Kamis, 24 Juli 2008

Menguak Makna Nasionalisme

Hampir tiada gugatan pemaknaan Nasionalisme dalam konteks kekinian. Bagi pemerintah keterpurukan Bangsa ini diletakkan semata-mata persoalan teknis ekonomi-politik belaka tiada kaitannya dengan Nasionalisme. Solusinya pun bermuara pada solusi bersifat teknis pula. Menganggap persoalan Nasionalisme usang, tiada relevansi meredam keterpurukan Bangsa. Lain lagi langgam pola-tindak elite politik kita, terminologi Nasionalisme dipelintir sekedar romantisme belaka dengan cara menggali, merepresentasikan diri sebagai ahli waris Nasionalisme dalam bentuk “show force”.

Pendekatan ideologis memaknai Nasionalisme menguat melalui pendekatan simbol-simbol primordialitas (politik aliran) sebagai alat membius rakyat demi target politik 2009. Identitas, otentitas, dan kemandirian bangsa dicitrakan melalui plattform partai mengabaikan sepak terjang dalam dimensi kesejarahan. Akibatnya Nasionalisme a-historis, kehilangan semangat merumuskan isu musuh bersama. Sebaliknya berkontribusi bagi reduksi nilai Nasionalisme.
Tetapi fakta sejarah menggoreskan lain. Bangsa kita lahir, dibesarkan dalam bingkai sentimen Nasionalisme yang kuat. Kecintaan tanah air menjadi lem perekat persatuan; menghimpun, menggerakkan kekuatan bersama. Hal itu menjadi amunisi penting mengusir penjajah, meretas jalan menuju kemerdekaan. Kecintaan terhadap tanah air tidak bisa ditawar, menggetarkan kalbu, mencairkan berbagai rupa primordialitas etnik, budaya dan politik. Semangat perlawanan terhadap kesewenangan penjajah termanifestasi dalam semboyan “Merdeka atau Mati”.
Era pasca kemerdekaan Nasionalisme tetap terpelihara. Hanya saja berada dalam bingkai pembelajaran dan pendewasaan tradisi berdemokrasi. Kebinekaan primordialitas bukan diingkari, melainkan diakomodir, dikelola dalam bingkai ideologi Negara. Tetapi perlawanan terhadap imperlialisme dalam bidang ekonomi, politik dan budaya tetap menjadi agenda utama. Perlawanan ekonomi ditegaskan dengan penolakan kepemilikan asing atas aset-aset strategis. Dalam konstelasi politik berupaya keluar dari hegemoni bangsa asing, bahkan tampil memimpin bangsa-bangsa Asia-Afrika menolak penjajahan. Di bidang budaya muncul wacana kebudayaan autentik “kebudayaan nasional” menghujat pembodohan dan pemasungan penjajah di segala bidang. Ekspressi budaya dari berbagai suku, agama dan antar golongan diapresiasikan sebagai penegasan “National dan Character Building”. Ketiga unsur perlawanan ini dipropagandakan oleh Sukarno dengan istilah Trisakti. Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam ekonomi dan Berkepribadian dalam kebudayaan.
Destruksi Makna
Era rezim Suharto makna nasionalisme terasa hambar tereduksi sekedar topeng belaka. Pemaknaan Nasionalisme jadi semacam ritual simbolis memanipulasi epos kepahlawanan, kebesaran bangsa masa lalu dan kemuliaan moralitas bangsa menutupi realitas yang carut marut. Tujuannya tidak lain mempertahankan status-quo. Kemerdekaan buah perjuangan rakyat ratusan tahun “tenggelam” di dasar kekuasaan, modal dan bedil. Rakyat kembali ke alam penjajahan, kali ini oleh buah tangan bangsa sendiri. Nasionalisme jadi semacam kesadaran palsu dibawah hegemoni kekuasaan atas nama kebijakan negara dan pembangunan. Rakyat harus tunduk pada arus utama penafsiran Nasionalisme ala rezim berkuasa.
Perlahan-lahan rakyat kehilangan kepercayaan diri. Realitas palsu dicitrakan Orde Baru menuai hasil dalam bentuk “realitas baru” di mana simbol-simbol Nasionalisme mengabdi pada kekuasaan. Otensisitas jati diri sebagai sebuah nation-state memudar, diiringi menguatnya identitas dan solidaritas bersumber pada primordialitas. Gerakan-gerakan separatisme merebak dimana-mana secara terbuka dan tersembunyi sebagai antitesa otoritarianisme kekuasaan. Semuanya berawal dari kekecewaan mendalam atas hilangnya jaring pengaman rasa kebanggaan sebagai sebuah bangsa.
Imbasnya terasa multikompleks, hampir tidak ada prestasi membanggakan dari Bangsa kita. Mulai dari krisis ekonomi, degradasi moral birokrasi korup, KKN menggurita, angka pengangguran membengkak, tingginya cost bagi pencari keadilan, penyiksaan TKI di luar negeri, kerusuhan ada dimana-mana sampai terpuruknya prestasi olahraga nasional menjadi image kelam bangsa. Bangsa kita menjadi inferior dan segala yang berbau asing menjadi superior.
Elite bangsa kita tidak punya sensitivitas atas penderitaan rakyat. Perilaku “anti nasionalis” justru bermunculan, sibuk memperkaya diri, pemberantasan korupsi tersendat. Kekuatan modal turut memiskinkan rakyat dengan menyerobot tanah rakyat, menghalalkan perbudakan modern, penguasaan aset nasional melalui berbagai produk undang-undang SDA dan SDM. Persaudaraan sesama bangsa terasa sesak, menjadi wacana aneh dan menggelikan. Sebab semua sudah saling menyikut dan memikirkan diri sendiri.
Runtuhnya Nasionalisme
Era reformasi saat ini Nasionalisme berada pada titik nadir. Rasa ketidaksalingpercayaan sesama elemen bangsa memuncak dengan makin tidak terbendungnya upaya-upaya separatisme. Sementara krisis ekonomi bukan makin reda tetapi makin menggila. Lihat betapa ibu-ibu rumah tangga mengeluhkan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Sangat ironis ketika Indonesia dikenal sebagai pemilik kebun kelapa sawit terluas dan eksportir tertinggi CPO. Di tengah lumbung sawit masyarakat menderita dengan sistem penjatahan minyak goreng.
Nasionalisme kita tergencet habis oleh kuatnya hegemoni pasar. CPO kita berlimpah ruah ternyata harus memuliakan pasar internasional dari pada kebutuhan rakyat. Pada saat bersamaan pemerintah belum mampu berbuat apa-apa. Tindakannya hanya sekedar kebijakan “tambal sulam” mengabdi pada pasar, menaikkan bea ekspor yang bagi pengusaha bukanlah suatu hambatan berarti. Tidak ada kebijakan yang melindungi kepentingan rakyat banyak.
Ketegasan pemerintah dibutuhkan agar pengusaha tidak semata mementingkan untung mengabaikan kebutuhan rakyat. Tapi tampaknya ketegasan itu begitu mahal. Pemerintah tidak pernah memikirkan regulasi yang melindungi kepentingan rakyat atas ekploitasi berbasis sumber daya alam. Pemerintah tidak pernah serius menegakkan etika bisnis yang sehat dan penegakan hukum atas pengusaha nakal. Kekayaan alam kita ternyata tidak bisa dinikmati rakyat. Kekuasaan pengusaha asing masih lebih kuat. Perlawanan atas neo imperialisme ini juga tidak dibangun.
Bangun Karakter Bangsa
Tidak ada bangsa ditakdirkan hidup miskin. Bangsa Indonesia bukan tidak bisa bangkit dari keterpurukan. Sejarah bangsa Indonesai adalah sejarah besar, pernah menjadi salah satu kekuatan disegani di Asia. Pemimpin bangsa Indonesia adalah pemimpin ulung yang berani menentang intervensi asing.
Ketegasan pemimpin dibutuhkan agar bangsa memiliki kepercayaan pada kemampuan sendiri. Pemerintah harus tampil meyakinkan rakyat untuk mampu berbuat sesuatu membangun bangsa. Pengalaman akan menjadi guru terbaik untuk perlahan-lahan memperbaiki kehancuran di segala bidang. Tidak saatnya lagi dengan gampang menyerah pada kekuatan global yang menghancurkan bangsa.
Bukan rahasia lagi jika korupsi mengjangkiti birokrasi kita termasuk di lingkungan BUMN. Padahal sejarah mengajarkan bahwa penguasaan kita atas aset tersebut adalah demi mensejahterakan rakyat dan menghentikan penghisapan kolonialisme. Tetapi realitasnya pejabat-pejabat BUMN menjadi londo ireng yang memperkaya diri sendiri dengan memperbudak rakyat. Dan sekali lagi pemerintah tidak menggunakan “power”-nya menegakkan hukum. Seharusnya pejabat-pejabat seperti itu dipecat, dihukum dan diganti dengan orang berdedikasi kepada rakyat dan bangsa.
Suprastruktur dan infrastruktur perlu dibenahi di segala bidang agar mengabdi pada kepentingan nasional. Pada saat yang sama bagi anak-anak bangsa yang telah difasilitasi selama ini tetapi membuat kekeliruan harus dikenakan sanksi tegas. Misalnya kasus korupsi, harus dijatuhi hukuman berat bila perlu hukuman mati layaknya di Tiongkok.
Tidak saatnya lagi berpasrah pada hegemoni bangsa lain. Percaya kepada kemampuan bangsa ini adalah kunci untuk memperbaiki carut marut ekonomi, politik dan budaya. Dan hanya dengan cara seperti inilah Nasionalisme akan berwujud. Jika tidak, Nasionalisme akan tetap sekedar bayang-bayang.

Penulis : Manginar Torang, S.
Pemerhati masalah sosial
Kelompok Pelita Sejahtera (KPS)
(Sebuah NGO yang bergerak pada Advokasi dan Pendidikan Buruh)
Jln. Cempaka I/20, Simpang Pemda, Tlp. (061) 8364300 email : kps_por@ yahoo.com
Medan, Sumatera Utara

Tidak ada komentar: