Kamis, 24 Juli 2008

Realitas Budaya Buruh Kebun

Jika didefenisikan perbudakan sebagai suatu bentuk kesenjangan yang sangat tinggi pola hubungan buruh-majikan, menempatkan buruh pada posisi subordinat sebagai satu-satunya pilihan hidup, dimana seluruh aspek kehidupan buruh dibawah kontrol majikan. Defenisi operasional ini dapat dipakai sebagai pijakan untuk melukiskan bagaimana sebenarnya realitas hidup buruh Kebun.
Derajat Kesenjangan
Terdapat beberapa perbedaan tentang derajat kesenjangan itu, jika dilihat dari aspek kerakteristik wilayah dimana perkebunan berada. Di perkebunan yang relatif dekat dengan daerah urban atau sub urban, akan sangat berbeda dengan daerah pedesaan, terisolir dan jauh dari pusat- pusat ekonomi, kekuasaan dan peradaban.

Perkebunan yang relatif dekat dengan daerah urban, akan tanpak bahwa buruh berbaur dengan komunitas-komunitas sub urban, meskipun sebagian ada yang memilih di emplasmen perkebunan yang disediakan oleh perusahaan.

Dari segi interaksi dan hubungan sosial buruh tentu akan lebih luwes dan terbuka sama perubahan-perubahan yang ada disekitarnya. Dengan demikian akses terhadap informasi, aspirasi dan pilihan-pilihan hidup (pekerjaan) akan lebih terbuka, sehingga buruh relatif mempunyai bergaining posisi dengan pihak perusahaan perkebunan.

Kerakteristik statifikasi masyarakat relatif heterogen dibandingkan dengan daerah perkebunan di pedesaan yang terisolir dimana komunitas masyarakat hidup dalam lingkungan emplasmen yang homogen, mendorong mereka mempunyai kesempatan membanding-bandingkan pola hidup, norma dan pola anutan sosial sebagai acuan dalam rangka kesadaran akan aspirasi hidup yang lebih baik.

Banyak kasus-kasus kesadaran dan kepedulian nasib sesama buruh dalam bentuk tuntutan akan hak-hak normatif mereka sebagai buruh yang sering berakibat praktek mutasi dan pemecatan justru muncul dari perkebunan yang relatif dekat dengan daerah urban dan sub urban. Keadaan yang demikian, tentu membawa kesulitan tersendiri bagi perusahaan perkebunan mengontrol buruhnya.

Sedangkan bagi perkebunan yang bercorak pedesaan, terisolir dan relatif jauh dari daerah urban atau sub-urban, bentuk kesejangan pola hubungan buruh majikan akan semakin terasa.

Dari segi pengaturan ruang, akan tampak bahwa pola pemukiman dan pembangunan pemukiman buruh (emplasmen) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pola pengawasan. Emplasmen terkonsentrasi dan berada di tengah-tengah lokasi perkebunan dan terisolasi dari pemukiman komunitas penduduk sekitar perkebunan.

Pemukiman para tuan kebun berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Pintu masuk perkebunan dikondisikan terpusat yang dijaga oleh aparat satpam sehingga perkebunan tahu benar “orang asing” yang lalu lalang masuk ke daerah perkebunan. Kemudian di dalam emplasmen, Mandor adalah salah satu piranti penting pengawasan buruh.

Mereka ditempatkan sebagai satu-satunya panutan utama bagi komunitas emplasmen dengan menyediakan rumah yang sedikit berbeda dengan rumah buruh dan berbaur bersama buruh. Komunitas buruh mayoritas adalah suku jawa, relatif homogen dari sudut stratifikasi sosial serta ketiadaan norma sosial sebagai piranti penting pengendalian sosial, menyebabkan kerakteristik komunitas buruh yang sedikit massif dalam hubungan sosial dan pola perilaku. Salah satu contoh aspek pola perilaku masyarakat adalah kebiasan “vulgar” berkaitan dengan perilaku seksual. Dalam masyarakat tersebut terkenal istilah “koran” (kontol raun) yang menggambarkan pola perselingkuhan menjadi hal yang sudah biasa.

Dalam taraf tertentu “perselingkuhan” sering bermotif ekonomis, seperti mengkondisikan istri atau suami berselingkuh dan pada suatu saat dijebak untuk tertangkap basah, selanjutnya berdamai dengan kompensasi perdamaian dalam bentuk uang. Dalam masyarakat perkebunan terbentuk karakter dasar buruh yang sangat tertutup, penuh curiga, nrimo/pasrah dan sangat mapan dengan kemiskinan.


Piranti Upah memelihara Kesenjangan
Pihak perusahaan perkebunan tentu mempunyai berbagai cara untuk selalu memelihara kesenjangan pola hubungan itu. Cara yang paling konvensional dan berurat-berakar turun-temurun adalah melalui perbedaan upah antara upah buruh dengan upah managemen. Pertama, Perbedaan kesenjangan upah misalnya upah tertinggi yang mungkin di peroleh buruh kebun yang berstatus buruh tetap (SKU) hanya bisa mencapai Rp. 1.000,000,- per bulan, dimana umumnya gaji pokok dibawah UMP propinsi sekitar Rp 600.000,- s/d 700.000,- plus premi jika melebihi target kerja rata-rata perhari Rp. 300.000,- S/d Rp. 400.000,- per bulan.

Sementara Mandor yang merupakan jejang tertinggi mobilitas vertikal buruh sedikit lebih tinggi dari buruh mendapat upah 1,5 juta s/d 2 juta perbulan.

Untuk tingkat managemen kerani, asisten kebun, kontrolir mendapat upah sekitar kisaran 4 juta sampai 15 juta, dan manager kebun 20 juta sampai 50 juta per bulan lengkap dengan fasilitas perumahan yang cukup mewah, akomodasi dan transportasi dan pelayanan kesehatan yang lebih jika merujuk pada rumah sakit rujukan mereka memelihara kesehatanya. Untuk setingkat asisten diberikan fasilitas transportasi sepeda motor dan manager kebun adalah mobil.

Kedua, menekan upah buruh melalui pembiakan dan penerapan sanksi-sanksi kerja yang ketat . Untuk pemanen misalnya, paling tidak setiap sub jenis kegiatan seperti mulai dari sangsi administratif sampai sanksi proses kerja; memotong TBS, memotong dan mengatur pelepah, memungut berondolan mempunyai mekanisme sanksi yang dikonversikan dalam bentuk uang sehingga terjadi pengurangan upah yang sedikit itu. Kesalahan kerja buruh dijawab dengan hukuman denda bukan dengan mendidik, melatih keterampilan kerja buruh.

Ketiga, Tekanan upah rendah berakibat pada kesenjangan antara sumber pendapatan dengan besar pengeluaran hanya untuk sekedar makan. Dengan sedikit berseloroh; upah kami untuk “dubur” saja tak cukup sementara binatang peliharaan saja seperti “anjing” dikasi makan oleh tuanya berarti kami ini lebih rendah dari pada anjing demikian pengakuan salah seorang buruh secara lugas dan reflektif. Cara mensiasati hal tersebut memaksa buruh mengurangi pola konsumsi keluarga nyaris tampa gizi, “gali lobang tutup lobang” seperti ngutang diwarung dan tidak jarang terjebak dengan tengkulak atau lintah darat menyebabkan sifat keterganungan yang tinggi pada perusahaan.

Cara lain yang juga ampuh menciptakan ketergantungan yang tinggi, telah lama berurat-berakar warisan kolonial. Akibat gaji yang rendah hanya cukup untuk tetap bertahan hidup memaksa buruh mengambil pilihan “pahit” yang harus ditempuh. Misalnya banyak buruh yang telah lama bekerja sekitar 25 – 30 tahun bahkan lebih saat pensiun tidak mempunyai rumah, sementara pihak perusahaan berusaha memindahkanya. Satu-satunya cara untuk tetap tinggal diemplasmen adalah berusaha mewariskan pekerjaan sebagai buruh kepada anaknya inilah yang disebut “rekruitmen warisan” itu pun tidak secara otomatis diangkat sebagai buruh tetap (SKU), tetapi ditangguhkan statusnya atau ditetapkan sebagai Burun Harian Lepas (BHL) dengan membatasi jumlah hari kerja dibawah 20 hari mensiasati undang-undang ketenagakerjaan.

Pada saat bapaknya aktif kerja di kebun, untuk mencapai basis borong dan premi biasanya mengikutkan anaknya magang kerja yang biasa disebut kerja model “sopir-kernet”. Kemudian cara ditempuh perusahaan adalah pengoptimalan penggunaan buruh harian lepas (BHL) dan pembatasan atau tidak lagi memerima buruh tetap, sampai pada pengalihan status buruh tetap dengan cara mengkondisikan buruh melanggar aturan kerja atau malakukan kesalahan yang berbuntut pada pemecatan dan menggangkat kembali sebagai BHL.

Pengoptimalan BHL mempermudah perusahaan mengakumulasi modal tanpa terbebani biaya produksi yang tinggi, tanggung jawab sosial perusahan dan paling terpenting adalah pemindahan perselisihan atau konflik perkebunan keluar arena perusahaan.

Penggunaan simbol-simbol “kekerasan” dalam bentuk aparatur keamanan kebun berupa perekrutan centeng, papan, satpan sampai mata-mata yang rekrut dari masyarakat sekitar mempertinggi derajat pengawasan sampai bentuk-bentuk pengawasan terselubung (hegemoni) seperti pemamfaatan tokoh adat, agama melalui kegiatan-kegiatan sosial sebagai alat “pengendalian sosial” kepada buruh hingga berupa “showroom” sepeda motor masuk perkebunan, pinjaman melalui koperasi dan bentuk-bentuk hiburan malam “warung remang-remang” disekitar jalan besar menuju perkebunan, biasanya bekerjasama dengan preman-preman setempat yang acap kali menjadi bisnis “prostitusi”.

Selain hal yang disebutkan diatas, praktek kerja buruh juga sangat membebani mereka. Misalnya selain pembebanan biaya alat-alat kerja dipotong dari gaji mereka , juga pembiaran buruh bekerja tanpa penggunaan perlengkapan pelindung kerja. Tiada antisipasi pencegahan perlindungan kesehatan kerja.

Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan sosialisasi dan pendidikan tentang bahaya kerja seperti tertimpa buah, tertimpa pelepah dan resiko, dampak berinteraksi dengan zat-zat kimia berbahaya yang digunakan oleh buruh penyemprot, pemerikasaan kesehatan dan rotasi pekerjaan yang bekerja pada bagian yang berhubungan dengan bahan kimia berbahaya.




Tanjung Sari, 25 Juni 2008

Tidak ada komentar: