bentuk kekuatan lokal, sementara pengusaha memberika “upeti”, bahkan tidak jarang menjadi suplayer dana-daya bagi kepentingan politik praktis penguasa dan kelompok-kelompok kepentingan (interest group) baik elite sipil maupun militer. Bukan rahasia lagi bilamana perusahaan perkebunan selalu memberikan “upeti” kepada Preman, Organisasi Kepemudaan (OKP) kepada pemerintah termasuk Polisi dan Pemerintah Daerah setempat dimana Perusahaan Perkebunan itu berada.
Salah satu kasus menggambarkan bagaimana pola jejaring kekuasaan tersebut bekerja yaitu kasus perambahan hutan bahkan perampasan tanah milik Buruh perkebunan PT Socfindo seluas 150 Ha. Kasus ini bermula pada sekitar Tahun 1963, beberapa Buruh perkebunan membuka hutan/lahan untuk dijadikan lahan pertanian. Menurut Partiem salah satu Buruh kontrak dari Jawa Tengah menuturkan dia dan suaminya bersama dengan kawan-kawan sesame Buruh membuka lahan yang saat itu masih berupa hutan lebat dan tanah rawa yang ditanami padi dan sayuran, untuk menambah penghasilan yang diterima, karena upah dari perkebunan tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Pada Tahun 1996, melalui Kerani dan Mandor perkebunan memerintahkan agar Buruh menyerahkan tanah yang ada disekitar perkebunan. Kontan saja para buruh tidak mau menyerahkan tanahnya, kemudian Mandor perkebunan “bergerillia” mendatangi rumah Buruh satu per satu dan memaksa Buruh menandatangani “sebuah surat” dengan ancaman apabila tidak mau menandatangani surat itu akan dikeluarkan dari perkebunan. Mayoritas Buruh tidak mau menandatangani termasuk Partiem dan suaminya. Kemudian pihak perkebunan memanggil Buruh satu per satu ke kantor Afdeling. Di Kantor Afdeling, perkebunan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan tanah, mulai dari membujuk akan diberikan ganti rugi sebesar Rp. 450.000,- hingga mengancam akan dimasukkan ke kantor Polisi. Sebahagian orang terpaksa menyerahkan tanah, tetapi sebahagian yang lainnya mempertahankan/tidak menyerahkan, dan sampai sekarang tetapmenguasai tanahnya.
Mereka yang telah menyerahkan tanahnya, menuntut kembali tanahnya karena penguasaan lahan oleh perkebunan dilakukan secara paksa. Perjuangan mereka menjadi lebih kuat karena mereka tidak lagi bekerja/telah pensiun dan saksi hidup peristiwa perampasan tanah itu masih banyak yang hidup. Akan tetapi pihak perkebunan tidak hanya menggunakan kekuasaan mereka. Perusahaan perkebunan juga menggunakan Alat Negara seperti Polisi dan Koramil. Buruh yang menggugat kembali tanahnya dipanggilke kantor Polisi dan Koramil. Ada juga yang diangkut langsung dari rumahnya dibawa paksa ke kantor Polisi. Di kantor Polisi mereka dijemur dipanas terik matahari dan dipaksa kembali agar menyerahkan tanahnya. Hingga saat ini Buruh masih tetap berjuang untuk memperoleh tanahnya kembali. Berbagai upaya dilakukan Buruh secara bersama-sama, mulai dari mengadukan kasus kepada Camat Bilah Hilir, Bupati hingga ke Menteri Agraria namun hingga saat ini masih belum ada penyelesaian secara tuntas.
Sisi lain bentuk jejaring kekuasaan adalah penggunaan pengawasan ekternal berlapis untuk mengontrol Buruh yang sebetulnya sudah dalam posisi yang lemah karena pengawasan internal telah membatasi ruang gerak mereka melakukan penyelewengan. Namun demikian penggunaan pengawasan ekternal sebagai bagian strategi perkebunan mendominasi kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok interest (interest group) sebagai apparatus organik perkebunan. Rekruitmen Mandor dari Serikat Pekerja seluruh Indonesia (SPSI), rekruitmen apparatus seperti Centeng, Papam dan Mata-mata (spionase) yang direkrut secara rahasia dari unsur-unsur kekuatan sosial kemasyarakatan daerah setempat adalah suatu gambaran yang paling komprehensif bagaimana operasi jejaring kekuasaan itu bekerja menindas Buruh.
Implikasi Bagi Buruh
Pola jejaring kekuasaan yang demikian menyebabkan posisi Buruh perkebunan semakin terpinggirkan dari arena kekuasaan. Mereka adalah kelompok masyarakat yang bungkam, tidak bersuara tenggelam hampir 4 generasi dan masih membekas hingga kini. Cerita-cerita mereka, keluh kesah, penderitaan mereka tenggelam dan terbungkus rapi oleh cerita keberhasilan perkebunan, perluasan areal perkebunan serta kualitas rendeman prima sawit yang diproduksi.
Namun bukanya tidak menyisakan kepedihan. Keberhasilan perkebunan juga menghadirkan narasi-narasi buruh perkebunan yang tersisih terhempas karena alasan “produktivitas kerja”, disiplin kerja, target kerja. Tidak ada Buruh Perkebunan yang berani menolaknya. Berbagai aturan-aturan kerja, hukuman dan sangsi-sangsi kerja diproduksi dan dibiakkan. Kalau ada Buruh yang mengkritik dan melawan ia akan menerima hukuman dipertujuh , pencabutan hak sebagai Buruh tetap (SKU), potongan upah dan tunjangan, dimusuhi, dikucilkan dari lingkungan pergaulan warga.
Persoalan akan lebih kompleks, ketika pemaknaan aturan-aturan kerja dan sangsi-sangsi kerja terdapat interpretasi yang beragam, prural, fleksibel, dan sekaligus ambiguitas. Betapa tidak, interpretasi aturan kerja sangat ditentukan oleh selera dan kemauan ADM, Asisten kebon maupun Mandor. Masing-masing “oknum” itu tidak ada yang seragam penafsiran dan penerapan aturan kerja bagi Buruh.
Berbagai fenomena “kekerasan fisik, aturan kerja yang tak pernah jelas” terjadi sepanjang waktu diperkebunan. Sistem kerja, mekanisme kerja menjadi semacam pendisplinan “regim ketertiban dan keteraturan” bagi penguasa kebun. Ketika regim ini berusaha untuk digugat, dilanggar oleh pengikutnya akan terdapat hukuman kepadanya. Namun tidak pernah sekalipun dibuat aturan atau hukuman untuk sang kuasa; Mandor yang sewenang-wenang, Asisten Kebun dan ADM yang ceroboh membiarkan Buruh bekerja tanpa peralatan kesehatan dan keselamatan kerja, Mantri perkebunan yang lalai menolong pasien kecelakaan kerja ataupun yang sakit hingga menemui ajalnya.
Masih kuatnya persepsi atas wacana bahwa perusahaan perkebunan adalah “dewa penjelamat” bagi Buruh, pemerintah setempat dan masyarakat umumnya. Cerita-cerita “kebaikan perkebunan” menyerap tenaga kerja, memberikan fasilitas perumahan, pendidikan dan kesehatan, membentuk agency-agency manusia yang rela mengabdi menjaga dan melestarikan kekuasaan perkebunan. Subyek-subyek manusia elite sipil maupun militer terbukti beroperasi sangat produktif untuk menebarkan perspektif kekuasaan perkebunan.
Refleksi dan Rekomendasi
Sedemikian jauh telah terurai dengan gamblang bagaimana “cengkraman” jejaring kekuasaan memosisikan Buruh perkebunan keluar dari akses kekuasaan. Tetapi apakah kita mesti memosisikan Buruh perkebunan sebagai korban-korban yang tidak mampu membalas? Ataukah hanya sekedar menggali dengan mencari keterpisahanya dengan budaya dominan sekaligus menggali proses-proses bekerjanya kekuasaan yang menindas mereka? Dengan serangkaian pertanyaan yang rumit itu, terlihat jelas sangat sedikit pilihan-pilihan strategis “menolong” mereka.
Bila pertanyaan pertama yang menjadi pilihan, maka hambatan yang paling nyata adalah bahwa suara-suara Buruh kebun tidaklah homogen tetapi terfragmentasi dan berlapis-lapis tersebar dalam subyektivitas-subyektivitas manusia dengan penggalan pengalaman sejarahnya. Hal ini terkait dengan identitas yang terpecah dan tidak stabil, tidak memungkinkan kita mengkonseptualisasikan keagenan, atau mendefenisikan subyek-subyek yang merupakan pembuat sejarah mereka sendiri.
Sementara bila pertanyaan kedua yang menjadi pilihan, maka yang dapat di lakukan menolong mereka keluar dari cengkraman jejaring kekuasaan penindas, adalah dalam bentuk deskripsi formasi subyek tentang kemungkinan give and take, negosiasi-negosiasi dan dinamika kekuasaan dan perlawanan dalam hubungan-hubungan institusional. Maka langkah strateginya adalah mengintensifkan perjuangan-perjuangan akan hak-hak normatif Buruh, dalam rangka menekan klaim-klaim mereka sendiri, mendekatkan pada representasi mereka kepada institusi-intitusi sosial dan kultural, sembari perlu ada usaha dari kaum intelektual dalam karya-karya mereka untuk menonjolkan penindasan dan mengemukakan perspektif rakyat tertindas.















Daftar Pustaka
Althusser, Louis
1984 Essay on Ideology, London : Verso
Arif, Saiful
2000 Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baker, Cris
2004 Cultural Studies : Teori dan Praktik (terjemahan), Yogyakarta
Kreasi Wacana.
Gandhi Leela
2001 Teori Poskolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat
Yogyakarta: Qalam.
Fakih, Mansour
1996 Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi di Dunia LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hettne, Bjorn
2001 Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, Jakarta : Gramedia
Kleden, Ignas
2002 “Konflik Etnis atau konflik politik?”, Tempo, 6 Januari
(Edisi Khusus).
Ratna, Nyoman Kutha
2005 Sastra dan Cultural Studies, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Said, Edward
1996 Orientalisme (Terjemahan Asep Hikmat) Bandung :
Pustaka Salma.
Santosa, Thomas (ed)
2002 Teori-Teori Kekerasan, Jakarta : Ghalia Indonesia
Storey, John
1993 An Introduction Guide to Cultural Theory and Popular Culture
London : Harvester Wheatshesf.
Tjondronegoro, Sediono M.P.
1999 Sosiologi Agraria; Kumpulan Tulisan Terpilih, Bandung
Penerbit Akatiga



Biodata Penulis.
Drs. Manginar Torang Situmorang M.Si adalah Peneliti Lepas di Yayasan Lentera Rakyat Rantau-Parapat-Sumatra Utara. Setelah menyelesaikan Studi (S1) di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial (STISIPOL) “Kartika Bangsa” Yogyakarta (1994) bergelut di dunia “Pekerja Sosial”. Tahun 2004 melanjutkan studi Program Magister Kajian Budaya (Cultural Studies) Fakultas Sastra Universitas Udayana tamat Tahun 2006.



















































































[1]. Uraian lebih lanjut Analisis Landreform, lihat Sediono Tjondronegoro, “Sosiologi Agraria” ( Bandung : Akatiga Tahun 1999) .
[2] Saiful, Arif, “Menolak Pembangunanisme” (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000). Para ilmuwan Sosial maupun kalangan aktivis di Negara-negara Afrika, Amerika Latin Jepang dan cina berikhtiar keras menemukan konsep alternatif. Untuk memperjelas lihat uraian lebih lanjut dalam, Bjorn Hettne, “Teori Pembangunan dan Tiga Dunia”, Jakarta, Gramedi 2001.
[3] Sediono, Tjondronegoro, op.cit hal 60
[4] Dikutip dari I Ngurah Suryawan, “Membicarakan Can the Subaltern Speak?” Gayatri Chakravorti Spivak dan Praksis Kajian Budaya, Dalam Jurnal Kajian Budaya No 6 Volume 3 Denpasar Juli 2006 hal 103
[5] ibid, hal 102
[6] Diadaptasi dari berbagai tulisan, Yasraf Amir Piliang, “Cultural Studies” dan Posmodernisme : Isyu, Teori dan Metode ; Ignas Kleden dalam I Gede Mudana, “Dari Kajian tentang Budaya ke Kajian Budaya” dan Nyoman Kutha Ratna, “Metodologi Penelitian Kajian Budaya” dalam Jurnal Kajian Budaya No 6 Vol 3 Denpasar, Juli 2006. Uraian lebih Lengkap tentang Cultural Studies lihat Cris Baker, Cultural Studies, Teori & Practices. London : Sage Publication, 2002.
[7] Yasraf Amir Piliang, Op.Cit hal 30-34
[8] Proses rekruitmen dilakukan secara tertutup, hanya menerima pekerja-pekerja dari lingkungan perkebunan dan pekerja dari lingkungan sekitar. Biasanya dikondisikan melalui rekruitman warisan dimana karena terbatasnya upah yang diterima buruh, sementara beban kerja harus tercapai sesuai target kerja ditentukan sepihak oleh perkebuan, maka cara yang ditempuh Buruh adalah mengikutsertakan istri/suami dan anak-anak bekerja “magang” digaji oleh Bapaknya dan setelah mencapai umur kerja akan menggantikan bapaknya.
[9] Seperti terjadi di Afdeling I mayoritas buruh suku Batak Mandailing (salah satu sub Suku Batak). Mandor Afdeling I suku Batak Mandailing. Suatu saat ada buruh yang ikut “aksi buruh” kontan saja Sang Mandor mendatangi buruh yang direkrutnya, dengan menyatakan tidak sopan, karena tidakan ikut aksi sama saja dengan mempermalukannya sebagai Tulang, Bapauda atau sebagai Hula-hula kemudian menasehatinya menggunakan nilai-nilai adat.
[10] Buruh telah lama bekerja menerima upah yang sama dengan buruh yang baru masuk atau baru diterima bekerja. Penetapan spesialisasi pekerjaan terutama buruh Annemer ditentukan sepihak sesuai dengan selera Mandor atau asisten kebun.
[11] Kebijakan Buruh Murah dari masa orde Baru berlanjut hingga masa Reformasi. Sisahkanya Undang-undang No.13 Tahun 2003 yang meng-Amin-kan sistem outsorsing. Diperkebunan ini bentuk sederhana sistem outsoursing sudah lama berlangsung misalnya dengan adanya Buruh Harian Lepas. Sepertinya pemerintah melegalkan pemberlakuan Buruh Harian lepas atau sejenisnya di Perkebunan.
[12] Misalnya sewaktu hujan atau banjir. Buruh tidak diperbolehkan pulang sebelum target kerja terpenuhi, atau boleh pulang tetapi harus mengganti dengan hari lain biasanya hari libur dan hari Minggu.
[13] Jika buruh kebun telah bekerja lebih dari 7 jam kerja/hari namun belum mencapai target, buruh dikenai sangsi di kenal dengan istilah “dipertujuh”. Artinya buruh dianggap tidak bekerja penuh atau gagal mencapai satu hari kerja. Contoh : Target kerja panen 50 jenjang Sawit, ternyata buruh sanggup 40 jenjang Sawit. Maka buruh hanya dihitung 5 jam kerja saja. Konsekwensinya upah dan tunjangan 2 jam kerja dipotong.
[14] Pestisida ; Roundup yang berbahan aktif isopropilamina gliposat 480g/liter setara dengan 3569/liter. Ally mengandung metsulfuron metal 20%. Gromoxone berbahan aktif parakuat diklorida 276/liter setara dengan ion prakuat 200/liter. Rhodiamine berbahan aktif 2,4-D dimetil amina :886 g/liter setara dengan asam 2,4 D : 720 g/liter. Pupuk yang sering digunakan jenis Urea dan TSP mengandung P2 05 46%,NPK mengandung Natrium, Pospat, Kalsium dan Borate (Sodium Tetraborate Pentahydrate) dengan komposisi Na2 B4 O7 SH2O dan kurater mengandung Karbofarun
[15] Sangsi-sangsi kerja bukan hanya “dipertujuh” , hukuman kesalahan kerja berupa hukuman denda mengharuskan buruh membayar kesalahan dengan uang. Umumnya hukuman denda lebih besar dari upah buruh per hari langsung dipotong dari upah buruh.
[16] Perusahaan mengambil langsung air dari Sungai Bilah persis di perbatasan perkebunan, air warna kuning, keruh. Lalu di proses di tempat Pabrik Kelapa Sawit, disalurkan ke perumahan buruh. Air itu tampaknya tidak layak dikonsumsi kaarena keruh, endapan lumpur tebal dan ber-rasa. Menurut buruh lebih memilih menampung air hujan untuk dikonsumsi dari pada air dari perkebunan.
[17] Buruh harus menanggung semua biaya sekolah mulai dari SD sampai SMU. Karena besarnya biaya sekolah yang harus ditanggung Buruh, sementara upah buruh hanya cukup untuk makan keluarga, banyak anak Buruh yang bersekolah hanya setingkat Sekolah Dasar. “Asal tau baca tulis saja” demikian kata salah seorang Buruh. Rata-rata anak Buruh perkebunan ini hanya tamat SMP ada juga yang telah masuk SMP tetapi sebelum tamat sudah tidak sekolah lagi karena orang tuanya tidak sanggup lagi menanggung biaya sekolah sampai tamat SMP. Setelah tamat SMP anak Buruh yang laki-laki biasanya disuruh membantu orangtuanya bekerja di perkebunan dan setelah cukup umur nantinya akan bekerja di perkebunan. perempuan kerja di rumah atau pergi merantau ke daerah lain.
[18] Dilayani oleh 1 orang Mantri dan 3 orang bidan. Fasilitas sederhana 1 tempat tidur tanpa tilam, ruang periksa, ruang tunggu dan satu lemari obat (tidak ada obat). Medis dan Paramedis 7 jam kerja setiap hari , dan tidak melayani pengobatan bila lewat jam kerja. Tidak melayani pengobatan bila tidak ada surat izin dari Kepala Kerani kebun, sementara untuk mengurus surat izin tersebut buruh harus menempuh waktu perjalanan jauh karena jarak dari kebun ke kantor Kerani cukup jauh. Jika sakit tapi tidak ada surat dari Poliklinik dikenai sangsi dikenal dengan istilah “ngablon” alias mangkir kerja.
[19] Istilah ini berawal dari suatu kisah. Parjo, salah seorang pensiunan buruh bekerja diperkebunan sejak Tahun 1975. Parjo mengisahkan kasus kematian rekan kerjanya Rimun tahun 1976. Pagi hari Rimun minta mangkir (minta izin tidak bekerja karena sakit) mencret-mencret (diare). Surat dari Asisten dan Kerani sudah keluar, hanya saja setelah diperiksa dan diberi obat oleh Mantri, langsung disuruhnya bekerja. Sekitar jam 11 Siang, Rimun diketemukan sudah meninggal dalam posisi buang air besar diperkebunan.
[20] Kisah yang menggambarkan situasi mereka menghadapi petinggi-petinggi perkebunan seperti dalam cerita berikut ini : Seorang anak buruh berusia 5 tahun berlari kedalam rumah ketika melihat mobil warna kuning (Mobil dinas ADM berwarna kuning) melintas di jalan di depan perumahan, spontan sambil berlari berteriak “ketakutan”, Pak, pak motor kuning, motor kuning teriak anak kepada Bapaknya. Kemudian Buruh menanyakan ada apa kepada anaknya dan dijawab oleh Sang anak, “Kan Bapak tidak bekerja”. Rupanya Sang anak takut ADM akan memarahi Bapaknya. (kebetulan hari itu hari libur)
[21] Suatu ketika Pratomo (nama Buruh) dan kawan-kawan satu mandoran pulang setelah basis borongan mereka terpenuhi. Di tengah jalan, mereka melihat mobil kuning dari kejauhan. Serta merta para Buruh kucar-kacir. Buruh berusaha menghindar dan bersembunyi agar tidak berpapasan dengan mobil kuning
[22]Tahun 2003 Tahun 2003 lalu, Atan (Buruh) dihukum oleh ADM karena memotong “buah mentah”. Hukumannya adalah berjalan kaki keliling perumahan buruh mulai dari afdeling I sampai afdeling II (kira-kira 4 kam), sambil memikul 1 jajang sawit dan menggalungkan karton bertuliskan “Atan Tukang Potong Buah Mentah” dileher. Setelah berkeliling perumahan Atan kembali ke PKS dan harus menjalankan hukuman hingga semua buah yang diyakan ADM mentah dibawah keliling satu persatu.


[23] Dalam perspektif teori konflik, ada 3 kondisi internal menyebabkan terjadinya penguatan identitas, tingkat penderitaan, perbedaan kultural dan intensitas konflik. Dalam kadar tertentu ketiga hal itu terjadi dalam praktek kerja dan kehidupan Buruh. Thomas, Santoso (ed) “Teori-Teori Kekerasan” Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002.
[24] Pieere Bourdieu, “Outline of a Theory of Practice” Cambridge, England : Cambridge University Press, 1977. hal 83.
[25] Akumulasi kekurang-perhatian pemerintah menyangkut masalah pertanahan adalah merebaknya sejumlah konflik-konflik sosial di sejumlah perkebunan terutama di pulau Sumatra yang pada dasarnya adalah persoalan tanah tidak terpantau dengan baik. Di Sumatra Barat daerah Setandus Silungkang, di Sumatera Utara, meletusnya peristiwa Tanjung morawa (1964) dan di Banda Aceh, tepatnya Kuala Banda Acah Barat antara penduduk setempat dengan Salah satu Perkebunan Sawit BUMN patungan beberapa Negara sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik. Uraian selanjutnya lihat Sediono Tjondronegoro, Op.Cit hal 50
[26] Propil buruh penyemprotan rata-rata berbadan kurus, pucat, menderita sesak nafas, keluhan kepala pening, muntah-muntah, batuk darah bahkan ada yang meninggal. kasus kematian Watini (buruh penyemprotan) tahun 2002 bekerja menyemprot hama setiap hari. Kasus tersebut tidak pernah terangkat dan diusut dianggap sebagai kasus kematian biasa.

[27] Tahun 2004 lalu, sepulang kerja seluruh tubuhnya gatal-gatal. “awalnya gatal-gatal hanya dibagian tangan. Lama-kelamaan menjalar ke seluruh tubuh. Rasa gatal, sakit, panas-adem, badanku bendol-bendol seperti seperti “biduaran” demikian Parsi menggambarkan keadaan awal sakitnya. Atas saran tetangga dan keluarga Parsia berobat ke dukun Kampung. Keadaan Parsia tidak membaik sehingga ia berobat ke Bidan yang ada dikampungnya namun tidak mengalami perubahan. Besoknya berobat ke poliklinik perkebunan dan rawat inap selama beberapa hari. Menurut Nadapdap mantri yang bekerja di poliklinik Parsia dinyatakan Alergi Racun.
[28] Sukardi (Salah seorang Buruh Perkebunan) mempunyai tanggungan 3 Anak dan Istrinya ikut bekerja membantu suaminya. Berdasarkan observasi penulis dilapangan selama 1 bulan penuh, diperoleh cacatan belanja buruh sebatas pengeluaran rutin belum termasuk pengeluaran seperti pakaian dan peralatan rumah tangga dan bahwa menu makanan buruh paling sering adalah telor dan Indomie (mie instant) total pengeluaran sebesar 1.296.700,- (Satu juta dua ratus sembila puluh enam ribu tujuh ratus rupiah) perbulan.

[29] Telah banyak tulisan yang menguraikan pola relasi kekuasaan dalam wacana kebudayaan. Edward Said, Orientalisme (1978) mengurai secara mengesankan bagaimana sejarah orang tertindas dalam Negara-negara post-kolonial. Said, mengetegahkan kritik-kritik tajam terhadap liberalisme dan sistem kapitalisme dengan menunjukkan bagaimana kekuasaan dan pengetahuan menyatu tanpa bisa dielakkan; Michael Foucault (1980) melalui strategi genealoginya menyikapkan relasi yang melekat antara praktek sosial, pengetahuan yang melandasinya (knowledge) dan relasi kekuasaan (power relation) yang beroperasi didalamnya membentuk berbagai wacana atau discource, Lihat Piliang (2006) Op.Cit 33.
[30] Guha (1982) menyatakan bahwa pada masyarakat pasca-kolonial realitas struktur dan hirarkhi kekuasaan bukan lagi seperti dikotomi-dikotomi penindasan konvensional seperti “kolonial-antikolonial”, “buruh-majikan”, “sipil-militer”, dan sebagainya, tetapi menjadi kelompok atau golongan “elite-subalterm” dalam bingkai suatu Negara.

Tidak ada komentar: